Air minum kemasan di bawah 1 liter/RMOL
Larangan produksi dan distribusi air minum kemasan di bawah 1 liter memancing reaksi yang luas.
Kali ini, keberatan disampaikan oleh Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Fitrah Bukhari dan Ketua Fraksi Gerindra DPRD Bali, Gede Harja Astawa.
Keduanya mengungkapkan bahwa larangan agar ditinjau ulang karena tidak realistis dan menimbulkan masalah baru.
Sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 9 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah yang disampaikan di hadapan media di Gedung Gajah Jayasabha Denpasar, Minggu sore 6 April 2025.
Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam SE tersebut adalah pelarangan bagi produsen air minum dalam kemasan (AMDK) untuk memproduksi dan menjual air kemasan plastik berukuran di bawah 1 liter.
Menurut Fitrah dalam keterangannya yang diterima redaksi, Kamis 17 April 2025, larangan itu akan berujung pada kehilangan preferensi atau hak pilih konsumen terhadap suatu produk sehingga berdampak pada psikologis bahkan ekonomi.
"Dengan adanya pelarangan produksi dan distribusi tersebut, akan berdampak pada hilangnya hak konsumen untuk memilih produk yang akan dikonsumsinya. Padahal, dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu hak Konsumen adalah hak untuk memilih barang," kata Fitrah.
BPKN merupakan lembaga perlindungan konsumen yang berada di bawah Kementerian Perdagangan (kemendag). Pernyataan ini sejalan dengan kementerian perindustrian (kemenperin) yang menilai bahwa kebijakan itu dapat merugikan iklim usaha karena dapat berdampak terhadap pertumbuhan industri di daerah tersebut.
Ia mengapresiasi inisiatif pemerintah provinsi (pemprov) Bali untuk membersihkan daerah dari tumpukan sampah. Namun, hal tersebut harus dilakukan dengan tepat dan jangan sampai justru malah memberatkan salah satu pihak.
Sementara Gede Harja Astawa mengatakan, larangan tersebut akan akan menimbulkan masalah baru dan menambah beban serta menyulitkan publik, terutama masyarakat adat apalagi saat mengadakan kegiatan adat.
Di dalam acara-acara adat, diperlukan air suguhan dalam kemasan kecil. Jika itu dilarang, tentu merepotkan karena harus menyiapkan gelas.
"Dalam upacara adat seperti di pura, pitra yadnya, atau manusa yadnya, biasanya air minum kemasan jadi solusi praktis untuk suguhan. Kalau itu dilarang, siapa yang akan siapkan gelas? Biaya bertambah, dan jelas tidak efisien," kata Gede Harja Astawa.
Sebabnya, Harja meminta agar larangan produksi dan distribusi air minum kemasan di bawah 1 liter ini ditinjau ulang.
Ketua DPC Gerindra Buleleng ini menilai bahwa pelarangan distribusi air minum kemasan botol kecil itu justru malah akan menimbulkan masalah baru.
Dia juga mengkritik pandangan yang seolah ingin kembali ke masa lalu dengan melarang penggunaan plastik secara ekstrem. Dia mengingatkan, meski dulu masyarakat hidup tanpa plastik, bukan berarti kita harus menolak kemajuan teknologi.
"Apakah kita mau kembali ke zaman primitif hanya karena plastik dilarang? Saya kira bukan soal anti plastik, tapi bagaimana semua pihak bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkan," katanya.
Kendati, dia mengapresiasi semangat Gubernur Wayan Koster untuk mengurangi sampah plastik. Namun, sambung dia, penanganan sampah plastik harus melibatkan semua pihak dan bukan hanya diselesaikan dari sisi konsumsi air kemasan semata.
"Permasalahan sampah plastik jauh lebih luas dari sekadar air botol kecil. Jangan sampai kebijakan yang tujuannya baik malah menimbulkan polemik di tengah masyarakat," katanya.
Kemenperin berencana memanggil Gubernur Wayan Koster terkait kebijakannya. Wakil Menteri Perindustrian Faisol Rizal mengatakan bahwa Gubernur Koster seharusnya berkoordinasi dengan pemerintah pusat sebelum menerbitkan dan memberlakukan SE nomor 9 tahun 2025 tersebut.
"Sebaiknya berkoordinasi dulu dengan pemerintah pusat sebelum menjadi keputusan," kata Faisol.