Berita

Bupati Bandung Barat, Jeje Ritchie Ismail/RMOLJabar

Politik

Antisipasi Banjir dan Longsor, Pengawasan Alih Fungsi Lahan di Bandung Barat Akan Diperketat

MINGGU, 08 JUNI 2025 | 03:45 WIB | LAPORAN: AGUS DWI

Pemerintah Kabupaten Bandung Barat mengambil langkah tegas menyikapi maraknya alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara (KBU), yang dianggap memperparah risiko bencana.

Rentetan peristiwa banjir dan longsor yang melanda wilayah Lembang dan sekitarnya pada Mei lalu mendorong Bupati Jeje Ritchie Ismail turun langsung memastikan pengendalian pemanfaatan ruang berjalan sesuai regulasi.

"Pada prinsipnya kita mengikuti arahan dari Provinsi Jawa Barat kaitan dengan pemanfaatan ruang. Pak Gubernur telah menerbitkan Pergub tentang pengendalian alih fungsi juga," kata Jeje belum lama ini.


Pemkab Bandung Barat kini menegakkan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 11 Tahun 2025 dan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2016, yang mensyaratkan setiap proyek di KBU wajib memperoleh rekomendasi dari gubernur.

Tak hanya itu, Pemkab juga berkomitmen menerapkan Surat Edaran Gubernur Dedi Mulyadi, khususnya dalam membatasi pemberian izin di kawasan rawan bencana.

"Ini bukan sekadar upaya administratif, tapi langkah konkret untuk menyelamatkan masa depan ekologis Cekungan Bandung yang terus tergerus," ujarnya, dikutip RMOLJabar, Sabtu 7 Juni 2025.

Data Dinas PUTR KBB menunjukkan sekira 50 persen bangunan di kawasan Lembang berdiri tanpa izin. Banyak di antaranya berada di lahan resapan air, tanah milik Perhutani, atau perkebunan milik negara seperti PTPN, dan dianggap sebagai pelanggaran serius yang berkontribusi terhadap bencana ekologis.

"Pengendalian ini tidak bisa hanya dibebankan pada satu dinas. Ini tanggung jawab kita semua, termasuk masyarakat dan stakeholder lainnya," tegas Jeje.

Menurut Jeje, pengalihfungsian lahan untuk keperluan wisata, pertanian hortikultura modern, dan bangunan komersial memang sedang menjadi sorotan. Namun dia menegaskan bahwa fokus utama adalah menjaga fungsi ruang, bukan melarang usaha secara sempit.

"Bukan membatasi jenis usaha wisatanya, tapi kita fokus pada tidak mengalihfungsikan lahan pertanian, lahan lindung, dan perkebunan. Ini sesuai dengan arahan gubernur," jelasnya.

Langkah pemulihan pun akan segera dimulai dengan program rehabilitasi lingkungan. Wilayah seperti Cikahuripan menjadi prioritas untuk reboisasi, mengingat kerusakan vegetasi yang cukup parah.

"Ini harus kita hijaukan kembali, dan menempatkan kembali fungsi ruang sesuai karakteristik tanah dan daya dukung lingkungan," ungkap Jeje.

Pemkab juga memberlakukan moratorium atas izin baru sebagai bentuk keseriusan dalam menata ulang kawasan KBU. Jeje menekankan bahwa surat edaran gubernur adalah panduan teknis yang menjadi tolok ukur dalam pengambilan kebijakan.

"Kita pedomani surat edaran itu sebagai bentuk konkret komitmen kami dalam menjaga fungsi kawasan lindung dan konservasi," imbuhnya.

Menurutnya, persoalan izin tidak boleh dianggap sebagai formalitas belaka. Ia berharap masyarakat mulai menyadari bahwa proses perizinan merupakan bagian dari tanggung jawab kolektif terhadap alam.

"Kalau sudah ada kesadaran bahwa izin itu adalah kewajiban, maka pengendalian pemanfaatan ruang bisa berjalan lebih tertib," ucapnya.

Sementara Ketua Komisi III DPRD KBB dari Fraksi Partai Demokrat, Pither Tjuandys, menyoroti dampak Undang-Undang Cipta Kerja yang memusatkan kewenangan perizinan di tingkat pusat dan melemahkan peran pemerintahan desa serta kecamatan.

"Pemerintah desa dan kecamatan, yang selama ini menjadi 'mata dan telinga' di wilayah, tak lagi dilibatkan secara penuh dalam proses verifikasi izin. Hal ini diperparah dengan lemahnya pengawasan setelah pembangunan selesai," beber Pither.

Menurut WALHI Jawa Barat, dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan alih fungsi ruang hijau di KBU hingga 23 persen. Lahan-lahan tersebut umumnya berubah menjadi perumahan dan objek wisata, sebagian besar berada di kawasan rawan longsor.

DPRD KBB mendorong agar pemerintah daerah memperjuangkan penguatan peran lokal dalam implementasi UU Cipta Kerja. Pither mengusulkan agar Pemkab menerbitkan peraturan daerah yang melibatkan perangkat wilayah dalam perizinan.

"Kalau UU pusat tidak bisa diubah, paling tidak daerah bisa membuat regulasi pelengkap yang tetap melibatkan aparat kewilayahan," tandasnya.

Sampai ada revisi menyeluruh, risiko pembangunan liar di zona rawan masih akan terus mengancam. Tanpa sinergi antara pemerintah daerah, masyarakat, dan aparat kewilayahan, bencana ekologis hanya akan berulang dan menjadi rutinitas tahunan.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya