Berita

Wakil Ketua Komisi XIII DPR Sugiat Santoso. (Foto: Dok Pribadi)

Publika

DPR, Kedaulatan Rakyat, dan Demokrasi Substansial

OLEH: SUGIAT SANTOSO*
SELASA, 26 AGUSTUS 2025 | 18:52 WIB

SECARA historis semangat utama lahirnya parlemen dalam peradaban pemerintahan di dunia sejak abad ke-13 adalah terciptanya sistem deliberatif dengan mengarusutamakan dialog dan musyawarah dalam mencapai solusi atas persoalan dalam satu negara.

Istilah parlemen itu sendiri berasal dari Prancis yaitu “parler” yang artinya berbicara atau diskusi yang kemudian pada abad pertengahan di wilayah-wilayah Eropa dilembagakan menjadi sebuah badan dalam sistem pemerintahan yang diharapkan bisa membatasi kekuasaan seorang raja.

Di Indonesia, cikal bakal terbentuknya lembaga parlemen dimulai sejak pemerintah Hindia Belanda saat mendirikan adalah Volksraad (Dewan Rakyat) di masa pra kemerdekaan.


Sifat Volksraad kala itu hanya sekadar menjadi lembaga menghimpun aspirasi bagi masyarakat pribumi yang terbatas karena tidak memiliki kewenangan untuk menyusun anggaran dan hak angket dalam mengawasi pemerintahan Hindia-Belanda. 

Pasca kemerdekaan di tanggal 29 Agustus 1945, para founding fathers (pendiri bangsa) Indonesia akhirnya mendirikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk menggantikan peran Volksraad yang tujuannya membantu kinerja presiden.

Juga pada perkembangannya KNIP ini bertransformasi menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang kita kenal hari ini memiliki tugas dan fungsi yaitu legislasi (membuat undang-undang), budgeting (merumuskan anggaran), dan controlling (mengawasi setiap kinerja pemerintah).

Selain itu, DPR secara kontekstual juga memiliki fungsi lain dalam menyerap aspirasi di daerah pemilihan serta menjalankan wewenang lain yang diatur dalam UU MD3.
 
Melihat begitu sentralnya keberadaan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa lembaga ini memiliki tanggung jawab yang besar secara hukum dan moral dalam memenuhi harapan rakyat.

Hukum dan moral secara filosofis memiliki persamaan dalam mengatur kinerja serta ditopang oleh sanksi bagi setiap individu anggota DPR. 
 
Itu sebabnya ketika terdapat oknum anggota DPR yang mengeluarkan pernyataan kontroversial yang dianggap bertentangan dengan arus kepentingan publik atau lebih jauh terkena kasus hukum, maka tidak heran masyarakat kerap mengasosiasikan bahwa permasalahan ini sifatnya kolektif secara kelembagaan.

Padahal di Senayan terdapat 580 anggota DPR yang memiliki kepribadian, sosial serta partai politik berbeda-beda. Ini pula yang menjadi alasan setiap anggota DPR harus mampu bekerja di bawah kontrol etik karena kedudukannya bersifat kolektif dalam menjaga marwah institusi.  
 
Kedaulatan Rakyat
 
Harus diakui persepsi kepuasan publik terhadap DPR belum maksimal yang mana berdasarkan hasil publikasi survei Lembaga Indikator Politik Indonesia tanggal 27 Januari 2025 lalu menyebutkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap DPR adalah 69 persen serta berada di peringkat ke-10 dari 11 lembaga. 
 
Namun, jika membandingkan dengan data survei di dua tahun sebelumnya yaitu dari data Lembaga Indikator Politik Indonesia di Bulan Juni 2023 yang mempublikasi temuannya bahwa tingkat kepuasan publik terhadap DPR adalah 61,4 persen.

Selain itu berdasarkan rilis dari Litbang Kompas yang melakukan survei di Bulan Mei-Juni 2024 menyebutkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap DPR adalah 62,6 persen. 
 
Lebih jauh, jika kita membandingkan lagi ke tahun 2017, dari temuan Lembaga Poltracking Indonesia di tahun 2017 menyebutkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap DPR hanya 34 persen.

Berdasarkan hasil temuan ini secara kuantitatif dari tahun ke tahun sejatinya DPR terus melakukan pembenahan secara kelembagaan demi memupuk kepercayaan publik terus tumbuh membersamai dengan kinerja DPR.
 
Juga secara umum, rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap DPR tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga jamak terjadi di parlemen banyak negara demokrasi lain di dunia.

Namun meski demikian, tentu hal ini bukan jadi alasan pembenaran sebab core DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat harus selalu linear dengan kepentingan menegakkan kedaulatan rakyat.
 
Prinsip menegakkan kedaulatan rakyat ini pula kemudian menjadi pegangan setiap anggota DPR RI masa bakti 2024-2029 untuk lebih responsif dalam menyelesaikan persoalan di masyarakat.

Di mana operasionalisasinya secara teknis adalah DPR sebagai lembaga legislatif lebih inklusif dalam berdialog dalam setiap isu, wacana atau kejadian yang berkembang di masyarakat serta langsung berkomunikasi dengan pemerintah dalam mencari langkah terbaik dalam menyelesaikannya.

Pada poin ini setidaknya ada beberapa kasus yang bisa dijadikan fakta empirik yaitu;

Pertama, pada bulan Januari 2025 lalu, pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani menetapkan PPN 12 persen yang menimbulkan polemik di masyarakat yang langsung direspons oleh DPR sehingga kebijakan kenaikan PPN hanya dibatasi pada barang mewah.
  
Kedua, pada Bulan Februari 2025 lalu, terjadi kelangkaan gas elpiji 3 kg di masyarakat sebagai dampak dari kebijakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terkait distribusi elpiji subsidi.

Persoalan ini kemudian langsung direspons oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad yang dampaknya masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan gas elpiji 3 kg.
 
Ketiga, pada bulan Juni 2025 yang lalu terjadi polemik empat pulau di Aceh yang sempat bersengketa dengan Provinsi Sumatera Utara dan menimbulkan kericuhan di publik yang secara cepat direspons oleh DPR yang langsung berkoordinasi dengan pemerintah untuk menyelesaikannya. 
 
Keempat, pada bulan Agustus 2025 terjadi polemik royalti di antara musisi pencipta lagu dan pengarang lagu (komposer) yang langsung diselesaikan oleh DPR dengan mempertemukan pemangku kepentingan (stakeholders) industri musik Indonesia dalam sebuah ruang rapat di Senayan yang akhirnya bisa mengatasi kegaduhan di publik. 
 
Tentu keempat kasus di atas hanyalah sebagian contoh karena masih banyak kasus-kasus lainnya yang diselesaikan lewat kinerja DPR yang responsif dan inklusif terhadap isu di masyarakat.  
 
Demokrasi Substansial 
 
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia tentu diharapkan bisa menegakkan nilai-nilai demokrasi substansial. Adapun demokrasi substansial ini dipahami bukan sekadar bagaimana Indonesia bisa sukses dalam melaksanakan pemilihan umum tapi mampu menegakkan kesetaraan, persamaan hak, mewujudkan keadilan dan siap menerima setiap kritik dari masyarakat. 
 
Kemarin tanggal 25 Agustus 2025 terjadi demonstrasi di DPR dari mahasiswa dan kelompok masyarakat sipil dengan tiga isu utama yaitu pengesahan RUU Perampasan Aset, pembatalan kenaikan tunjangan gaji DPR dan tuntutan membubarkan DPR. 
 
Secara wacana tentu tidak ada masalah dengan tuntutan tersebut karena kritik terhadap DPR adalah bagian dari kerinduan rakyat akan hadirnya wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan masyarakat yang diwakilinya. Namun, barang tentu setiap kritik tersebut memperhatikan kondisi eksisting dan historis serta konsekuensi yang dihasilkan. 
 
Terkait tuntutan pengesahan RUU Perampasan Aset dan pembatalan kenaikan tunjangan gaji DPR tentu masih dalam tahapan yang rasional serta bisa menjadi diskursus yang membangun dengan argumentasi yang logis.

Namun, terkait pembubaran DPR dalam tataran historis tentu memiliki dua konsekuensi jika kita merujuk ke sejarah politik di Indonesia. 
 
Misalnya; pada tahun 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu poinnya adalah pembubaran DPR.

Namun, konsekuensi yang harus diterima oleh masyarakat kala itu justru menjebak Presiden Soekarno yang akhirnya dicap sebagai diktator karena kekuasaan mutlak yang berada di tangan eksekutif (presiden). Padahal semangat kehadiran DPR dalam pemerintahan Indonesia adalah agar kekuasaan presiden tidak absolut. 
 
Kemudian, pada tahun 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga mengeluarkan dekrit pembubaran DPR yang berdampak secara politik presiden Gus Dur harus dimakzulkan karena dianggap bersikap otoriter. 
 
Kesimpulannya adalah bangsa Indonesia memiliki catatan kelam soal tuntutan pembubaran DPR yang konsekuensinya bisa merujuk seperti yang dialami oleh Presiden Soekarno atau Presiden Gus Dur.

Tentu kita tidak ingin Presiden Prabowo yang hari-hari ini sedang fokus dalam menjalankan program yang mengarusutamakan kepentingan rakyat harus terjebak dalam citra kepemimpinan diktator atau dianggap otoriter karena kekuasaan absolut yang dimiliki akibat tidak adanya kontrol dari DPR. 
 
Memang harus diakui kinerja DPR masih belum sepenuhnya sempurna  serta membutuhkan perbaikan dari waktu ke waktu dan ke depan kita harapkan DPR semakin mampu hadir di tengah-tengah pergolakan rakyat serta menjadi solusi atas setiap problematika yang ada sehingga tingkat kepercayaan publik terus meningkat seperti sebelumnya.

*Wakil Ketua Komisi XIII DPR

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya