Halte Transjakarta dirusak anarko di Kawasan Pasar Senen, Jakarta. (Foto: RMOL/Ahmad Satryo)
SEPERTI daun kering yang gugur di musim kemarau, mereka tersungkur di jalan raya.
Bukan karena lapar yang menusuk lambung, melainkan karena roda-roda baja yang melindas tubuh, seakan menandai nasib rakyat kecil: hancur oleh kekuatan yang tak peduli pada denyut nadi mereka.
Di udara Jakarta yang berjelaga, semua terasa seperti adegan lama yang sama. Seolah panggung sejarah mengulang naskahnya dengan nama berbeda.
Dahulu, di Tunisia, seorang lelaki bernama Bouazizi menyalakan api pada tubuhnya, kobar yang membakar lebih dari sekadar daging, melainkan singgasana kekuasaan yang pongah.
Kini, di jalanan ibu kota, seorang pengojek daring mengulang kepedihan itu, bukan dengan obor, melainkan dengan dentuman besi yang meremukkan tulang-tulangnya.
Kematian itu tidak hanya menutup satu pandangan, melainkan membuka jutaan mata.
Jalan-jalan bergetar oleh derap massa yang tak lagi takut, karena di setiap langkah mereka menyimpan dendam yang diwariskan oleh kemiskinan.
Gedung-gedung kaca yang menjulang gemetar, sebab retak di dalamnya adalah legitimasi yang lama terkubur dusta.
Ia, pengojek itu, tidak pernah berniat menjadi martir. Ia hanya ingin pulang, mungkin dengan upah hari itu untuk membeli beras bagi keluarganya, atau sekadar membayar listrik yang selalu menjerit di akhir pekan.
Tetapi takdir negeri yang buruk menahbiskannya menjadi api baru.
Tubuhnya yang terjepit di aspal ibarat obor yang tak padam, api yang menyala bukan dari bensin dan korek gas, melainkan dari rasa lapar yang berkarat dalam perut bangsa.
Sejarah berputar seperti lingkaran yang getir. Tunisia, Mesir, Suriah, Libya -- semuanya pernah menyala karena satu nyawa yang ditindas. Kini bayangan itu menempel di Jakarta.
Gedung-gedung megah dan istana-istana beton mendengar bisik sejarah yang menakutkan: bahwa raja yang terlena duduk di singgasana lupa bahwa kursi kekuasaan pun bisa terbakar.
Halte-halte yang hangus, jalan-jalan yang retak, asap yang membubung -- semua hanyalah latar dari satu tragedi yang lebih sunyi: ratapan seorang ibu yang kehilangan anak, tangisan seorang ayah yang kehilangan putranya, jerit seorang paman yang tak lagi punya keponakan kesayangan. Mereka adalah simfoni getir yang lebih keras daripada orasi di jalanan.
Dan di atas semua itu, Jakarta menyimpan dejavu. Ia melihat dirinya dalam cermin Tunisia. Ia mendengar suara api di tubuh Bouazizi bergema pada dentuman rantis yang melindas tubuh seorang pengojek.
Ia menyadari, betapa sejarah selalu datang kembali, bukan sebagai pelajaran, melainkan sebagai kutukan.
Maka jalan-jalan pun menangis, gedung-gedung menunduk, dan langit Jakarta menjadi kelam. Bukan tersebab hujan, melainkan karena air mata sejarah yang kembali tumpah.
Dan dalam sunyi yang tak tertahankan itu, ibu kota berbisik lirih pada dirinya sendiri: dejavu.
*Penulis adalah wartawan senior