Berita

Ilustrasi perkebunan sawit/Net

Politik

Meredefinisi Ulang Hutan yang Kacau Balau Sejak Zaman Kolonial hingga Era Jokowi

JUMAT, 02 MEI 2025 | 20:34 WIB | LAPORAN: AGUS DWI

Penyelesaian persoalan alih fungsi kawasan hutan yang telah berlangsung secara sistemik sejak era kolonial dan berdampak luas terhadap ekosistem, tata kelola agraria, dan penerimaan negara menjadi sebuah urgensi. Salah satu cara penyelesaiannya adalah melalui penertiban fungsi hutan yang telah berubah menjadi area perkebunan kelapa sawit dan lainnya. 

Hal itu menjadi dasar lahirnya kebijakan pembentukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. 

Menurut Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, agar penertiban itu bisa sukses, maka diperlukan banyak pemikiran sehingga diperoleh solusi yang komprehensif dan terukur. 


IAW, kata Iskandar, telah berupaya memberi sumbangsih pemikiran berdasarkan landasan sejarah, regulasi, temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta pandangan teknis tentang posisi strategis komoditas kelapa sawit dalam konteks pengelolaan karbon dan mitigasi perubahan iklim.

IAW juga secara tegas mendorong agar Presiden Prabowo mengambil langkah strategis untuk meredefinisi menyeluruh terhadap arti dan fungsi "hutan" dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. 

Pasalnya, definisi yang tidak konsisten selama puluhan tahun telah menimbulkan kebingungan kebijakan dan tumpang tindih implementasi lapangan. Redefinisi ini penting agar arah kebijakan tata kelola kehutanan ke depan tidak lagi awut-awutan dan bisa berpijak pada asas keadilan ekologis, pengakuan masyarakat adat, serta pemulihan fungsi lingkungan hidup secara utuh.

"IAW pun telah mengirimkan surat kepada Ketua Pengarah Satgas PKH pada 11 April 2025 dengan nomor 017/IAW/IV/25 perihal usul model penanganan alih fungsi hutan yang telah menjadi perkebunan sawit guna mewujudkan harapan Presiden Prabowo Subianto memaksimalisasi produksi sawit Indonesia," ujar Iskandar Sitorus, melalui keterangannya, Jumat 2 Mei 2025.

Sejauh ini IAW telah menginventarisasi jenis permasalahan yang timbul dalam kaitan tatakelola alih fungsi untuk sesegera bisa diselesaikan dengan baik. Yaitu tumpang tindih lahan antara izin kehutanan dan HGU, penggunaan kawasan hutan tanpa izin pelepasan, absennya audit lingkungan sebelum pemberian izin, ketidaksesuaian izin lokasi dengan RTRW, pelepasan kawasan hutan tidak melalui verifikasi lapangan, dan sawit dalam kawasan gambut dan hutan primer.

Kemudian, tidak adanya pemulihan pascapembukaan lahan, perusahaan fiktif yang mengklaim lahan sawit, lemahnya pengawasan KLHK dan pemda, ketidaktertiban sertifikasi ISPO/RSPO, dana replanting tidak tepat sasaran, penyimpangan dana BPDPKS, plasma sawit yang fiktif atau konflik, deforestasi tanpa AMDAL, penanaman sawit dalam kawasan konservasi, penghindaran pajak dan PNBP, penyalahgunaan lahan negara oleh korporasi, kurangnya kontribusi terhadap PAD daerah, pembiaran oleh aparat penegak hukum.

Inventarisasi berikutnya adalah monokultur yang melemahkan ekosistem, penggusuran masyarakat adat dan lokal, lemahnya pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, proyek sawit pada kawasan rawan bencana, tidak adanya mekanisme pertanggungjawaban publik, pengelolaan yang tidak transparan dan akuntabel, rendahnya partisipasi perempuan dalam pengelolaan sawit, kerusakan sumber air akibat konversi hutan, degradasi tanah secara masif, ketiadaan roadmap konversi ke agroforestri, hingga ketergantungan ekspor CPO tanpa hilirisasi lokal.

Kronologi Historis dan Legalitas Kehutanan

Surat IAW yang ikut ditandatangani oleh Dinalara Butarbutar, peneliti 'Politik Hukum Pembatasan Penguasaan Tanah Hak Guna Usaha (HGU) Oleh Badan Hukum Swasta Yang Berkeadilan', menjelaskan bahwa pada masa kolonial penguasaan hutan dimulai dari Agrarische Wet tahun 1870 dan diperkuat dengan Boschordonnantie 1920, yang menyatakan bahwa tanah tanpa bukti kepemilikan dianggap milik negara. 

Lalu, Pemerintah kolonial menetapkan Boschordonnantie 1927 (Staatsblad No. 221/1927) sebagai dasar hukum pertama yang menetapkan kawasan hutan sebagai domain negara Hindia Belanda.

Dalam beleid tersebut, hutan dijadikan wilayah eksklusif eksploitasi ekonomi berbasis kayu dan perkebunan monokultur seperti teh, kopi, kina, karet, dan kelapa, melalui sistem konsesi dan sewa jangka panjang. Kebijakan kolonial ini melahirkan dualisme hukum antara tanah adat dan kawasan hutan negara.

Setelah kemerdekaan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) tidak mengatur secara tegas mekanisme pengawasan deforestasi. 

Selanjutnya, UU Nomor 5 Tahun 1967 mewarisi paradigma kolonial dengan menjadikan semua kawasan berhutan sebagai hutan negara tanpa mengakui hak sosial dan ekologis masyarakat adat. Pada periode ini monokultur sawit mulai berkembang sejak akhir 1980-an, menggantikan pola kolonial yang lebih variatif. Ironisnya, monokultur sawit saat ini menjadi lebih luas dan merusak karena menggunakan akses perluasan skala industri dan pelepasan kawasan hutan secara besar-besaran. 

Kemudian UU Nomor 41 Tahun 1999 mulai mengadopsi pendekatan ekosistem, tetapi belum menyentuh substansi keadilan ekologis dan partisipasi masyarakat. Tetapi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara, namun belum sepenuhnya diimplementasikan secara administratif. 

Terbaru, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberi ruang legal lebih luas kepada korporasi untuk melakukan perkebunan sawit di kawasan hutan, yang justru memperparah deforestasi. Menurut data Greenpeace tahun 2022, total 3,25 juta hektare hutan hilang selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Keseluruhan definisi hutan dari penjajahan sampai masa kemerdekaan tidak konsisten inilah yang oleh Iskandar Sitorus disebut sebagai “sangat awut-awutan”.

Temuan Audit BPK sebagai Alarm Sistemik

Iskandar Sitorus menjelaskan, BPK telah konsisten menyampaikan temuan-temuan penting yang mengindikasikan masifnya pelanggaran tata kelola sawit dalam kawasan hutan. 

Adapun catatan penting yang perlu diketahui publik menurut Iskandar adalah Temuan awal di Riau dan Kalimantan Barat, sawit tanpa HGU dan berada di kawasan hutan (2003–2004); Konflik pola kemitraan plasma, tumpang tindih izin, lemahnya verifikasi administratif HGU (2006–2008).

Lalu Ketidaksesuaian antara izin lokasi, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan status konservasi kawasan (2011–2012); Dana replanting sawit digunakan tidak sesuai peruntukan, konflik hukum dalam pelaksanaan pola plasma (2014–2016); Laporan atas BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) menunjukkan penyimpangan penyaluran dana ke kelompok fiktif dan perusahaan besar (2018–2019); dan Audit menyebut ekspansi sawit dalam kawasan hutan meningkat drastis, namun penegakan hukum dan pemulihan lingkungan tidak berjalan maksimal (2020–2023).

Khusus Audit Semester I-2022, mencatat 3,1 juta hektare sawit berada dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Negara dirugikan karena kehilangan potensi pendapatan dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), Dana Reboisasi (DR), dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) senilai triliunan rupiah.

Audit tahun 2021 juga menunjukkan lebih dari 1.200 entitas usaha mengelola sekitar 3,3 juta hektare kawasan hutan tanpa legalitas formal. Audit 2019–2021 menemukan banyak perusahaan tidak menyetor kewajiban mereka sesuai regulasi. Kemudian, audit investigatif pada 2023 malah mencatat keterlibatan oknum aparat negara dalam proses pelepasan kawasan yang tidak sesuai prosedur hukum.

