SAYA membaca buku 'My Story' karya Edi Sutrisno tentang Rudy Josep Pesik dengan satu perasaan: kagum. Kagum pada daya tahan seorang anak bangsa yang lahir dari keluarga sederhana, tapi mampu menapaki jalan panjang yang penuh liku: dari dunia teknologi, ke bisnis, ke diplomasi, lalu ke budaya.
Rudy bukan orang biasa. Ia seperti mozaik yang potongan-potongannya sulit ditebak. Kadang ia muncul sebagai teknokrat ulung, kadang sebagai pengusaha kelas dunia, kadang sebagai budayawan yang membela pusaka bangsa, dan tak jarang pula tampil sebagai seorang “negarawan” yang menolak pensiun.
Dari ITB ke Negeri Kincir Angin
Buku ini dibuka dengan kisah masa kecilnya. Ia dibesarkan di tengah keluarga pelaut, tapi memilih jalur berbeda: kuliah teknik di Institut Teknologi Bandung (ITB). Bukan hanya lulus, tapi meraih dua gelar sekaligus.
Rudy bahkan dipercaya menjadi Direktur Jenderal Industri Maritim di usia muda, di era Presiden Soekarno. Tapi dunia birokrasi sering kali kejam. Kerja kerasnya dianggap sia-sia.
Ia kecewa, lalu memilih “lari” ke Belanda. Di Delft, ia kuliah sambil bekerja di IBM. Bayangkan: mahasiswa, tapi sudah jadi tenaga kerja di perusahaan teknologi kelas dunia. Itulah Rudy. Gigih, keras kepala, tapi selalu haus tantangan.
Ketika karirnya di IBM sedang naik daun, ia justru dipanggil pulang oleh Ibnu Sutowo, Direktur Pertamina yang legendaris. Rudy pulang, dan sejak itu namanya mulai tercatat sebagai pionir sistem IT di Indonesia. Ia mengawal Pertamina, Garuda, hingga BUMN lain agar tidak ketinggalan teknologi.
Berteman dengan Presiden dan RajaBuku ini bercerita pula tentang Rudy yang bergaul dengan presiden dan raja. Dari Soeharto yang menugaskannya urusan khusus, Gus Dur yang mengajaknya naik haji, sampai Lech Walesa di Polandia dan Raja Thailand Bhumibol Adulyadej.
Kalau orang lain mungkin berbangga sekadar bisa berfoto dengan tokoh dunia, Rudy justru menjalin persahabatan. Ia punya akses ke lingkaran tertinggi, tapi tetap sederhana. Ini yang membuat banyak orang hormat padanya.
Rumah Pesik: Budaya sebagai Jalan PulangYang paling menarik bagi saya bukan soal bisnisnya, tapi budayanya. Rudy pernah ditegur seorang profesor di Belanda: “Orang Indonesia tidak menghargai barang antik.” Kalimat itu menusuk hati. Sejak saat itu, Rudy berjanji untuk mengoleksi benda budaya dan menjaganya.
Rumah Pesik di Kotagede, Yogyakarta, adalah simbol janji itu. Bangunan bergaya campuran Jawa, Eropa, Yunani, dan Thailand itu bukan hanya rumah tinggal, tapi juga museum kecil. Di dalamnya ada keris, ukiran kayu, patung, arca. Semua ditata bukan untuk pamer, tapi untuk mendidik.
Pesan Rudy jelas: kalau bangsa tidak menghargai pusakanya sendiri, suatu hari kita hanya akan jadi penonton ketika budaya kita diklaim bangsa lain.
Kopi sebagai IdentitasRudy juga membawa budaya ke bisnis. Ia mendirikan KOPI KAMU, sebuah jaringan gerai kopi yang kini ada di 31 negara. Bedanya dengan bisnis kopi lain, Rudy menekankan kopi sebagai identitas. Ia mendirikan Yayasan Akademi Kopi Indonesia, menggagas Hari Kopi Indonesia, bahkan ikut membangun Asosiasi Kopi Indonesia.
Bagi Rudy, kopi bukan sekadar minuman, tapi narasi tentang tanah, petani, dan budaya. Ia membuktikan, warisan bangsa bisa hidup di pasar global.
Menolak PurnaBuku 'My Story' punya satu bab berjudul “Menolak Purna”. Ini bagian favorit saya. Rudy memang tidak pernah mau pensiun. Usianya sudah lanjut, tapi ia tetap berlari. Membuka usaha baru, mengurus organisasi, sampai harus masuk penjara gara-gara urusan kopi.
Tapi semua itu ia jalani tanpa dendam. Justru makin meneguhkan tekadnya bahwa hidup ini bukan soal berapa banyak uang yang kita kumpulkan, melainkan apa yang kita tinggalkan untuk bangsa.
Inspirasi untuk Generasi MudaSaya melihat Rudy sebagai teladan bagi generasi muda. Di era digital sekarang, orang mudah lupa pada budaya. Semua serba instan, serba global, serba modern. Rudy mengingatkan: modernisasi boleh, globalisasi perlu, tapi jangan pernah lepaskan akar budaya.
Ia memberi contoh nyata: bagaimana membangun ratusan perusahaan, berteman dengan tokoh dunia, tapi tetap menunduk pada pusaka bangsa.
My Story, Our StoryJudul buku ini memang 'My Story'. Tapi kalau kita cermati, ini sebetulnya bukan hanya cerita tentang Rudy. Ini cerita tentang kita. Tentang bangsa yang ingin maju tanpa kehilangan jati diri. Tentang perjalanan panjang Indonesia yang berusaha menjadi modern, tapi tetap berpijak pada akar tradisi.
Itulah mengapa saya merasa, Rudy tidak sedang menulis 'My Story'. Ia sedang menulis 'Our Story'.
Cerita kita bersama. Cerita bangsa ini.
*Penulis adalah Jurnalis Republik Merdeka Online dan Mahasiswa Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina