Berita

Ilustrasi/RMOL

Bisnis

Pertama dalam Tiga Dekade, Jepang Kehilangan Status Negara Kreditur Terbesar

SELASA, 27 MEI 2025 | 12:58 WIB | LAPORAN: RENI ERINA

Untuk pertama kalinya dalam 34 tahun, Jepang kehilangan posisinya sebagai negara kreditur terbesar di dunia, meskipun nilai aset luar negerinya mencapai rekor tertinggi.

Menurut data dari Kementerian Keuangan Jepang yang dirilis Selasa, 27 Mei 2025, total aset luar negeri bersih Jepang mencapai 533,05 triliun Yen (sekitar Rp63.966 triliun) pada akhir 2024, meningkat sekitar 13 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Namun, posisi ini dikalahkan oleh Jerman, yang memiliki aset luar negeri bersih sebesar 569,7 triliun Yen (sekitar Rp68.364 triliun). Sementara China tetap berada di posisi ketiga dengan aset bersih 516,3 triliun Yen (sekitar Rp61.956 triliun).


Peningkatan aset Jerman ini didorong oleh surplus transaksi berjalan yang besar, yaitu 248,7 miliar Euro (sekitar Rp4.228 triliun) pada 2024. Ini sebagian besar berasal dari kinerja ekspor-impor mereka yang kuat. Sementara itu, Jepang mencatat surplus 29,4 triliun Yen (sekitar Rp3.528 triliun), atau setara dengan 180 miliar Euro.

Sepanjang tahun lalu, nilai tukar Euro terhadap Yen naik sekitar 5 persen, sehingga aset Jerman tampak lebih besar dibandingkan Jepang jika dihitung dalam Yen.

Bagi Jepang, pelemahan Yen justru ikut meningkatkan nilai aset dan utang luar negerinya. Namun, karena aset tumbuh lebih cepat dibanding utang, total kekayaan bersihnya tetap naik. Salah satu penyebabnya adalah peningkatan investasi perusahaan Jepang di luar negeri.

Data ini mencerminkan tren global dalam investasi langsung luar negeri. Sepanjang 2024, perusahaan Jepang masih menunjukkan minat tinggi untuk berinvestasi di luar negeri, terutama di Amerika Serikat dan Inggris.

“Sektor-sektor seperti keuangan, asuransi, dan ritel banyak menarik modal dari investor Jepang,” kata pihak kementerian.

Ke depan, tren investasi luar negeri Jepang akan sangat tergantung pada apakah perusahaan-perusahaan tersebut tetap memperluas pengeluaran globalnya, khususnya di AS. Dengan kebijakan tarif dari Presiden Donald Trump yang masih berlaku, beberapa perusahaan Jepang mungkin akan memilih memindahkan produksi atau aset mereka ke Amerika untuk menghindari risiko perdagangan.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya