Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian saat berpidato di Global Security Forum (GSF) 2025 di Doha, Qatar/Ist
Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menekankan pentingnya memahami serta menjalin kolaborasi efektif dengan non state actors dalam menghadapi tantangan keamanan yang bersifat transnasional.
Hal itu disampaikan Mendagri saat menyampaikan kunci pidato dalam gelaran Global Security Forum (GSF) 2025 di Doha, Qatar yang berlangsung sejak 28 sampai 30 April 2025.
Dalam forum internasional bertema keamanan global ini, Mendagri menyebut Indonesia telah memandang non state actors sebagai entitas yang memainkan peran signifikan dalam lanskap keamanan saat ini.
"Mereka terbagi ke dalam dua kategori,
hostile non state actors yang menjadi ancaman terhadap stabilitas, dan
friendly non state actors yang dapat menjadi mitra strategis dalam menjaga perdamaian dan keamanan,” ujar Mendagri dikutip Kamis, 1 Mei 2025.
Mendagri lantas memaparkan pengalaman Indonesia dalam menghadapi kelompok ekstremis kekerasan yang memiliki keterkaitan internasional, seperti Jemaah Islamiyah yang berafiliasi dengan Al-Qaeda dan Jamaah Ansharut Daulah yang terkait ISIS.
Indonesia juga berpengalaman menghadapi konflik bersenjata berkepanjangan dengan kelompok separatis seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Mendagri juga menyoroti berbagai tantangan kejahatan transnasional yang melibatkan
non state actors domestik dan asing, seperti penyelundupan narkoba, perdagangan manusia, kejahatan siber, serta eksploitasi ilegal sumber daya alam.
Aktivitas ini tidak hanya mengganggu stabilitas keamanan nasional, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi negara.
Di sisi lain, Mendagri menegaskan bahwa banyak
friendly non state actors yang justru menjadi mitra penting dalam upaya perdamaian dan kontra-radikalisasi.
Salah satu contoh nyata adalah proses damai di Aceh yang dimediasi Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan Presiden Finlandia saat itu, Martti Ahtisaari, serta tokoh mediator Juha Christensen, yang kemudian bergabung dengan Asian Peace and Reconciliation Center.
Dalam penanganan terorisme, Indonesia juga banyak terbantu oleh kerja sama dengan lembaga kajian seperti International Crisis Group yang dipimpin oleh Sidney Jones, serta Rajaratnam School of International Studies dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura.
Dengan pengalaman tersebut, Mendagri menyampaikan dua rekomendasi utama. Pertama memperkuat kerja sama antarnegara pada tingkat strategis dan operasional antar-aparat keamanan.
Kedua, melibatkan
friendly non state actors, seperti LSM,
think tank, dan komunitas sipil lainnya dalam strategi pencegahan dan penanggulangan ancaman dari
hostile non state actors.
"Forum ini merupakan contoh nyata bagaimana kolaborasi antara negara, lembaga kajian, dan organisasi internasional seperti The Soufan Center dapat memperkuat kerja sama lintas batas dalam menghadapi ancaman global,” tegas Mendagri.