Dalam perdebatan lingkungan global, kelapa sawit sering menjadi kambing hitam deforestasi. Namun, hasil riset yang dipublikasikan dalam International Journal of Agronomy tahun 2021, menunjukkan bahwa kelapa sawit adalah jenis vegetasi dengan kemampuan menyerap karbon yang sangat tinggi.

Satu hektare kelapa sawit dapat menyerap sekitar 64 ton karbon dioksida (CO?) per tahun, dibandingkan dengan tanaman jagung yang hanya menyerap 30–40 ton CO? per hektar per tahun. Bahkan, ini melebihi kapasitas beberapa jenis tanaman hortikultura. Namun, kemampuan serapan karbon ini hanya bisa dianggap sebagai solusi iklim bila perkebunan sawit tidak dilakukan dengan merusak hutan primer, gambut, dan kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCV). 

Inilah dasar argumen IAW bahwa sawit bisa menjadi bagian dari solusi perubahan iklim, asalkan pengelolaannya berbasis keberlanjutan dan transparansi.

Jika pemerintah menetapkan tarif karbon setara 5 dolar AS per ton CO?, maka dari 1 hektare kelapa sawit yang menyerap 64 ton CO? per tahun, potensi nilai karbonnya adalah 320 dolar AS per hektare per tahun.

Dengan asumsi konservatif terdapat 3 juta hektare sawit dalam kawasan hutan yang nantinya bisa disertifikasi dan ikut serta dalam skema perdagangan karbon berbasis keberlanjutan, maka potensi pendapatan negara adalah 3.000.000 hektare x 320 dolar AS = 960.000.000 dolar AS per tahun atau sekitar Rp15 triliun per tahun (dengan asumsi kurs Rp15.600 per dolar AS)

Itu hanya dari satu instrumen saja, yaitu carbon credit, kata Iskandar. Belum termasuk pendapatan dari pajak lingkungan, kompensasi reforestasi, maupun penghematan subsidi dan insentif fiskal berbasis emisi karbon yang bisa dikelola dalam skema transisi energi. 

Simulasi ini menunjukkan bahwa kelapa sawit, bila dikelola dengan tata kelola audit yang baik, bisa menjadi sumber penerimaan negara baru (revenue stream) berbasis karbon, sekaligus memperkuat posisi diplomasi iklim Indonesia secara global.

IAW juga menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada sanksi dan pemulihan, tetapi juga memberi ruang insentif bagi perusahaan yang benar-benar patuh dan pro-lingkungan. Skenario insentif fiskal yang diusulkan IAW meliputi pengurangan tarif Pajak Penghasilan (PPh) hingga 50% bagi perusahaan sawit yang sudah bersertifikasi ISPO/RSPO dan mengalokasikan dana reforestasi minimal 30% dari luas konsesi yang dikelola.

Lalu akses kredit berbunga rendah melalui Bank BUMN khusus sawit hijau, diperuntukkan hanya bagi perusahaan dengan jejak karbon negatif dan terdaftar dalam sistem perdagangan karbon nasional. Insentif bea ekspor berbasis emisi: Semakin rendah emisi karbon yang ditimbulkan per ton CPO (Crude Palm Oil), maka semakin kecil bea ekspornya. Sebaliknya, bagi perusahaan yang tidak memiliki rekam jejak karbon, tarif ekspor dinaikkan sebagai disinsentif.

Kemudian pajak karbon yang dapat dikembalikan (Refundable Carbon Tax), jika perusahaan berhasil membuktikan penyerapan karbon secara netto (net carbon sink), maka sebagian pajak karbon dapat dikreditkan kembali ke perusahaan.

Dengan skema ini, kata Iskandar, negara bisa menyeimbangkan antara pendekatan tegas (sanksi) dengan pendekatan insentif (penghargaan) untuk membentuk ekosistem industri sawit yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

Mekanisme Pengawasan Berbasis Digital

Agar potensi ekonomi dari sawit tidak kembali bocor, Iskandar Sitorus menekankan pentingnya pengawasan berbasis audit investigatif yang kolaboratif. Artinya, BPK tidak bisa berjalan sendiri, tetapi harus bermitra aktif dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung, sesuai semangat kerja sama antarlembaga yang diatur dalam Nota Kesepahaman BPK-KPK tahun 2023.

