Pemerintah Thailand dan Kamboja telah sepakat untuk menarik mundur pasukan mereka ke posisi perbatasan yang telah disepakati sebelumnya, menyusul bentrokan fatal yang menewaskan satu tentara Kamboja di wilayah perbatasan yang belum dibatasi pada 28 Mei lalu.
Kementerian Pertahanan Kamboja mengonfirmasi bahwa kedua negara menyetujui langkah deeskalasi tersebut sebagai bagian dari upaya meredakan ketegangan militer yang meningkat sejak insiden tersebut.
"Kedua belah pihak berkomitmen untuk kembali ke posisi yang disepakati pada tahun 2024 guna mencegah konfrontasi lebih lanjut," demikian pernyataan kementerian, seperti dikutip dari Associated Press pada Senin, 9 Juni 2025.
Langkah itu datang setelah Menteri Pertahanan Thailand, Phumtham Wechayachai, menyatakan bahwa pembicaraan bilateral sedang berlangsung.
“Kami sedang dalam proses mengembalikan kondisi ke status quo. Kedua negara berharap persoalan ini dapat diselesaikan sepenuhnya melalui dialog damai,” ujarnya dalam konferensi pers.
Ketegangan antara kedua negara memuncak setelah bentrokan di daerah yang tidak dibatasi secara resmi di sepanjang perbatasan sepanjang 817 kilometer.
Thailand dan Kamboja telah bersengketa soal garis perbatasan selama lebih dari satu abad, sejak wilayah itu dipetakan oleh kolonial Prancis pada 1907.
Menteri Luar Negeri Kamboja, Prak Sokhonn, menyatakan keprihatinannya atas ketegangan yang berulang dan menyarankan agar sengketa dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ).
“Mengingat kompleksitas, sifat historis, dan sensitivitas sengketa ini, semakin jelas bahwa dialog bilateral saja mungkin tidak lagi cukup untuk menghasilkan solusi yang komprehensif dan langgeng,” ujarnya dalam catatan resmi kepada Thailand tertanggal 6 Juni.
Namun, pemerintah Thailand menolak usulan tersebut dan tetap bersikeras bahwa penyelesaian harus dilakukan melalui jalur negosiasi bilateral.
“Kami tidak mengakui yurisdiksi pengadilan internasional dalam masalah ini,” kata juru bicara kementerian luar negeri Thailand, Nikorndej Balankura.
Sebagai imbas dari meningkatnya ketegangan, Thailand telah memangkas jam operasional di 10 pos perbatasan, termasuk pos tersibuk di provinsi Sa Kaeo, dari pukul 6 pagi-10 malam menjadi pukul 8 pagi-4 sore, sebagai tindakan pengamanan.
Perselisihan wilayah ini mengingatkan pada konflik mematikan yang terjadi pada 2008 dan 2011 terkait kuil Hindu abad ke-11, yang menyebabkan korban jiwa di kedua pihak.
Hubungan antara kedua negara sebelumnya lebih hangat, terutama di masa pemerintahan Thaksin Shinawatra di Thailand dan Hun Sen di Kamboja. Kini, dengan anak-anak mereka yakni Paetongtarn Shinawatra dan Hun Manet memimpin masing-masing negara, ketegangan terbaru menimbulkan pertanyaan tentang arah hubungan diplomatik ke depan.
Pertemuan Komite Perbatasan Bersama yang dijadwalkan pada 14 Juni mendatang diharapkan dapat menghasilkan langkah-langkah lanjutan untuk penyelesaian damai dan mencegah konflik serupa di masa depan.