Kegiatan pengosongan gedung SLB Negeri A Pajajaran Bandung
Presiden Prabowo Subianto diminta turun tangan mengatasi polemik pembongkaran SLB Negeri A Pajajaran Bandung yang dialihfungsikan sebagai Sekolah Rakyat.
Pembongkaran tersebut memprihatinkan karena sekolah untuk siswa berkebutuhan khusus di Sentra Wyata Guna, Kota Bandung ini punya nilai sejarah penting karena dibangun tahun 1901, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Ketua Asosiasi Profesi Ortopedagogik Indonesia (APOI) Jakarta, Hartini Nara mengatakan, pembongkaran SLB telah mengabaikan hak pendidikan siswa berkebutuhan khusus. Apalagi, pembongkaran dilakukan saat siswa sedang melaksanakan kegiatan Penilaian Sumatif Akhir Jenjang (PSAJ).
"Pada dasarnya siswa berkebutuhan khusus (disabilitas netra) secara konstitusional berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas dalam situasi apa pun," tegas Hartini kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Minggu, 18 Mei 2025.
Hartini menerangkan, UUD 1945 menjamin hak-hak siswa berkebutuhan khusus sebagai anak kandung Republik Indonesia. Mereka punya hak yang sama dengan warga negara lainnya dan sudah selayaknya mendapat perlakuan adil.
"Realitasnya siswa berkebutuhan khusus di SLB Negeri A Pajajaran tetap diminta mengosongkan lokasi gedung-gedung sekolah tanpa mengindahkan surat permohonan penangguhan pembongkaran dari pihak sekolah pada 8 Mei 2025," sesal Hartini.
Pembongkaran Gedung C dan D SLB Negeri A Pajajaran Bandung dilakukan pada 14-15 Mei 2025. Komite sekolah sempat melakukan audiensi dengan pihak Wyata Guna.
"Hasilnya, pihak SLB hanya diizinkan menggunakan dan mengoptimalkan penggunaan gedung B dengan model
shifting. Adapun Gedung C dan D akan digunakan untuk Sekolah Rakyat," jelasnya.
Pembongkaran ini pun menuai reaksi. Tidak hanya APOI Jakarta, Ikatan Guru Pendidikan Khusus Indonesia (IGPKhI) Jakarta, dan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Jakarta juga menolak pembongkaran tersebut.
Mereka meminta Presiden Prabowo mengambil keputusan untuk menghibahkan aset milik negara berupa lahan dan bangunan SLB Negeri A Pajajaran, Bandung agar pembelajaran siswa berkebutuhan khusus tidak terganggu.
Ketua Pertuni Jakarta, Ajad Soderajad berujar, lahan SLB Negeri A Pajajaran Bandung beberapa kali mengalami polemik panjang dan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang berarti.
"Penyebab utamanya karena posisi sekolah di Kawasan Wyata Guna tersebut kepemilikannya mengalami dinamika pengelolaan," kata Ajad.
Ajad menjelaskan, 2 tahun setelah Indonesia merdeka, yaitu pada 1947 sekolah ini menjadi Sekolah Rakyat Istimewa (SRI) untuk orang buta. Tahun 1962 berubah menjadi SLB Negeri pertama di Indonesia yang ditetapkan dan dikelola Kementerian Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.
Adapun layanan Asrama/Panti dikelola Yayasan Penyantun Wyata Guna.
Kemudian pada 1986, Yayasan Wyata Guna menyerahkan tanah tersebut kepada Departemen Sosial, Kantor Wilayah Departemen Sosial Jawa Barat sebagai hak pakai atas tanah untuk SLB Negeri A Pajajaran, termasuk untuk panti sosial dan perumahan karyawan dan lain-lain.
Sejak 1986, kondisi sekolah memprihatinkan karena tidak bisa membangun dan merevitalisasi sekolah, atap bocor tidak layak, konstruksi atap rapuh, toilet tidak memadai. Setelah melalui perjuangan panjang dan melibatkan berbagai pihak, sekolah baru direnovasi pada 2023.
"Meskipun Pemprov Jabar mengajukan permohonan hibah aset milik negara kepada Kementerian Sosial, persoalan lahan dan pengelolaan SLB Negeri A Pajajaran tak kunjung dikabulkan," terang Ajad.
Setelah melalui proses yang cukup panjang kata Ajad, pada 2021 kawasan Wyata Guna oleh Kemendikbud diserahkan kepada Pemprov Jawa Barat namun belum dicatat sebagai aset Pemprov Jawa Barat.
Dalam kondisi tersebut posisi pengelolaan SLB Negeri A Pajajaran masih di bawah naungan Kementerian Sosial.
"Kami mendesak Presiden Prabowo segera membuat keputusan menghibahkan aset milik negara berupa lahan dan bangunan SLB Negeri A Pajajaran kepada Pemprov Jabar agar keberlangsungan SLB bersejarah ini kembali berjalan normal," pungkasnya.