DI negeri yang rajin pamer pertumbuhan ekonomi dan suka mem-branding diri dengan “bonus demografi”, ada satu berita yang bikin mata mendadak segar meski kopi belum teguk. Seorang balita empat tahun di Sukabumi, Jawa Barat, meninggal karena cacingan.
Ya, cacing. Makhluk yang biasanya cuma muncul di buku IPA SD atau jadi umpan mancing, di sini berubah status: dari figuran menjadi aktor utama dalam tragedi bangsa. Dan ketika wartawan menanyakan tragedi ini kepada Menko PMK, jawabannya singkat: “Saya ngantuk.”
Seandainya itu lelucon di panggung stand-up comedy, penonton pasti tertawa. Sayangnya, ini realita, dan tawa kita mendadak tercekat di tenggorokan. Baru sehari kemudian, mungkin setelah kantuk reda atau mungkin diingatkan presiden, barulah Pak Menko mulai bersuara.
Cacingan bukan penyakit ecek-ecek. Menurut WHO, sekitar 1,5 miliar orang di dunia masih terinfeksi
soil-transmitted helminths (STH). Di Indonesia sendiri, data Kemenkes mencatat prevalensi kecacingan pada anak SD rata-rata 28 persen, bahkan di beberapa daerah tembus 62 persen.
Artinya, lebih dari separuh perut anak-anak kita bisa jadi dihuni cacing.
Astaghfirullah. Efeknya jangan disepelekan: anemia, gizi buruk, penurunan kecerdasan, hingga stunting. Dan dalam kasus ekstrem, seperti di Sukabumi, berujung pada kematian.
Tapi bangsa ini sudah terlalu akrab dengan kata “terabaikan.” Jalan rusak dibiarkan puluhan tahun, sekolah reyot menunggu rubuh, sampai usus anak-anak yang jadi apartemen cacing pun dianggap lumrah, sampai ada yang mati, lalu jadi berita.
Mari kita bayangkan ulang beritanya yang viral. Wartawan bertanya soal balita miskin yang tubuhnya dipenuhi cacing. Jawaban pejabat, “Saya ngantuk.” Seolah empati itu butuh alarm. Kalau saja ada bantal guling di meja konferensi pers, mungkin malah kantuknya hilang.
Padahal publik tidak menuntut solusi instan malam itu juga. Tak perlu janji “cacing akan dimusnahkan sebelum ayam berkokok.” Yang dibutuhkan cuma kalimat sederhana, “Innalillah. Kami turut berduka. Ini alarm bagi kita semua.”
Tak perlu ia membeberkan
grand design pemusnahan jutaan cacing yang bersemayam di perut anak-anak Indonesia. Cukup tunjukkan rasa kemanusiaan dan sikap empati, sebelum bicara teknis birokrasi yang pasti melibatkan banyak instansi.
Esoknya, tentu saja, keluar pernyataan resmi seperti biasa, pemerintah “
aware, tanggap, segera bertindak.” Dari politisi, pak Menko sendiri, hingga gubernur, semua bicara. Kalimat mereka khas birokrasi, lengkap dengan bumbu koordinasi lintas sektor.
Namun publik terlanjur mencatat: yang pertama keluar dari mulut pejabat bukan belasungkawa, melainkan kantuk. Itu simbolik. Seolah negara sedang memainkan teater absurd: anak mati karena penyakit abad ke-19 di abad ke-21, sementara pejabatnya mengantuk.
Pertanyaan publik sederhana: apakah cacingan bisa diatasi? Jawabannya: bisa. Dan murah. WHO sejak lama merekomendasikan
albendazole dan
mebendazolesebagai obat utama. Murah, efektif, bisa dibagikan lewat sekolah dan posyandu.
Namun ada obat lain yang sangat manjur:
ivermectin. Obat ini terbukti sangat efektif melawan
Ascaris lumbricoides (cacing gelang), setara dengan
albendazole. Semasa pandemi Covid-19,
ivermectin sempat populer, meski kontroversial, lalu keburu dicap “obat hewan” di sini.
Padahal, bukti medisnya jelas,
ivermectin dibuat untuk kecacingan. Di Brasil, program pemberian massal
ivermectin menurunkan prevalensi
ascariasis drastis: dari 17 persen menjadi hanya 0,4 persen dalam sebulan, dan tetap rendah bahkan sembilan bulan kemudian.
Kombinasi
ivermectin + albendazole juga efektif untuk
Trichuris trichiura (cacing cambuk) yang lebih bandel. Dan khusus untuk
Strongyloides stercoralis, ivermectin justru menjadi obat utama, dengan tingkat kesembuhan lebih dari 90 persen.
Strongyloides stercoralis adalah cacing gelang kecil yang sering lolos dari perhatian, justru karena ukurannya. Larvanya bisa langsung menembus kulit, biasanya saat seseorang berjalan tanpa alas kaki di tanah tercemar. Dari kaki, ia menumpang darah, singgah di paru-paru, lalu ikut tertelan dan menetap di usus halus.
Berbeda dengan
Ascaris yang butuh keluar untuk berkembang biak, Strongyloides bisa melakukan autoinfeksi. Larva yang menetas di usus bisa kembali menyerang tubuh yang sama, menembus dinding usus atau kulit sekitar anus. Akibatnya, infeksi bisa bertahan bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.
Pada orang sehat, gejalanya mungkin ringan seperti diare, sakit perut, ruam, atau batuk. Kadang tanpa gejala sama sekali. Tetapi pada orang dengan daya tahan lemah,
strongyloides bisa berubah jadi bencana. Larva menyebar masif ke paru, hati, bahkan otak, menimbulkan
hyperinfection syndrome yang sering berakhir fatal.
Karena itulah WHO pada 2024 merekomendasikan penggunaan massal
ivermectin di daerah dengan prevalensi Strongyloides cukup tinggi.
Jadi, kalau
Ascaris ibarat perampok yang datang terang-terangan dengan tubuh besar,
trongyloides adalah pencuri licik yang kecil, gesit, dan betah bersembunyi. Sama-sama berbahaya, hanya cara menyerang dan konsekuensinya berbeda.
Dengan kata lain, kita punya banyak amunisi. Termasuk untuk melawan cacing paling bandel sekalipun. Tetapi apa gunanya senjata hebat kalau yang memegangnya ketiduran?
Negara ini punya banyak slogan mulia yakni Indonesia Emas 2045, bonus demografi, generasi unggul. Tapi slogan itu terdengar absurd ketika anak-anak masih mati karena cacing, penyakit yang bisa dicegah dengan obat semurah gorengan.
Lucunya, cacing itu rajin. Ia bekerja siang malam, menyusup lewat tanah, air, kuku, dan makanan. Makhluk kecil ciptaan Tuhan ini tak pernah ngantuk. Sementara manusia, makhluk besar ciptaan Tuhan juga, kadang lebih dulu kalah oleh kantuk ketimbang rasa empati.
Maka jika bangsa ini masih terus mengantuk menghadapi masalah mendasar seperti gizi, sanitasi, dan kesehatan anak, jangan kaget jika suatu hari kita terbangun bukan dalam “mimpi emas,” melainkan kenyataan pahit yaitu bonus demografi yang berubah jadi bonus cacingan. Semoga tidak.
Penulis adalah Wartawan Senior