Berita

Suasana Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR dengan pakar hukum/RMOL

Politik

Pakar Hukum:

Penyelidikan Tak Perlu Diatur dalam RUU KUHAP

KAMIS, 19 JUNI 2025 | 12:59 WIB | LAPORAN: FAISAL ARISTAMA

Usulan agar penyelidikan tidak perlu diatur dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) muncul dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) para pakar hukum bersama Komisi III DPR RI, pada Kamis 19 Juni 2025. Usulan itu disampaikan pakar hukum pidana Choirul Huda. 

Choirul Huda awalnya menyatakan bahwa pembaruan KUHAP tidak boleh terjebak pada dikotomi antara diferensiasi fungsional dan dominus litis

Menurutnya, kedua pendekatan itu harus diperkuat secara bersamaan untuk menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih efisien dan adil.


“Yang berkembang saat ini adalah diferensiasi fungsional versus dominus litis. Menurut saya ini bukan pilihan, dua-duanya harus diperkuat,” ujar Choirul Huda di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.

Choirul Huda lantas menjelaskan bahwa diferensiasi fungsional perlu diperkuat dengan memastikan independensi penyidik. Sedangkan dominus litis, kata dia, adalah konsep yang menempatkan penuntut umum sebagai pengendali perkara, harus didorong dengan memperluas kewenangannya, terutama dalam penyelesaian perkara di luar pengadilan.

“Diferensiasi fungsional harus diperkuat, terutama dengan memastikan agar penyidik kita jauh lebih independen dari keadaan sekarang. Dominus litis diperkuat dengan cara memberi wewenang yang lebih besar kepada penuntut umum untuk menyelesaikan perkara di luar pengadilan supaya bisa mengurangi beban pengadilan juga,” urainya.

Dalam konteks penyidikan, Choirul Huda pun mengusulkan agar penyelidikan tidak perlu diatur secara detail dalam KUHAP karena sifatnya sangat teknis dan bisa berbeda tergantung pada jenis tindak pidananya.

“Usul saya, pimpinan, penyelidikan tidak perlu diatur dalam KUHAP. Karena penyelidikan itu sifatnya teknis, dan masing-masing tindak pidana pasti ada sisi-sisi teknis yang berbeda. Kalau kita atur dalam KUHAP, pertama jadi redundant," katanya.

"Misalnya, penyelidik saat penyelidikan mengambil berita acara atau keterangan interogasi jadi berkas. Begitu naik ke penyidikan, diulang lagi, hanya diganti namanya jadi berita acara pemeriksaan saksi. Padahal itu juga yang dikerjakan. Ini menurut saya kurang efektif,” sambungnya.

Lebih jauh, Choirul Huda juga menyoroti terkait proses penyelidikan yang dinilainya terlalu birokratis dan formal justru bisa menghambat efektivitas penanganan perkara.

“Penyelidikan itu seharusnya dilakukan dengan pendekatan langsung di lapangan. Penyelidik datang ke TKP, ke saksi-saksi, ke orang-orang yang dicurigai. Mestinya seperti itu. Ada yang terbuka, ada yang tertutup,” tuturnya.

Menurut dia, karena penyelidikan saat ini diatur hanya untuk kepolisian, maka sebaiknya pengaturannya dikembalikan ke internal masing-masing institusi penyidik, agar lebih fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan modus kejahatan yang semakin kompleks.

“Kalau sekarang yang diatur kan penyelidikan untuk Polri saja, padahal masing-masing penyidik juga bisa mengatur penyelidikan. Jadi biarlah diatur dalam peraturan internal mereka masing-masing, seperti Perpol (Peraturan Kepolisian). Supaya lebih luwes dan bisa menyesuaikan dengan perkembangan,” katanya.

Choirul Huda berpandangan bahwa dalam praktiknya di lembaga penegak hukum lain, seperti KPK dan Kejaksaan yang kerap menetapkan tersangka langsung dari hasil penyelidikan. 

Praktik tersebut, kata dia, tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan seringkali menjadi alasan kalah dalam praperadilan.

“Pimpinan KPK dan kejaksaan kerap kali menetapkan tersangka berdasarkan hasil penyelidikan. Padahal dalam undang-undangnya tidak ada ketentuan bahwa penyelidikan bisa menetapkan tersangka. Sehingga kerap kali kalah di praperadilan,” katanya.

Atas dasar itu, Choirul Huda menegaskan bahwa RUU KUHAP ke depan harus memberikan ruang agar aspek teknis penyelidikan dan penyidikan bisa diatur masing-masing oleh institusi penyidik tanpa mengabaikan prinsip akuntabilitas dan efektivitas.

“Usul saya, biarkan masing-masing penyidik mengatur soal teknis penyidikan dalam penyelidikan. Setiap penyidikan tentu harus dimulai dengan penyelidikan," tandasnya.


Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya