Berita

Massa aksi melempar petasan di Mabes Polri, Jakarta, pada Jumat 29 Agustus 2025. (Foto: RMOL/Alifia Dwi Ramandhita)

Publika

Problem Diakronis Bangsa

OLEH: HASAN SADELI*
RABU, 03 SEPTEMBER 2025 | 18:47 WIB

PRESIDEN Soeharto tidak takut mahasiswa, tidak takut dengan kemungkinan pengkhianatan aparat dan politisi. Tapi kalau rakyat mengamuk, menjarah, maka Soeharto sudah merasa hancur. 

Situasi rakyat yang sudah out of control itu membuat Presiden Soeharto begitu sungkan berlama-lama  mempertimbangkan nasehat serta saran untuk mandeg pandito

Di antara kita mungkin ada yang mengingat penggalan kalimat familiar tersebut. Selain karena diucapkan secara live di stasiun televisi swasta, kalimat itu juga datang dari seorang yang dikenal tanpa muatan, memiliki kredibilitas dan kualitas kedekatan dengan Presiden Soeharto tatkala menerangkan keresahan terbesar sang presiden terhadap demonstrasi pada 1998. 


Dalam peristiwa demontrasi massa yang sudah-sudah, memang selalu ada pola identik yang menggambarkan huru-hara asimetris; kekerasan sporadis, perusakan, dan penjarahan sebagai gerakan tak terkontrol yang dapat dilihat pada peristiwa 1974, 1998 dan terbaru 2025. 

Kendati skala destruktifnya bisa berbeda-beda, tetapi bila terdapat setidaknya dua dari sekian pola asimetris tersebut terjadi maka sudah cukup bagi pemimpin negara untuk menggandakan kewaspadaan, tidak terkecuali bagi Presiden Prabowo Subianto. 

Terlebih satu hal yang membuat aksi massa pada 25-30 Agustus 2025 dinilai unik oleh sejumlah pengamat, karena ketidakjelasan penganggungjawab serta muatan isu yang begitu dinamis, bahkan cenderung bias. 

Pemerintah sudah mencermati situasi ini dan raungan sirine tanda bahaya mulai menggema. Sayangnya raungan sirine itu terlambat berbunyi. 

Sebaran analisa data intelijen yang dapat dipergunakan untuk mengupayakan berbagai skenario, simulasi serta mitigasi terencana tidak berjalan dengan semestinya. 

Seolah ada mesin sindikasi yang bermain secara dominan sebagai orkestrator lapangan sebelum situasi dapat sepenuhnya dikendalikan. 

Terenggutnya korban jiwa di Jakarta dan di daerah lainnya benar-benar sangat disayangkan. Menurut penulis, ini bukan lagi perkara keterlambatan antisipasi, ini lebih merupakan anomali. 

Tidak optimalnya kinerja kawat-kawat intelijen kita pada gilirannya menguatkan kesan atas tragedi yang by order dan kepempinan yang disorder.  

Tetapi untuk saat ini, mengambil jarak terlebar dari diskursus operasi intelijen, kontra intelijen dan komando peta algoritma yang mengetengahkan probabilitas dalang/aktor di balik chaos demonstrasi kemarin merupakan pilihan bijak. 

Yang pasti siapa pun, termasuk penulis dengan penuh kesadaran dan pikiran terbuka mengutuk secara tegas terhadap aksi anarkis apapun motifnya siapapun penunggangnya.  

Problem Diakronik

Di lain sisi, pemerintah harus menerima bahwa aksi demonstrasi yang berlangsung hampir sepekan lamanya sebagai suatu fakta sosial sekaligus fakta historis. 

Sumsum persoalan dari keresahan sosial sebagai akumulasi lahirnya tuntutan  seperti isu spesifik seputar pemberantasan korupsi, kesenjangan ekonomi, dan ketidakadilan hukum, serta sederet persoalan sejenis lain harus diakui telah menjadi tuntutan langganan sejak Indonesia merdeka. 

Kesemuanya itu menjadi problem bersifat diakronik yang merentang dari orde ke orde. 

Dalam hal ini, Presiden Prabowo Subianto harus merasa tertantang untuk mengentaskan problem bersifat diakronik dengan cara menyicilnya satu persatu. 

Dimulai dari problem terakut seperti memberantas praktik korupsi di lingkaran pemerintah dan DPR, memberantas mafia peradilan di lingkungan penegak hukum, dan menyingkirkan gerombolan mafia, baik aktor negara maupun aktor non negara di sektor-sektor strategis. 

Memang akan menjadi pekerjaan mustahil bila dilakukan sekaligus, mengingat level kronisnya sudah sampai ke pembuluh darah terkecil. 

Tetapi saya termasuk orang yang percaya terhadap sumpah atas nama Allah sebagaimana didengungkan oleh Presiden Prabowo beberapa waktu lalu. 

Presiden Prabowo bertekad di atas sumpahnya untuk memberantas korupsi dan mafia-mafia yang menyengsarakan rakyat serta merugikan negara. 

Bagaimana pun, Presiden Prabowo adalah seorang prajurit, dan sumpah seorang prajurit memiliki makom yang jauh lebih tinggi dari sumpah politisi biasa. 

Apalagi sumpah politisi yang minim literasi: yang tidak ngeh terhadap teori State of Nature ala Hobbes, tidak  pernah mendengar pemikiran kontrak sosialnya J.J Rousseau, buta terhadap wacana demokrasi yang dijabarjerkan John Locke, dan yang terburuk adalah jauh dari implementasi keteladanan praktik kepemimpinan seperti dicontohkan Rasulullah.   

Dukungan Rakyat

Rakyat harus menunggu dengan sabar realisasi sumpah Presiden Prabowo. Sabar diperlukan karena sekali lagi memberantas korupsi di Indonesia adalah jihad paling akbar. 

Selain itu, kita juga dapat memperhatikan keseriusan Presiden Prabowo yang mulai menebarkan jaring untuk menangkap para mafia termasuk di sektor migas yang selama ini nyaris tak tersentuh oleh Presiden terdahulu.
 
Dukungan dari rakyat terhadap pemimpin yang sudah kelihatan serius untuk menyikat mafia-mafia yang menjadi benalu di negeri ini jelas sangat diperlukan. 

Bila perlu, ke depan  aksi-aksi yang dijalankan adalah aksi dukungan terhadap tekad mulia sang pemimpin kita. Dukungan publik secara terbuka dan rutin dilakukan mungkin akan menjadi gerakan tak biasa tapi bisa mengangkat moril dan suplai energi tambahan bagi Presiden Prabowo serta pembantu terdekatnya yang satu visi. 

Jadi aksi ke depan tidak lagi bernuansa tuntutan-tuntutan, melainkan aksi dukungan-dukungan bagi berjalan dan tercapainya tujuan mulia sang pemimpin negeri. 

Karena selama ini cara masyarakat kita dalam melakukan aksi dan menyuarakan aspirasi bisa jadi kurang kreatif. Meski tujuannya sama saja, tetapi dukungan berbuat benar dan tuntutan berbuat benar sebagai suatu lema mempunyai gradasi estetik yang berbeda.    

Pemberantasan korupsi meski merupakan prioritas dari segala tindakan penyembuhan nyata bagi bangsa. Tetapi korupsi bukan satu-satunya masalah yang merundung Ibu Pertiwi. 

Memajukan perekonomian, menghapus kesenjangan, investasi dalam dunia pendidikan, mengembangkan riset-inovasi, meningkatkan pelayanan dasar, termasuk program memperbaiki gizi anak bangsa harus diaktualisasikan secara menyeluruh.   

Semua program kebijakan pemerintah sebisa mungkin berbasis luaran tidak terkecuali bidang riset sebagai investasi jangka panjang. Rapat-rapat, bimtek, dan hal-hal sejenis harus ditagih efektifitasnya. 

Bila terbukti tidak mendatangkan manfaat apa-apa lebih baik dikurangi secara maksimal dan alihkan untuk memperbesar alokasi bidang pelayanan publik yang lebih kelihatan alias konkret.  

Dalam hal ini, kita tidak usah lagi banyak berdiskusi untuk belanja masalah. Karena bangsa kita sudah terlalu sering membicarakan berbagai problematika bangsa. 

Ringkasnya bangsa ini sudah kekenyangan masalah. Sehingga kelaparan dan kehausan dalam bertindak. Pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto harus sedikit demi sedikit menghapuskan dahaga bangsa dengan serangkaian tindakan.   

Lagi pula kita punya Pancasila sebagai rumusan kebijaksanaan historis bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam persatuan seperti diungkapkan Frans Magnis Suseno. 

Kita sudah memiliki modal persatuan dengan rumusan yang cukup detail sehingga kita hanya perlu untuk berkehendak secara politik, konsisten dalam tindakan kolektif dan tidak berpaling dari haluan yang sudah dituliskan pendahulu kita.

Niat baik dan tekad yang kuat dari pemimpin kita harus disambut dengan dukungan dan lantunan bait-bait doa dari seluruh rakyat Indonesia. 

Semoga Allah SWT menganugerahkan kekuatan, keikhlasan, dan kecerdasan ekstra bagi pemimpin tertinggi kita serta para pembantu yang sehaluan dengannya.


 
*Penulis adalah lulusan Magister Ilmu Sejarah UI, Direktur Pengembangan SDM pada Lembaga Kajian Cakcak Hamuai Institut 



Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya