INDONESIA bukan hanya sebuah negara yang merdeka secara politik. Sejak awal, para pendiri bangsa telah merancang agar kemerdekaan itu juga bermakna secara ekonomi. Inilah sebabnya mengapa dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33, dengan tegas menyatakan bahwa perekonomian nasional harus disusun sebagai usaha bersama, berdasarkan asas kekeluargaan. Inilah yang disebut sebagai sistem demokrasi ekonomi. Sebuah sistem yang dirancang bukan untuk menumpuk kekayaan di tangan segelintir orang, melainkan untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun, seiring waktu, cita-cita luhur ini semakin menjauh dari kenyataan. Indonesia hari ini justru lebih menyerupai negara kapitalis pinggiran ketimbang republik yang menganut demokrasi ekonomi. Pasar bebas dijadikan mantra pembangunan.
Negara didorong menjauh dari perannya sebagai pengatur dan pelindung rakyat, digantikan oleh kekuatan korporasi dan modal besar. Sistem kapitalisme, yang sejak awal diperingatkan oleh Bung Hatta sebagai jalan menuju penindasan ekonomi, kini tumbuh subur, bahkan seolah menjadi jalan satu-satunya.
Kapitalisme telah menjadi sistem yang dominan. Ia bukan sekadar mekanisme ekonomi, melainkan logika kekuasaan yang menempatkan modal sebagai penentu atas segalanya. Siapa yang menguasai modal, dialah yang mengatur produksi, distribusi, dan bahkan arah kebijakan negara.
Rakyat, dalam sistem ini hanya menjadi konsumen, atau sebagai buruh yang rentan dieksploitasi. Tak ada demokrasi dalam kapitalisme. Kuasa ditentukan oleh besar kecilnya kepemilikan modal, bukan orang sebagai subyek dan juga partisipasinya.
Di sinilah letak ironi terbesar kita. Konstitusi kita jelas menolak kapitalisme. Kapitalisme adalah sebagai sistem yang tidak beradab, karena menyerahkan kehidupan rakyat pada kekuatan pasar yang buta.
Sistem demokrasi ekonomi berpijak pada kerja sama, bukan persaingan; pada partisipasi, bukan dominasi; pada pemerataan, bukan akumulasi. Untuk itulah demokrasi ekonomi dan koperasi itu menjadi penting.
Demokrasi ekonomi sebagai sistem yang bertumpu pada manusia, bukan modal. Sebuah sistem yang mengedepankan gotong royong, bukan individualisme. Dihadapan sistem kapitalisme global, konstitusi kita memberikan arah dan norma agar bangsa ini tidak terseret dalam arus liberalisasi ekonomi yang membahayakan kedaulatan.
Kapitalisme itu juga bertentangan dengan demokrasi. Demokrasi menuntut kesetaraan dan partisipasi, sementara kapitalisme mengukuhkan ketimpangan dan dominasi.
Sayangnya, Pemerintah sejak era Orde Baru hingga reformasi cenderung menyesuaikan diri dengan tatanan ekonomi global yang kapitalistik. Pasal 33 UUD 1945 bahkan sempat direvisi untuk memberi ruang lebih besar kepada mekanisme pasar. Privatisasi BUMN, deregulasi, liberalisasi perdagangan, dan pelonggaran investasi asing menjadi bukti bahwa negara semakin menjauh dari cita-cita demokrasi ekonomi.
Akibatnya, kesenjangan sosial makin tajam. Menurut laporan Oxfam (2023), hanya empat orang terkaya di Indonesia, memiliki kekayaan setara dengan seratus juta rakyat Indonesia dari yang termiskin.
Ini bukan sekadar statistik. Ini adalah cermin dari kegagalan sistem yang membiarkan pasar bekerja tanpa kendali. Di desa-desa, petani kehilangan lahan. Di kota, buruh hidup dalam ketidakpastian kerja. Di seluruh penjuru negeri, kekayaan alam diekstraksi untuk keuntungan segelintir pemodal, sementara rakyat hanya mendapat remah.
Dalam kondisi seperti ini, koperasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi ekonomi justru terpinggirkan. Ia direduksi sebagai instrumen program pemerintah, bukan sebagai gerakan rakyat yang mandiri. Dukungan regulasi lemah, akses ke pembiayaan terbatas, dan pendidikan koperasi nyaris diabaikan. Padahal koperasi adalah satu-satunya bentuk perusahaan yang menjalankan prinsip satu orang satu suara, bukan satu lembar saham satu suara. Di sinilah nilai demokrasi menemukan bentuknya dalam ekonomi.
Namun, harapan belum hilang. Krisis global yang berkepanjangan membuka mata banyak pihak bahwa kapitalisme bukanlah sistem yang bisa diandalkan dalam jangka panjang. Ketika krisis finansial melanda, ketika pandemi menghantam, dan konflik memanas justru komunitas-komunitas berbasis solidaritas yang terbukti lebih tangguh. Di negara-negara yang mempertahankan koperasi sebagai pilar ekonomi--seperti Finlandia, Kanada, dan Jerman, tingkat ketahanan sosial dan ekonomi jauh lebih tinggi.
Indonesia sesungguhnya memiliki modal besar untuk kembali ke jalan konstitusi. Demokrasi ekonomi bukan sekadar idealisme, tapi juga kebutuhan nyata. Ia menawarkan sistem yang tidak hanya adil, tetapi juga berkelanjutan. Ia tidak menolak pasar, tapi mengaturnya agar bekerja bagi kemanusiaan. Ia tidak menentang investasi, tapi memastikan agar investasi tidak mengorbankan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
Tentu, perubahan ini tidak bisa dicapai hanya dengan retorika. Diperlukan keberanian politik untuk menata ulang sistem ekonomi nasional. Pemerintah harus berhenti meminggirkan demokrasi ekonomi dan mulai menempatkannya rakyat sebagai subjek utama dalam strategi pembangunan.
Reformasi agraria harus dijalankan secara serius, bukan sekadar janji politik. BUMN dan BUMD harus dikelola secara demokratis, bukan dikuasai oleh elite birokrat dan politik. Sistem perpajakan dan pengupahan harus dibuat lebih adil, dan sistem kepemilikan perlu didemokratisasi melalui skema seperti employee ownership atau kepemilikan buruh.
Lebih dari itu, pendidikan rakyat harus dikembalikan pada kesadaran kritis dan nilai-nilai luhur kebangsaan. Rakyat perlu disadarkan bahwa mereka bukan hanya warga negara dalam pengertian politik, tetapi juga pemilik sah atas ekonomi nasional. Demokrasi tidak boleh berhenti di bilik suara. Ia harus menjelma dalam setiap keputusan ekonomi yang memengaruhi hidup bersama.
Untuk menentukan masa depan bangsa ini, dan jika kita masih meyakini bahwa Indonesia adalah negara hukum, negara demokrasi, dan maka tidak ada pilihan lain selain kembali ke sistem demokrasi ekonomi, jalan konstitusional yang selama ini kita abaikan.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)