Berita

Presiden ke-44 AS Barack Obama dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo/Ist

Publika

Legitimasi Pemimpin dan Dokumen yang Diragukan

Oleh: Firman Tendry Masengi*
MINGGU, 11 MEI 2025 | 10:47 WIB

Perbandingan Kasus Ijazah Jokowi dan Akta Lahir Obama

RESIDU politik serampangan Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi yang kental dugaan penyimpangan terus menghadirkan polemik. Salah satu residu itu adalah dugaan ijazah palsu. 

Di negara hukum, legitimasi pejabat publik tidak hanya bergantung pada hasil pemilu, tetapi juga pada validitas dan keabsahan dokumen administratif yang jadi syarat pencalonan mereka. 


Dua kasus yang menarik untuk dibandingkan adalah polemik ijazah Presiden Jokowi di Indonesia dan akta lahir Presiden Barack Obama di Amerika Serikat. 

Keduanya menghadapi keraguan publik terhadap dokumen penting yang menjadi syarat dasar pencalonan, tetapi respons negara dan dampaknya terhadap legitimasi hukum berbeda secara signifikan.


Konstitusionalitas dan Asas Negara Hukum

Konstitusi Indonesia (UUD 1945) dan konstitusi Amerika Serikat sama mensyaratkan kriteria dasar bagi calon presiden, di antaranya kelengkapan administratif. 

Dalam konteks rechtstaat, keabsahan dokumen adalah bagian dari jaminan due process of law dan equality before the law. Ketika syarat administratif diragukan, maka implikasinya tidak hanya menyangkut pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap integritas pemilu dan wibawa konstitusi.

Kasus Barack Obama: Transparansi sebagai Respons Institusional

Di tahun 2008-2011, Obama menghadapi gerakan birtherism, dimansa adanya keraguan publik bahwa ia lahir di Hawaii dan menuduh bahwa ia tidak layak menjadi Presiden karena bukan natural born citizen

Respons pemerintah negara bagian Hawaii merilis certificate of live birth, dan kemudian akta lahir versi panjang (long-form birth certificate). Obama bahkan menyindir kritik tersebut dalam pidato publik, tanpa satu pun pelapor dikriminalisasi.

Tidak ada penangkapan, tidak ada tuduhan penyebaran hoaks, tidak ada pelabelan fitnah. Ini menunjukkan bahwa dalam sistem hukum yang sehat, keraguan publik dijawab dengan transparansi administratif, bukan dengan represi hukum.

Kasus Jokowi: Kriminalisasi Ketimbang Klarifikasi

Berbeda dengan kasus Obama, polemik ijazah Presiden Jokowi yang dipertanyakan keasliannya --terutama ijazah dari Universitas Gadjah Mada -- tidak pernah dijawab dengan transparansi dokumen yang bisa diaudit publik secara independen. 

Setelah memakan dua rakyat yang dipenjarakan. Kini, gugatan datang alumni UGM. Adalah Dr. Roy Suryo, Dr. Rismon H. Sianipar dan DR. Tifa yang mengungkit keabsahan ijazah tersebut. Kabarnya mereka kerap mengalami intimidasi. Mulai dari pelaporan pidana hingga pembatasan akses informasi. 

Amanat Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, termasuk soal dokumen publik pejabat negara. 

Kriminalisasi terhadap pemohon kejelasan hukum berlawanan dengan prinsip open government dan memperkuat kesan bahwa negara melindungi sesuatu yang seharusnya terbuka.

Implikasi Legitimasi dan Kepercayaan Publik

Dalam aras hukum tata negara, keabsahan administratif adalah syarat utama legitimasi formal. Ketika syarat ini diragukan dan negara tidak mampu menjawab dengan prosedur hukum yang terbuka, maka yang runtuh bukan hanya dokumen, tetapi kepercayaan publik. Negara bisa menang secara formal, tetapi kalah dalam arena legitimasi moral.

Pada kasus di negara Paman Sam kita menyaksikan Obama mengubah keraguan menjadi penguatan legitimasi lewat kejujuran dokumenter. Sedangkan Jokowi terjebak dalam bayang-bayang delegitimasi karena memilih jalur tertutup dan represif.

Perbandingan ini mengajarkan bahwa dalam negara hukum yang sehat, kritik publik harus dijawab dengan hukum yang rasional dan terbuka, bukan intimidasi. 

Ketika dokumen dasar pemimpin diragukan, maka jalan terbaik adalah audit terbuka, bukan perlindungan oleh kekuasaan. Jika tidak, rakyat akan mempertanyakan: “Masih yakinkah kita  hidup dalam negara hukum, atau perlahan menemui kematian bersama negara kekuasaan?”

Penulis adalah Praktisi Hukum/Aktivis 98 



Populer

Camat Madiun Minta Maaf Usai Bubarkan Bedah Buku ‘Reset Indonesia’

Selasa, 23 Desember 2025 | 04:16

Adik Kakak di Bekasi Ketiban Rezeki OTT KPK

Senin, 22 Desember 2025 | 17:57

Ketika Kebenaran Nasib Buruh Migran Dianggap Ancaman

Sabtu, 20 Desember 2025 | 12:33

Kajari Bekasi Eddy Sumarman yang Dikaitkan OTT KPK Tak Punya Rumah dan Kendaraan

Sabtu, 20 Desember 2025 | 14:07

OTT KPK juga Tangkap Haji Kunang Ayah Bupati Bekasi

Jumat, 19 Desember 2025 | 03:10

Uang yang Diamankan dari Rumah Pribadi SF Hariyanto Diduga Hasil Pemerasan

Rabu, 17 Desember 2025 | 08:37

Terlibat TPPU, Gus Yazid Ditangkap dan Ditahan Kejati Jawa Tengah

Rabu, 24 Desember 2025 | 14:13

UPDATE

Bank Mandiri Berikan Relaksasi Kredit Nasabah Terdampak Bencana Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:12

UMP Jakarta 2026 Naik Jadi Rp5,72 Juta, Begini Respon Pengusaha

Jumat, 26 Desember 2025 | 12:05

Pemerintah Imbau Warga Pantau Peringatan BMKG Selama Nataru

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:56

PMI Jaksel Salurkan Bantuan untuk Korban Bencana di Sumatera

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:54

Trump Selipkan Sindiran untuk Oposisi dalam Pesan Natal

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:48

Pemerintah Kejar Pembangunan Huntara dan Huntap bagi Korban Bencana di Aceh

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:15

Akhir Pelarian Tigran Denre, Suami Selebgram Donna Fabiola yang Terjerat Kasus Narkoba

Jumat, 26 Desember 2025 | 11:00

Puan Serukan Natal dan Tahun Baru Penuh Empati bagi Korban Bencana

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:49

Emas Antam Naik, Buyback Nyaris Tembus Rp2,5 Juta per Gram

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:35

Sekolah di Sumut dan Sumbar Pulih 90 Persen, Aceh Menyusul

Jumat, 26 Desember 2025 | 10:30

Selengkapnya