Berita

DR. Bachtiar/Ist

Publika

Reposisi Bawaslu Dalam Desain Arsitektur Pengawasan Pemilu

OLEH: DR. BACHTIAR*
SENIN, 04 AGUSTUS 2025 | 14:47 WIB

PEMILIHAN umum (pemilu) adalah tonggak utama demokrasi. Melalui pemilu, kekuasaan diserahkan oleh rakyat secara sah dan damai. Di Indonesia, salah satu lembaga yang mengawal pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). 

Namun, dalam praktiknya, peran Bawaslu sering kali direduksi hanya sebatas pengawas prosedural.

Padahal, dalam iklim demokrasi yang terus berkembang, Bawaslu seharusnya diposisikan sebagai penjaga integritas demokrasi itu sendiri.


Meninjau Ulang Posisi Bawaslu

Dalam doktrin trias politika Montesquieu, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun, dalam perkembangannya, lahir lembaga-lembaga independen seperti Bawaslu yang tak sepenuhnya masuk dalam tiga kategori tersebut. 

Keberadaan Bawaslu mencerminkan kebutuhan zaman: demokrasi butuh pengawasan yang kuat, netral, dan tidak berpihak.

Bawaslu tidak hanya menjalankan pengawasan tahapan teknis pemilu. Ia juga memiliki wewenang menyelesaikan sengketa dan bahkan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat.

Artinya, Bawaslu beroperasi dalam ranah quasi-yudisial. Di titik inilah kita perlu merumuskan ulang: apakah Bawaslu hanyalah alat bantu administratif, atau sudah menjadi institusi vital dalam arsitektur kekuasaan negara?

Tantangan Struktural dan Wewenang Terbatas

Meski disebut independen, faktanya proses rekrutmen anggota Bawaslu masih dipengaruhi tarik-menarik politik di parlemen. 

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa independensi Bawaslu sebatas formalitas. Hal ini menjadi problem krusial ketika lembaga ini diharapkan menjadi wasit yang tegas dan netral.

Selain itu, kewenangan pengawasan Bawaslu masih terbelenggu aturan tahapan pemilu yang kaku. Banyak pelanggaran serius justru terjadi di luar masa kampanye resmi: dari politik uang, mobilisasi birokrasi, hingga kampanye terselubung. Namun, karena terjadi di luar waktu “resmi”, semua itu sering tak tersentuh hukum.

Kelemahan lain terlihat dari keterbatasan Bawaslu dalam menindak pelanggaran. Saat ini, Bawaslu hanya bisa melaporkan dan merekomendasikan kasus kepada aparat penegak hukum melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) yang terdiri dari Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan. 

Namun, koordinasi di Gakkumdu sering mandek. Bawaslu seakan kehilangan kendali atas proses hukum yang lahir dari hasil pengawasannya sendiri.

Menuju Lembaga Demokrasi Substantif

Kini saatnya mengubah cara pandang terhadap Bawaslu. Lembaga ini bukan hanya pengawas teknis, melainkan penjaga etika demokrasi. Seperti dikemukakan oleh Bruce Ackerman dan Mark Tushnet, demokrasi modern membutuhkan institusi non-mayoritarian lembaga yang tak lahir dari pemilu, tapi justru bertugas menjaga agar pemilu tetap bermartabat.

Dalam konteks ini, Bawaslu harus diperkuat secara kelembagaan, diberi ruang untuk bertindak substantif, dan disokong dengan legitimasi moral. Tiga agenda strategis yang patut diprioritaskan: Pertama, penguatan otonomi kelembagaan. Proses seleksi anggota Bawaslu harus steril dari kepentingan politik.

Panitia seleksi independen dengan keterlibatan publik menjadi solusi agar Bawaslu terisi oleh orang-orang yang berintegritas. Kedua, reformulasi kewenangan substantif. 

Bawaslu perlu diberi kewenangan untuk bertindak atas pelanggaran yang terjadi di luar tahapan resmi, serta kemampuan penindakan dalam kasus politik uang. Revisi UU Pemilu harus mengakomodasi realitas ini. Ketiga, pembaharuan sistem akuntabilitas publik. 

Bawaslu harus membangun sistem pengawasan berbasis partisipasi publik. Teknologi informasi bisa dimanfaatkan untuk membuka akses data, pelaporan pelanggaran, dan membangun gerakan pengawasan kolaboratif.

Menjaga Marwah Demokrasi

Refleksi terhadap peran Bawaslu tak boleh berhenti pada teknis kelembagaan. 

Ini adalah soal arah demokrasi kita. Ketika pemilu dihadapkan pada godaan oligarki, disinformasi, dan ketimpangan akses kekuasaan, maka kehadiran Bawaslu yang kuat dan berani adalah keniscayaan.

Memperkuat Bawaslu bukan semata menyempurnakan arsitektur demokrasi, tapi juga menjadi jalan untuk menyelamatkan marwah pemilu dari praktik-praktik curang dan transaksional. 

Dengan independensi, legitimasi moral, dan wewenang yang tepat, Bawaslu akan mampu menjalankan mandatnya bukan hanya sebagai pengawas pemilu, tetapi sebagai pelindung integritas demokrasi itu sendiri.

*Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Pamulang

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya