Seorang anak balita berinisial J diduga menjadi korban malapraktik oleh oknum dokter di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Balita yang diketahui anak Co-Founder Gem Research International Laboratory, Adam Harits itu sempat mengalami kebocoran pada usus dan harus dirawat intensif selama lebih dari sebulan.
Dugaan malapraktik tersebut bermula ketika Adam membawa anaknya ke RSCM pada 28 Agustus 2024 untuk pemeriksaan rehab medik. Pemeriksaan dilakukan seiring kondisi J yang tidak mau mengonsumsi makanan pendamping air susu ibu (MPASI).
”Ada keluhan muntah, gumoh juga,” kata Adam dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 25 Juni 2025.
Hasil konsultasi awal, J disarankan dibawa ke dokter spesialis rehabilitasi medik. Saran tersebut kemudian diikuti Adam dengan membawanya ke dokter rehab medik pada 11 Oktober 2024.
”Dari sana (rehabilitasi medik), kami dirujuk ke spesialis THT (telinga, hidung, tenggorokan) yang didampingi langsung oleh dokter rehab medik,” kata Adam.
Hasil pemeriksaan THT, ada bulir-bulir di tenggorokan J atau
cobblestone appearance. J kemudian disarankan dibawa ke dokter senior di RSCM berinisial P.
Adam menjabarkan, pemeriksaan lanjutan dilakukan dokter tersebut pada 23 Oktober 2024. Pada pemeriksaan pertama, dokter yang menyandang gelar profesor tersebut langsung menyarankan prosedur endoskopi tanpa memeriksa tubuh J.
Bahkan menurut Adam, dokter tersebut menyarankan prosedur endoskopi tanpa menyentuh tubuh anaknya.
”Hanya duduk di meja sambil mengetik dan melihat hasil dari THT,” ungkap Adam.
Adam sempat mempertanyakan alasan anaknya harus diendoskopi meski usianya belum genap satu tahun. Ia lebih menyarankan agar anaknya dilakukan pengobatan GERD sebagaimana hasil pemeriksaan THT.
Alih-alih mendapat jawaban secara medis, dokter tersebut justru memberi jawaban lain.
”Bapak lihat saja sendiri se-
urgent apa ini. Ini pertanggungjawaban bapak di akhirat. Kenapa? Bapak enggak punya uang? Pinjam saja sama engkongnya. Pinjaman lunak,” kata Adam menirukan jawaban dokter.
Merasa tidak ada masalah dengan biaya, Adam pun balik bertanya soal jadwal endoskopi. Endoskopi pertama kemudian dilakukan pada 1 November 2024. Hasilnya menunjukkan adanya GERD yang cukup parah.
Usai endoskopi pertama, J melakukan rawat jalan dengan dokter tersebut. Kondisi J yang masih baik di awal kontrol berubah di pekan kedua dan ketiga setelah endoskopi. J kembali menunjukkan gejala awal seperti sebelum dilakukan endoskopi, yakni sering muntah.
”Bahkan frekuensi muntahnya menjadi lebih sering,” paparnya.
Kondisi tersebut menuntun Adam untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Dia membawa J ke dokter rehab medik, dan disarankan pemasangan selang untuk mendukung kebutuhan nutrisi J.
Di hari yang sama, Adam bertemu dengan dokter P untuk menyampaikan saran dokter rehab. Namun Adam kembali mendapat jawaban yang menurutnya mengagetkan.
“Kan selama ini Bapak yang enggak mau diselang. Waktu itu Bapak habis endoskopi buru-buru pulang. Takut asuransi enggak cover?” kata Adam menirukan jawaban dokter P bergelar profesor.
”Prof, yang mengizinkan pulang itu kan Anda sendiri? Mana mungkin saya tolak kalau Anda menyarankan pasang selang?” terang Adam kembali mengurai jawabannya kepada dokter P.
Alih-alih memasang selang, dokter P kemudian menyarankan endoskopi kedua. Di sini Adam merasa kaget karena menurutnya pemasangan selang bisa dilakukan dokter di Poli tanpa harus diendoskopi. Namun Adam akhirnya mengikuti saran untuk endoskopi kedua.
Endoskopi kedua dilakukan 13 Desember 2024. Namun setelah itu kondisi anaknya memburuk akibat peradangan pada usus. Adam pun berinisiatif menanyakan perkembangan buruk itu ke dokter P.
”Ini saya curiga karena orang tuanya ada yang kena bakteri H Pylori. Coba periksa, nanti saya buatin rujukannya," kata Adam mengurai kembali jawaban dokter P.
Dokter P juga menjelaskan bahwa ia melakukan tindakan dilatasi usus karena usus J mengalami penyempitan sehingga harus dibuka atau dilebarkan. Proses yang sama juga dilakukan saat endoskopi pertama.
Hasil biopsi endoskopi pertama, J dinyatakan negatif H Pylori, meski dokter tetap bersikukuh bahwa biopsi tidak bisa dijadikan acuan untuk pemeriksaan H Pylori.
Kondisi J terus memburuk pasca endoskopi kedua. J sering muntah setiap kali diberikan susu. Puncaknya, kondisi J semakin memburuk dengan intensitas muntah lebih tinggi dan terus menangis dan merintih kesakitan.
Karena dokter P berhalangan hadir dengan alasan menghadiri acara Kemenkes, J kemudian dibawa ke PICU di RSCM menggunakan ambulans karena kondisinya sudah gawat dan kritis.
Jadi, dari endoskopi di Hari Jumat, dokter P tidak datang visit pada hari Sabtu serta hari Minggu, dan baru datang saat J sudah berada di PICU.
Setelah dilakukan serangkaian tes medis, tim dokter yang menangani J menduga adanya kebocoran usus, jelas Adam, perlu dilakukan tindakan darurat sebelum terlambat.
”Operasi kemudian dilakukan dan terkonfirmasi memang terjadi kebocoran pada usus,” ujar Adam.
Sehari setelah operasi, Adam mendapat kabar bahwa J mengalami sepsis berat dengan indikasi gagal jantung, gagal paru, dan gagal ginjal. Kondisi tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan terakhir, yakni cuci darah nonstop selama 72 jam guna membantu ginjal dan membersihkan darah dari racun.
J menjalani perawatan total selama kurang lebih 40 hari di RSCM.
”Total ada 3 kali operasi, lalu bulan April kemarin operasi ke 4 untuk penutupan Stoma," ungkapnya.
Adam menganggap dokter P lalai dalam mendeteksi dini kebocoran usus anaknya hingga harus mengalami kegagalan organ dan menjalani beberapa kali operasi.
Ia kemudian mengadukan kasus anaknya ke Majelis Disiplin Profesi (MDP).
"Saya berharap MDP membuat keputusan yang adil bagi dokter senior yang telah membuat J hampir kehilangan nyawa," pungkasnya.