Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada secara bersamaan dalam satu tahun dinilai tidak ideal dan harus dievaluasi. Selain menyebabkan penurunan signifikan partisipasi pemilih, pola pelaksanaan seperti itu juga berdampak pada kelelahan penyelenggara hingga menimbulkan korban jiwa.
Praktik demokrasi justru terancam ketika efisiensi prosedural lebih diutamakan dibanding keselamatan dan partisipasi publik.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar interaktif bertajuk “Cerita Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Tahun 2024: Pengalaman Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada pada Tahun yang Sama” yang diselenggarakan Dignity Indonesia secara daring, Sabtu 24 Mei 2025 dan dimoderatori oleh Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Pandu Yushina.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Utara, Awaludin Umbola menyampaikan, di Sulut partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 tercatat hanya 76,2 persen, lebih rendah dibanding Pemilu nasional yang mencapai 82 persen.
“Waktu persiapan yang pendek dan tumpang tindih dengan tahapan Pemilu membuat kami seperti dikejar-kejar. Pada Pilkada 2018 kami punya 12 bulan masa tahapan Pilkada, di 2024 lalu, kami hanya punya delapan bulan,” tutur Awaludin.
Masalah serupa juga muncul di DI Yogyakarta (DIY). Menurut Anggota Bawaslu DIY, Umi Illiyina, tingkat partisipasi masyarakat saat Pilkada juga turun tajam dibanding Pemilu nasional.
"Tingkat partisipasi masyarakat pada saat pemilu nasional itu sangat tinggi, mencapai 88 persen, tetapi pada saat pelaksanaan Pilkada Serentak itu mengalami penurunan drastis," paparnya.
Lebih lanjut, Umi juga mengungkapkan dampak negatif tentang persiapan Pemilu dan Pilkada yang begitu singkat. Di mana hal ini mengakibatkan dua orang meninggal dunia pada saat proses tahapan.
Bawaslu DIY berusaha menjawab permasalahan tersebut dengan membuat Program Pemilu Sehat yang melibatkan beberapa fakultas kedokteran dan dinas kesehatan di DIY. Program ini dilakukan untuk melakukan pengecekan kesehatan penyelenggara pemilu dan demi mencegah jatuhnya korban.
Namun ia menekankan bahwa solusi jangka pendek seperti ini tak cukup jika akar masalahnya penumpukan agenda besar negara dalam waktu sempit tidak segera ditinjau ulang.
“Satu nyawa yang hilang untuk demokrasi adalah harga yang terlalu mahal. Kita harus berhenti menormalkan ini,” tutur Umi.
Pada sesi tanya jawab, Dicky Andrika dari KPU Tanah Datar juga memberikan masukan tentang seluruh tahapan pilkada serentak untuk selanjutnya sebaiknya dibiayai oleh APBN, agar tidak ada lagi tarik-menarik kepentingan politik antara KPU daerah dengan pemerintah daerah.
Peneliti Dignity Indonesia, Isnaini Destyfitriana menilai, webinar yang diselenggarakan oleh Dignity menjadi penting dilakukan guna memberikan uang evaluasi bersama bagi para penyelenggara dan pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan ulang efektivitas pelaksanaan Pemilu dan Pilkada secara serentak di masa mendatang.
Soal penyelenggaraan pemilu serentak pada tahun yang sama, Desty menilai, format keserentakan pemilu dan pilkada di tahun yang sama perlu ditinjau ulang demi memberikan ruang agar baik pemilu di tingkat nasional, pemilu legislatif di tingkat daerah dan pilkada yang ada di tingkat daerah mendapatkan perhatian publik yang sama besarnya.
"Saya pikir perlu ada reformulasi keserentakan, bukan sekadar waktu bersamaan tanpa keterkaitan satu pemilu dengan pemilu lainnya. Sebagai contoh, kita bisa lihat bersama karena keserentakan di tahun yang sama isu pileg daerah tenggelam oleh isu pilpres dalam kampanyenya," ujar Desty.
"Isu Pilkada pun seolah tidak terlalu menjadi perhatian publik setelah baru beberapa bulan sebelumnya publik larut dalam hingar bingar Pilpres dan Pemilu Legislatif," pungkasnya.