Praktisi hukum, Deolipa Yumara. (Foto: RMOL/Faisal Aristama)
Praktisi hukum, Deolipa Yumara menanggapi polemik royalti musik yang menimbulkan kegaduhan publik belakangan ini. Ia mendesak agar Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) segera diaudit demi transparansi.
LMKN yang merupakan lembaga nonstruktural di bawah Kementerian Hukum (Kemenkum) dianggap sebagai perpanjangan tangan negara dalam mengelola royalti.
“Mereka (LMKN) diberikan hak secara institusi untuk melakukan kolektif, kolektif terhadap royalti, musik. Ciptaan lagu maupun musik kan mereka diberikan hak untuk mengkolektif. Mereka adalah wakil dari negara. Karena diatur secara undang-undang,” kata Deolipa saat jumpa pers di Walking Drums, Jakarta Selatan, Selasa 19 Agustus 2025.
Menurutnya, sistem pengelolaan royalti pada praktik pelaksanaannya banyak menimbulkan masalah. Apalagi banyak musisi dan pencipta lagu mengeluh lantaran menerima royalti dalam jumlah kecil, padahal penarikan dari berbagai sektor hiburan terbilang besar.
“Akhirnya ada teriakan-teriakan dari pencipta lagu yang katanya cuma terima pembayaran sebagai pencipta lagu kecil, cuma Rp700 ribu selama setahun ya, ada yang Rp200 ribu. Nah, sementara LMKN ini menerima atau menagih kepada hampir semua usaha-usaha entertain,” kata Deolipa.
“Bioskop ditagih, kemudian mal ditagih, hotel ditagih, lembaga-lembaga perjalanan yang bikin musik ditagih, semuanya ditagih, bahkan kafe-kafe ditagih,” imbuhnya.
Deolipa lantas menyinggung perkara kasus Mie Gacoan dengan LMKN, dimana tagihannya dalam satu tahun mencapai Rp2,4 miliar. Ia pun mempertanyakan transparansi pengelolaan dana tersebut. Ia mendesak LMKN diaudit demi transparansi publik.
“Pertanyaannya, uangnya kemana? Publik berhak tahu. Makanya saya minta supaya ini diaudit. Sama seperti Ari Lasso juga minta LMKN diaudit,” kata Deolipa.
Deolipa menambahkan, lemahnya regulasi, pengawasan, dan praktik di lapangan membuat persoalan semakin runyam mengenai distribusi royalti musik di Tanah Air.
“Regulasinya juga jadi lemah, kemudian pengawasannya juga kelihatannya kongkalikong, kemudian praktiknya juga lemah, penagihannya juga lemah. Hanya target-target tertentu saja tampaknya, kan,” kata Deolipa.
“Atau kalau kita anggap semua target penagihannya itu berjalan baik, tentunya ada uang besar yang kemudian menjadi gelap. Kenapa? Karena pembayaran royaltinya kepada pencipta lagu kecil, gitu. Jadi itu tadi, makanya kita anggap lemah semua,” sambungnya.
Deolipa juga menyesalkan LMKN yang kerap bertindak seperti tukang tagih yang mengancam pidana bila pelaku usaha tidak membayar.
“Jadi mereka si LMKN semacam centeng, tukang tagih. Kalau enggak bayar, kami penjarakan, kan begitu. Melebihi orang pajak,” ucapnya.
Di sisi lain, Deolipa juga menyesalkan posisi LMKN yang berstatus non-struktural. Menurutnya, hal itu membuat pengelolaan royalti semakin kabur.
“Kalau struktural kan jelas. Kalau non struktural kan abu-abu," kata Deolipa.
Sebagai solusi jangka panjang, Deolipa pun mendorong pemerintah dan DPR membuat undang-undang baru yang lebih detail soal tata kelola royalti.
“Jadi, ini perlu adanya undang-undang baru," demikian Deolipa.