Berita

Ilustrasi/RMOL

Publika

Tarif Dagang dan Kedaulatan Kita

Oleh: Suroto*
JUMAT, 18 JULI 2025 | 03:45 WIB

INDONESIA baru saja menandatangani kesepakatan dagang bilateral terbaru dengan Amerika Serikat. Namun, alih-alih memperkuat posisi ekonomi nasional, perjanjian ini justru menyiratkan lemahnya daya tawar dan krisis arah strategi perdagangan kita.

Dalam kesepakatan tersebut, ekspor Indonesia ke pasar Amerika dikenai tarif sebesar 19 persen. Sebaliknya, produk-produk dari Amerika Serikat masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenakan bea masuk alias nol persen. Tidak hanya sampai di situ, Indonesia juga ditekan untuk membuka keran impor lebih luas terhadap komoditas strategis seperti energi dan pangan.

Secara langsung, ini berpotensi menimbulkan defisit ganda--defisit neraca perdagangan dan defisit neraca pembayaran. Secara struktural, hal ini menambah ketergantungan kita pada pasokan asing, melemahkan basis ekonomi domestik, dan mengancam keberlangsungan industri dalam negeri. Dalam jangka menengah hingga panjang, konsekuensi logisnya adalah meningkatnya pengangguran, melemahnya nilai tukar, dan rapuhnya ketahanan nasional.


Apalagi ketika komoditas yang paling banyak diimpor adalah pangan. Ketergantungan pada impor pangan tak ubahnya menggantungkan sendi-sendi utama kehidupan rakyat kepada dinamika dan fluktuasi pasar global. Sedikit saja gejolak, maka harga melonjak, daya beli rakyat terpukul, dan negara kehilangan kontrol atas kebutuhan paling mendasar warganya: makanan.

Perjanjian dagang ini mencerminkan ketidakseimbangan kekuatan. Negara seperti Indonesia, yang belum memiliki kekuatan industri mapan dan masih sangat bergantung pada sektor primer, secara inheren rentan dalam hubungan perdagangan yang menekan ini. Alih-alih menjadi sarana untuk tumbuh bersama, hubungan  yang tak adil ini justru menjadikan kita pasar pasif bagi kelebihan produksi negara maju.

Amerika Serikat, dengan kekuatan industrinya yang luar biasa, tentu tidak akan kesulitan memanfaatkan kesepakatan ini. Sebaliknya, Indonesia, dengan struktur ekonomi yang belum solid, tentu akan segera terpuruk. Industri dalam negeri, terutama sektor pangan berbasis rakyat, tidak punya cukup pelindung dan fasilitas untuk menghadapi gempuran produk asing. 

Hal ini bukan kebetulan, melainkan buah dari penetrasi ideologi ekonomi yang telah lama menyusup ke dalam struktur kebijakan kita, neo-kapitalisme yang masuk melalui jalur utang, investasi, serta skema pasar bebas yang diagung-agungkan, namun kerap timpang dan elitis dalam praktiknya.

Ekonomi Ujung vs Ekonomi Pangkal

Sudah saatnya kita kembali pada logika pembangunan ekonomi yang lebih membumi. Bung Hatta, yang bukan hanya dikenal sebagai Bapak Koperasi, tetapi juga perancang utama arah ekonomi Indonesia, pernah membedakan secara tajam antara ekonomi ujung dan ekonomi pangkal ( Hatta, 1951). 

Menurutnya, ekonomi pangkal adalah ekonomi yang menjamin kebutuhan dasar rakyat: pangan dan energi. Inilah sektor yang harus menjadi pondasi ekonomi nasional. Sementara itu, ekspor komoditas, terutama bahan mentah, adalah ekonomi ujung. Artinya, itu hanya bisa dilakukan setelah kebutuhan dasar rakyat terpenuhi dan memiliki surplus produksi.

Kita selama ini justru melakukan sebaliknya. Kita ekspor bahan mentah--nikel, batu bara dan  sawit. Sementara kebutuhan pangan pokok seperti beras, kedelai, gula, dan daging justru kita impor. Kita menjual apa yang tidak kita butuhkan, dan membeli apa yang semestinya bisa kita produksi sendiri.

Untuk membalikkan keadaan, diperlukan strategi perdagangan yang cerdas dan berpihak. Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah substitusi impor yang diarahkan dengan jelas. Artinya, jika saat ini kita masih harus mengimpor, maka sebaiknya yang diimpor bukanlah barang jadi, melainkan barang modal yang bisa memperkuat basis produksi domestik.

Contohnya sederhana. Daripada terus-menerus mengimpor makanan kaleng, lebih baik kita mengimpor mesin pengalengannya. Negara dapat memberikan subsidi fiskal untuk pengadaan alat-alat tersebut, memberikan insentif pajak, hingga meringankan beban logistik. Dengan cara ini, dalam jangka menengah kita bisa memproduksi sendiri kebutuhan pangan olahan, bahkan mungkin mengekspornya kembali dengan nilai tambah yang lebih besar.

Pendekatan semacam ini bukan hanya akan mengurangi ketergantungan, tetapi juga menciptakan lapangan kerja, mengembangkan industri rumah tangga, dan menstabilkan harga di dalam negeri, karena tidak terpengaruh fluktuasi pasar global.

Pembangunan ekonomi yang sejati adalah pembangunan yang dimulai dari bawah. Dari desa, dari keluarga petani, dari industri kecil, dari koperasi genuine milik rakyat. Bukan dari korporasi besar yang mudah keluar masuk, dan bukan dari investasi asing yang datang bersama ketentuan dan kepentingan mereka sendiri.

Dalam konteks ini, pembangunan sektor pangan dan energi menjadi titik krusial. Ketika rakyat memiliki akses dan kontrol atas pangan dan energi, maka kemandirian nasional akan terbentuk secara alami. Ketika rakyat memproduksi, bukan hanya mengonsumsi, maka struktur ekonomi akan lebih berkeadilan.

Butuh Kepemimpinan Ideologis

Namun semua ini hanya mungkin terjadi jika ada kepemimpinan yang berpihak secara ideologis pada rakyat. Pemimpin yang tidak menjadikan rakyatnya sebagai pasar, tetapi sebagai produsen. Bukan pemimpin yang membanggakan murahnya upah buruh untuk menarik investor, tapi pemimpin yang menjadikan martabat rakyat sebagai dasar pembangunan.

Kebijakan yang mendorong kedaulatan ekonomi tidak bisa dilahirkan oleh pemimpin yang hanya mengelola data pertumbuhan dan neraca transaksi, tetapi oleh pemimpin yang memiliki imajinasi politik dan keberanian moral untuk membalik arah pembangunan.

Kita tidak butuh janji-janji industrialisasi semu. Kita butuh kedaulatan atas tanah dan pangan, kedaulatan atas produksi dan pasar, dan kedaulatan atas keputusan ekonomi kita sendiri.

Kesepakatan dagang Indonesia-Amerika kali ini bukan hanya soal tarif. Ia adalah soal posisi. Apakah kita berdiri sebagai bangsa yang berdaulat, atau sekadar pelengkap dalam peta ekspansi ekonomi global?

Sudah saatnya kita berhenti menjadi pasar. Kita harus bangkit menjadi bangsa produsen, bangsa yang percaya pada kekuatan rakyatnya sendiri.


*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang 

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya