Berita

Ilustrasi/Ist

Publika

Badai PHK dan Uji Nyali pada Negara

Oleh: Heru Wahyudi*
RABU, 14 MEI 2025 | 13:34 WIB

AWAL 2025 dibuka dengan nada sumbang: gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menghantam banyak sektor ekonomi Indonesia. Bank Indonesia pun angkat bicara pada Mei 2025, mengingatkan bahwa tren ini bisa menjadi rem darurat bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Kombinasi tekanan global, krisis struktural lama, dan sektor padat karya yang babak belur menciptakan badai yang sempurna.

Sektor manufaktur dan tekstil jadi yang perdana tumbang. Kebijakan dagang yang semakin ketat dan perlambatan ekonomi global menyebabkan penurunan drastis dalam pesanan internasional. Konsekuensinya? Efisiensi besar-besaran, PHK massal, dan ketidakpastian yang menggelayuti ribuan rumah tangga. Lebih dari 24 ribu orang kehilangan pekerjaan hingga April 2025, meningkat dari 3.325 kasus di Januari, menurut data Kemenaker. Walau ini baru puncaknya. Menurut Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), mungkin ada lebih dari 60 ribu korban, dan Apindo menyebut sekitar 40 ribu. Kesenjangan angka ini menyiratkan banyak kasus yang luput dari radar resmi.

Yang menggemparkan tentu saja kejatuhan Sritex. Raksasa tekstil itu merumahkan lebih dari 10.000 pekerja hanya dalam satu bulan. Lainnya, seperti Yamaha Music Product Asia, Danbi International, dan Sanken Indonesia, juga mengurangi ribuan karyawan. Jawa Tengah, lokasi Sritex, kini tercatat sebagai provinsi dengan PHK tertinggi, diikuti Jakarta dan Jawa Barat. Bahkan sektor perdagangan dan jasa pun mulai goyah, 3.622 dan 2.012 kasus PHK tercatat di sana.


Dampaknya terasa. Ketika pencari nafkah kehilangan penghasilan, daya beli keluarga pun ambruk. Konsumsi rumah tangga, tulang punggung ekonomi nasional, melambat. Terlebih di kelas menengah ke bawah. BPS per Maret 2025 menaksir angka kemiskinan bisa naik 0,5–1 persen poin jika krisis ini dibiarkan berlarut. Ironisnya, pesangon yang diatur dalam PP No. 35 Tahun 2021 kerap tak cukup untuk bertahan, apalagi di tengah pasar kerja yang makin tak ramah.

Biarpun, badai PHK tak cuma soal perut. Tentunya juga krisis kepercayaan. Protes buruh menggema sepanjang April–Mei 2025, menyasar kebijakan pemerintah yang dinilai terlalu memihak pengusaha. Banyak aliansi buruh dan KSPI turun ke jalan. Di balik teriakan dan spanduk, yang muncul rasa frustrasi. Negara seolah absen. Selain itu, dalam situasi yang berbahaya, legitimasi secara bertahap rusak ketika lembaga negara tidak hadir, (Acemoglu dan Robinson, 2012).

Yang luput dari sorotan yakni dampak psikologis. PHK menyisakan trauma: stres, cemas, depresi, dan runtuhnya harga diri. Ketidakpastian masa depan dan tekanan ekonomi menjadi momok harian, sekalipun layanan psikologis masih minim dan, ironisnya, distigmatisasi.

Lalu bagaimana negara merespons? Pemerintah bergantung pada undang-undang seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diatur dalam PP No. 6 Tahun 2025. Manfaatnya memang diperluas, tapi tetap belum sebanding dengan skala krisis. Di sisi lain, beban fiskal membengkak: pendapatan pajak turun, belanja sosial naik. Jika tak hati-hati, dana untuk infrastruktur dan pendidikan ikut terseret, membebani masa depan pembangunan.

Dari perspektif Teori Pilihan Publik, situasi ini menjadi cermin tarik-menarik kepentingan. Pengusaha menuntut fleksibilitas, buruh memperjuangkan kepastian kerja. Pemerintah? Sering kali justru seperti wasit yang bermain. Masuknya UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 sebagai turunannya membuka jalan bagi efisiensi yang nyaris tanpa batas. 

PHK jadi lebih mudah, cukup beralasan efisiensi, tak perlu lagi keputusan pengadilan hubungan industrial. Wajar jika buruh menilai aturan ini memberi jalan pintas bagi perusahaan melepas tenaga kerja senior bergaji tinggi demi pekerja baru yang lebih murah.

Di balik kebijakan, praktik rent-seeking merajalela. Pengusaha dan serikat buruh berlomba melobi pemerintah. UU Cipta Kerja jadi contohnya: hasil kompromi politik, bukan semata kepentingan rakyat. Respons pemerintah pun kerap tambal sulam: insentif fiskal sektoral, super deduction tax, hingga tax holiday, yang baru terasa ketika perusahaan sudah kolaps. Sebaliknya, reformasi penyaluran tenaga kerja dan pelatihan kerja yang strategis masih tertunda.

Teori Pilihan Publik menyodorkan kacamata kritis untuk membaca dinamika tersebut. Politik tak bergerak lantaran idealisme, sebaliknya insentif. Maka, insentif sejatinya selaras dengan nasib pekerja. Kinerja pejabat dan alokasi anggaran semestinya dikaitkan dengan indikator riil: penurunan angka PHK, keberhasilan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), atau peningkatan serapan kerja. Kalau karier pejabat publik dipertaruhkan di sana, niscaya mereka lebih berpihak pada pekerja.

Tentu saja insentif butuh pengawasan. Media dan masyarakat sipil mesti aktif menyuarakan isu ketenagakerjaan. Tekanan opini publik, bahkan penurunan elektabilitas politisi, adalah alat vital untuk mendorong perubahan. Organisasi seperti Lembaga Kerjasama (LKS) Tripartit yang melibatkan pemerintah, buruh, dan pengusaha mesti diperkuat. Tak cukup jadi simbol, pasalnya berfungsi mengevaluasi regulasi dan memediasi konflik PHK agar tak selalu berujung ke meja hijau.

Yang juga urgen: membendung praktik rent-seeking. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) idealnya diberi kewenangan dan sumber daya memadai untuk mengawasi proses perumusan regulasi. Audit independen pada kebijakan juga pokok untuk menilai apakah regulasi benar-benar adil dan berpihak. Transparansi dalam proses legislasi, termasuk pendanaan kampanye dan lobi politik, mutlak diperlukan. Tanpa itu, regulasi selalu bisa “dibajak”.

Jika kita benar ingin membangun sistem ketenagakerjaan yang adil dan tahan banting, maka rekomendasi Teori Pilihan Publik tak hanya layak dipertimbangkan tapi sejatinya diterapkan. Di tengah badai PHK ini, publik menunggu satu hal: politik yang benar-benar bekerja untuk wong alit, bukan untuk segelintir elite di balik meja rapat.


*Penulis adalah Dosen Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya