Kolase Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa dan insiden Jembatan Mahakam/RMOL
Insiden tabrakan kapal tongkang bermuatan batu bara yang menabrak tiang penyangga Jembatan Mahakam, pada 28 April 2025 lalu terus menuai sorotan.
pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengurai beberapa dampak ekonomi imbas insiden tersebut.
“Kondisi ini menggerus kepercayaan investor, menurunkan daya saing ekspor, dan bahkan memengaruhi posisi Indonesia dalam rantai pasok global. Tambahan pula bahwa industri batu bara adalah penyumbang besar penerimaan negara. Maka, gangguan sekecil apapun terhadap jalur distribusi batu bara berarti potensi kerugian terhadap pendapatan negara bukan pajak yang besar,” tutur Hakeng dalam keterangannya, Selasa malam, 6 Mei 2025.
Oleh karena itu, lanjut dia, solusi yang diambil tidak bisa hanya berupa penutupan dan peninjauan ulang tanpa tindak lanjut strategis.
“Salah satu solusi konkret yang saya usul adalah pemasangan fender di sekitar tiang jembatan. Fender merupakan pelindung elastis dari bahan karet yang mampu menyerap energi benturan kapal, sehingga mencegah kerusakan pada struktur jembatan,” tegas Hakeng.
Diingatkan pula olehnya bahwa negara-negara maju yang memiliki pelayaran padat telah lama mengadopsi sistem ini dan terbukti berhasil menekan angka kerusakan akibat insiden pelayaran.
“Sayangnya, meskipun Jembatan Mahakam sudah mengalami lebih dari 20 kali insiden tabrakan sejak dibangun, instalasi fender belum menjadi bagian dari sistem perlindungan permanen. Padahal, bila biaya pemasangan dibagi bersama antara pemerintah dan pelaku pelayaran, misalnya melalui skema retribusi atau premi perlindungan, maka beban fiskalnya dapat ditekan dan menjadi investasi jangka panjang yang sangat rasional,” bebernya.
Solusi teknis seperti pemasangan fender tidak bisa berdiri sendiri tanpa pembenahan pada aspek kelembagaan dan tata kelola. Hakeng menekankan pentingnya koordinasi lintas lembaga yang lebih responsif. Pemerintah daerah, meskipun tidak memiliki kewenangan formal dalam pengelolaan sungai atau jembatan, memiliki pengetahuan kontekstual dan aspirasi masyarakat yang perlu didengar. Karena itu, perlu ada ruang desentralisasi teknis terbatas yang memungkinkan daerah merespons cepat insiden yang berdampak langsung pada warganya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menyusun insentif atau bantuan langsung bagi masyarakat dan pelaku usaha yang terdampak, agar stabilitas sosial tetap terjaga dan proses pemulihan tidak terganggu oleh resistensi sosial.
“Maka reformasi tata kelola pelayaran sungai dan infrastruktur pendukung harus diarahkan pada integrasi data dan pemantauan teknologi. Penempatan alat bantu navigasi seperti lampu, radar, dan kamera pemantau harus diperkuat untuk meminimalkan potensi kecelakaan,” ungkap Kabid Penataan dan Distribusi Kader Pengurus Pusat Pemuda Katolik ini.
Menurut dia, ona pelayaran juga harus ditata ulang agar setiap kapal memiliki jalur aman yang tidak membahayakan struktur jembatan. Sistem peringatan dini atau early warning system juga dapat diterapkan agar kapal yang mengalami masalah teknis bisa diintervensi sebelum memasuki area kritis.
Dengan teknologi yang tersedia saat ini, pendekatan semacam ini sangat mungkin dilakukan, dan tidak memerlukan biaya besar bila dibandingkan dengan kerugian akibat kerusakan infrastruktur.
Bagaimanapun juga, Hakeng mengingatkan, bahwa insiden tabrakan kapal tongkang dengan Jembatan Mahakam adalah momentum penting untuk mereformasi cara kita memandang infrastruktur strategis. Tidak cukup hanya membangun jembatan yang kokoh, tetapi juga perlu membangun sistem protektif, tata kelola yang adaptif, dan mekanisme kolaboratif lintas sektor.
“Keselamatan dan keberlanjutan bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan dua pilar yang harus disatukan dalam kebijakan publik. Dengan merancang solusi berbasis teknologi, regulasi yang adil, serta koordinasi yang tangguh, Indonesia bisa menjaga alur logistiknya tetap lancar, infrastrukturnya tetap aman, dan kepercayaan publik terhadap negara tetap terjaga,” tandasnya.