“Tidak boleh lagi ada penyimpangan teknis seperti pengesahan izin yang tidak diverifikasi lapangan, atau manipulasi luas lahan sawit. Semua harus berbasis data, verifikasi digital, dan live audit,” ujar Iskandar.

Menurut Iskandar, pengawasan berbasis dashboard digital terpadu wajib diadopsi Satgas PKH, yang menggabungkan data izin, posisi GPS, laporan audit BPK, hingga sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil).

Dengan sistem digital yang transparan, pemerintah bisa dengan cepat mengetahui siapa yang taat dan siapa yang nakal, serta berapa nilai kerugian negara yang harus ditagih dari masing-masing pelaku usaha.

Sebagai solusi struktural dan legal yang terukur, IAW pun mengusulkan model penyelesaian alih fungsi hutan meniru pendekatan Badan Bank Tanah.

Pertama, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penataan Perkebunan Sawit dalam Kawasan Hutan. Perpres tersebut menetapkan skema pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) kepada lembaga negara seperti Perum Perhutani untuk menjadi pemegang mandat atas kawasan-kawasan yang telah terkonversi menjadi kebun sawit.

Kedua, di atas HPL tersebut, negara melalui Perum Perhutani dapat memberikan Hak Guna Usaha (HGU) terbatas kepada perusahaan yang memenuhi standar keberlanjutan (ISPO/RSPO), memiliki rekam jejak kepatuhan hukum, serta komitmen melakukan rehabilitasi lingkungan. Skema ini memungkinkan legalisasi terbatas sambil tetap mempertahankan kendali negara, memberikan jalan tengah bagi penyelesaian konflik agraria, dan membuka ruang keadilan restoratif.

Ketiga, dalam jangka menengah, perusahaan sawit penerima HGU di atas HPL wajib melakukan integrasi agroforestri di sebagian areal konsesi, demi mengurangi dampak negatif monokultur dan mendukung transisi menuju ketahanan pangan dan energi berbasis lahan berkelanjutan.

Usulan ini, lanjut Iskandar, bukan hanya solusi teknokratis, melainkan jalan keluar yang strategis untuk mengoreksi sejarah panjang konflik kehutanan dan mengintegrasikan ekonomi, hukum, dan ekologi ke dalam satu kebijakan publik yang utuh. 

Iskandar Sitorus pun menyimpulkan, penanganan alih fungsi hutan menjadi kebun sawit tidak bisa lagi dilakukan secara sektoral dan administratif semata. Diperlukan pendekatan sistemik, interdisipliner, dan lintas kelembagaan yang berbasis audit, hukum, keadilan ekologis, dan prinsip pembangunan berkelanjutan.

"Presiden Prabowo Subianto memiliki momentum emas untuk menata ulang seluruh struktur tata kelola kehutanan nasional. Sawit bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi juga dapat menjadi instrumen pengelolaan karbon nasional," tuturnya.

"Jika dikelola dengan baik, sawit berpotensi menyerap emisi karbon lebih tinggi dibanding vegetasi konvensional lainnya, serta dapat menjadi alat diplomasi iklim strategis bagi Indonesia dalam forum global," tutup Iskandar Sitorus.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Usut Tuntas Bandara Ilegal di Morowali yang Beroperasi Sejak Era Jokowi

Senin, 24 November 2025 | 17:20

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

UPDATE

Duka Banjir di Sumatera Bercampur Amarah

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:04

DKI Rumuskan UMP 2026 Berkeadilan

Jumat, 05 Desember 2025 | 06:00

PIER Proyeksikan Ekonomi RI Lebih Kuat pada 2026

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:33

Pesawat Perintis Bawa BBM

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:02

Kemenhut Cek Kayu Gelondongan Banjir Sumatera Pakai AIKO

Jumat, 05 Desember 2025 | 05:00

Pemulihan UMKM Terdampak Bencana segera Diputuskan

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:35

Kaji Ulang Status 1.038 Pelaku Demo Ricuh Agustus

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:28

Update Korban Banjir Sumatera: 836 Orang Meninggal, 509 Orang Hilang

Jumat, 05 Desember 2025 | 04:03

KPK Pansos dalam Prahara PBNU

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:17

Polri Kerahkan Kapal Wisanggeni 8005 ke Aceh

Jumat, 05 Desember 2025 | 03:03

Selengkapnya