Berita

Almarhum Syukron Mahbub, M.Sy/Ist

Publika

Elegi Berhaji Melintasi Gurun Saudi

RABU, 11 JUNI 2025 | 06:00 WIB | OLEH: AHMADIE THAHA

MAKKAH -- kota suci yang menjadi kiblat jutaan hati Muslim di seluruh dunia. Di sanalah Ka’bah berdiri, sebagai poros spiritual umat Islam. Ke sanalah semua cita-cita perjalanan mereka tertuju.
Tapi bagi sebagian orang, Makkah bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah titik kulminasi harapan, impian tertinggi dalam hidup. Dan bagi sebagian lainnya, ia menjadi titik temu terakhir antara cita-cita dan ajal.

Seperti yang dialami Syukron Mahbub, M.Sy. -- seorang akademisi dari Madura, Kepala Prodi Hukum Keluarga Islam di Universitas Islam Madura. Beliau mengembuskan napas terakhir bukan di pelataran Masjidil Haram, tapi di gurun sunyi Taniem, wilayah antara Makkah dan Madinah.

Kabar duka itu pertama kali muncul di laman Facebook resmi kampusnya, 27 Mei 2025: “Innalillahi wa inna ilayhi rajiun. Selamat jalan, Pak Syukron. Doa kami menyertaimu.”

Kabar duka itu pertama kali muncul di laman Facebook resmi kampusnya, 27 Mei 2025: “Innalillahi wa inna ilayhi rajiun. Selamat jalan, Pak Syukron. Doa kami menyertaimu.”

Tapi bahkan saat itu, masih ada yang berharap kabar itu tidak benar. Sebab begitulah hati manusia: ia terus menggantung di antara kabar dan harapan, di antara keyakinan dan penyangkalan.

Kini, Syukron benar-benar telah pergi. Ia tak lagi membawa visa ziarah, melainkan paspor keabadian.

Media arus utama baru menyusul memberitakan wafatnya hampir dua minggu kemudian, 9 Juni. Tapi alih-alih menyampaikan duka, beberapa justru melekatkan label: “haji ilegal”. Begitu dingin, begitu kering empati. Seolah-olah yang wafat bukan seorang peziarah, melainkan pelanggar.

Padahal ini sungguh ironis. Syukron adalah seorang ahli hukum Islam, yang tentu sangat paham fatwa-fatwa seputar manasik dan keabsahannya. Tapi pada akhirnya, ia menjadi korban dari sistem haji yang kian sempit dan keras.

Media menyebutnya “ilegal”, seakan lupa bahwa ia bukan pencuri, bukan penyelundup, melainkan penyelusup harapan. Dan harapan, sebagaimana zamzam yang tak pernah kering, mengalir dari hati yang ingin pulang kepada Tuhan.

Rp105 juta telah ia bayarkan dua tahun sebelumnya. Jelas niatnya bukan berhaji menempuh jalan gelap, tapi lewat jalur plus yang selama ini dikatakan resmi -- jalur yang juga legal, hanya saja kalah cepat dari antrean.

Dan dana itu bukan hasil kejahatan. Ia dapatkan dari jerih payah dan pengorbanan: pinjaman, gadai emas, mungkin milik ibunda, istrinya, atau warisan keluarga.

Tapi sebesar apa pun niatnya, sekeras apa pun usahanya, ia tetap terjerat dalam sistem yang tak memandang wajah, tak mengukur niat.

Dan sistem itu beku. Ia tak mengenal kasih. Bahkan tak tahu, atau tak mau tahu, bahwa antrean haji reguler di negeri ini telah menjelma jadi penderitaan kolektif.

Di banyak daerah, daftar tunggu mencapai 42 tahun. Bayi yang mendaftar hari ini, bisa jadi baru berhaji saat rambutnya memutih -- jika Allah panjangkan umurnya.

Wajar jika sebagian mulai mencari celah. Tapi celah itu kini penuh ranjau. Sebab Saudi hari ini bukan lagi tanah badui yang lentur, melainkan kerajaan modern yang serba terpantau: kamera pintar, pemindai wajah, drone di langit gurun, hingga kecerdasan buatan yang bisa membaca arah langkah kaki.

Maka, para pencari surga pun harus hati-hati. Tapi bagaimana jika bahkan seorang intelektual seperti Syukron pun tertipu?

Ia bukan orang awam. Ia tahu hukum. Ia tak nekat, tapi ia rindu. Ia merasa cukup mampu secara ekonomi dan usia.

Tapi hukum tak bisa menangkap kadar rindu. Ia tak bisa mengukur rasa takut akan kematian yang datang sebelum sempat mencium Hajar Aswad. Dan dalam kondisi semacam itu, logika kerap tunduk pada cinta. Cinta yang melampaui batas.

Kita tak tahu apa yang ada di benak Syukron saat ia berjalan kaki di bawah terik matahari padang Taniem. Ia dan dua temannya diturunkan paksa oleh sopir taksi yang ketakutan tertangkap aparat.

Si sopir kabur, dan mereka bertiga dibiarkan berjalan tanpa arah, menembus gurun yang menyengat. Dan mereka terus berjalan, dengan bekal air yang sudah habis diteguk.

Di bawah langit Arab yang menyala, mereka terus melangkah, mungkin dengan terus melantunkan, “Labbaikallahumma labbaik…” Tapi langkah Syukron tak sampai ke Ka’bah. Ia lebih dulu dijemput malaikat maut, di padang tandus yang sunyi.

Ia ditemukan telah wafat, setidaknya sepuluh hari menjelang puncak ibadah haji. Sementara dua temannya dilarikan ke rumah sakit akibat dehidrasi akut.

Dan negeri ini -- yang seharusnya menangis -- justru buru-buru membuat pernyataan resmi. Tentang ilegalitas, tentang pelanggaran. Tak ada jeda untuk mendoakan, tak ada ruang untuk belasungkawa.

Media pun turut menghakimi. Kompas, Tribun, dan lainnya menulis dengan tajuk “jemaah haji ilegal.” Padahal di hari-hari menuju Arafah, mestinya lidah kita lebih sering mengucap istighfar daripada melabeli.

Apakah mencoba menjadi tamu Allah dengan cara yang salah adalah dosa paling besar? Ataukah membiarkan jutaan umat mengantre puluhan tahun untuk beribadah tanpa solusi adalah bentuk pengabaian yang lebih kejam?

Ini bukan sekadar kisah satu orang. Ini cermin dari sistem yang membuat ibadah menjadi eksklusif -- dibatasi antrean, kelas sosial, dan birokrasi.

Haji memang panggilan, tapi di zaman ini, ia juga soal barcode dan algoritma.

Padahal agama ini lahir dari kerumunan -- dari kebersamaan, dari zikir yang menggema di Darul Arqam, dari pasukan kecil di Badar, dari para peziarah yang bertumpuk di padang Arafah.

Kini, kerumunan justru ditakuti. Dan para pencari surga yang tertinggal di pinggir jalan, dianggap mengganggu. Tapi tidakkah yang lebih gelap adalah hati yang tak lagi bisa melihat bahwa di balik haji “ilegal” itu, ada manusia, ada keluarga, ada cinta?

Ustaz Syukron, semoga engkau telah menunaikan haji yang hakiki. Sebab haji sejati mungkin bukan soal mengelilingi Ka’bah, tapi soal menggiring diri hingga batas akhir cinta dan pengorbanan.

Engkau telah mencintai perjalanan ini, walau penuh risiko. Dan cinta, sebagaimana para sufi katakan, adalah bentuk ibadah tertinggi.

Kami yang tertinggal akan belajar: bahwa semangat bisa membunuh jika jalannya keliru.

Tapi kami juga paham, semangatmu adalah gema dari jutaan jiwa yang terlalu tua untuk menunda, dan terlalu rindu untuk menunggu.

Semoga engkau lebih dulu sampai, Ustaz. Kami akan menyusul. Entah lewat haji, atau lewat kematian.

Penulis adalah Wartawan Senior dan Pengasuh Ma’had Tadabbur Quran



Populer

Mantan Jubir KPK Tessa Mahardhika Lolos Tiga Besar Calon Direktur Penyelidikan KPK

Rabu, 24 Desember 2025 | 07:26

Kejagung Copot Kajari Kabupaten Tangerang Afrillyanna Purba, Diganti Fajar Gurindro

Kamis, 25 Desember 2025 | 21:48

Sarjan Diduga Terima Proyek Ratusan Miliar dari Bupati Bekasi Sebelum Ade Kuswara

Jumat, 26 Desember 2025 | 14:06

Mantan Wamenaker Noel Ebenezer Rayakan Natal Bersama Istri di Rutan KPK

Kamis, 25 Desember 2025 | 15:01

8 Jenderal TNI AD Pensiun Jelang Pergantian Tahun 2026, Ini Daftarnya

Rabu, 24 Desember 2025 | 21:17

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

UPDATE

KPK Usut Pemberian Rp3 Miliar dari Satori ke Rajiv Nasdem

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:08

Rasio Polisi dan Masyarakat Tahun 2025 1:606

Selasa, 30 Desember 2025 | 16:02

Tilang Elektronik Efektif Tekan Pelanggaran dan Pungli Sepanjang 2025

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:58

Pimpinan DPR Bakal Bergantian Ngantor di Aceh Kawal Pemulihan

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:47

Menag dan Menko PMK Soroti Peran Strategis Pendidikan Islam

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:45

Jubir KPK: Tambang Dikelola Swasta Tak Masuk Lingkup Keuangan Negara

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:37

Posko Kesehatan BNI Hadir Mendukung Pemulihan Warga Terdampak Banjir Bandang Aceh

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:32

Berikut Kesimpulan Rakor Pemulihan Pascabencana DPR dan Pemerintah

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:27

SP3 Korupsi IUP Nikel di Konawe Utara Diterbitkan di Era Nawawi Pomolango

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:10

Trump ancam Hamas dan Iran usai Bertemu Netanyahu

Selasa, 30 Desember 2025 | 15:04

Selengkapnya