Berita

Lukisan Panembahan Palembang/Ist

Publika

Jejak Penguasa Maritim yang Terlupakan

Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla*
SENIN, 07 APRIL 2025 | 01:20 WIB

DI balik kabut sejarah, tersimpan sosok agung yang nyaris terlupakan dari narasi kebesaran Nusantara. Dialah Panembahan Palembang—penguasa tangguh yang pernah menjadi penopang marwah Melayu di sepanjang tepian Sungai Musi. 

Hari ini, dunia seolah tertampar ketika fakta-fakta sejarah mulai terkuak: Palembang bukan hanya kota tua, tetapi episentrum kekuasaan maritim yang melanjutkan spirit Kerajaan Sriwijaya setelah ratusan tahun senyap.

Sosok yang Menyatukan Tanah Air dan Air Tanah


Panembahan Palembang bukan sekadar penguasa lokal. Ia adalah simbol resistensi, representasi kekuasaan otonom yang berani menentang kolonialisme awal. Dalam catatan sejarah lokal dan hikayat Melayu kuno, Panembahan Palembang berdiri sebagai penerus sah kebesaran Sriwijaya—kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara. 

Ketika Majapahit mulai redup dan penjajahan perlahan menyusup dari barat, Palembang justru menegakkan kepala sebagai pusat baru perlawanan dan kebudayaan.

Dengan kekuatan armada sungainya, Panembahan Palembang memegang kendali atas jalur perdagangan rempah, timah, dan emas dari pedalaman Sumatera ke laut Cina Selatan. Sungai Musi bukan sekadar urat nadi ekonomi, melainkan medan kekuasaan di mana kekuatan militer dan diplomasi dikuasai penuh oleh sang Panembahan. 

Ia mengatur pelabuhan, mencetak mata uang sendiri, hingga membuat aliansi politik dengan kerajaan-kerajaan se-Nusantara. Inilah bukti nyata bahwa Palembang di era Panembahan adalah pusat thalasokrasi—kekuasaan yang berpijak di atas laut.

Ketika Belanda Takluk pada Kebesaran Lokal

Dalam berbagai laporan VOC, disebutkan betapa sulitnya menaklukkan Palembang. Panembahan Palembang dikenal lihai dalam berstrategi. Ia membuka dan menutup jalur logistik dengan taktik river blockading, mengandalkan pengetahuan lokal akan aliran sungai, rawa, dan pasang surut air. Panembahan ini juga memperkuat benteng dan sistem pertahanan darat berbasis komunitas rakyat—sebuah bentuk milisi awal Nusantara yang sangat efektif dalam gerilya.

Belanda mencatat dalam arsip mereka bahwa Panembahan Palembang adalah lawan yang tidak bisa diremehkan. Beberapa ekspedisi militer Belanda ke Palembang justru berakhir memalukan. Bahkan pada 1659, VOC harus menandatangani perjanjian dagang yang lebih menguntungkan Palembang demi menjaga akses ke hasil bumi Sumatera.

Peninggalan yang Terlupakan, Kebesaran yang Terkubur

Sayangnya, nama Panembahan Palembang kini hanya terdengar di ruang-ruang terbatas. Istana lama telah runtuh, manuskrip banyak hilang, dan sistem pendidikan nasional nyaris tak menyinggungnya. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, Panembahan Palembang adalah poros dari pembentukan identitas maritim Melayu-Indonesia yang otentik.

Ia bukan hanya penguasa, tetapi juga ulama, budayawan, dan arsitek politik Islam lokal. Dalam sistem pemerintahannya, ia menggabungkan hukum adat, syariat Islam, dan kearifan lokal dalam satu struktur yang harmonis. Banyak masjid tua di Palembang yang arsitekturnya masih menyimpan jejak filosofi kepemimpinan Panembahan—sederhana namun kokoh, mengakar namun menjulang.

Saatnya mengangkat kembali Panembahan Palembang sebagai Pahlawan Maritim Nusantara. Hari ini, ketika Indonesia menggagas diri sebagai Poros Maritim Dunia, nama Panembahan Palembang layak dikumandangkan kembali. Pemerintah daerah, sejarawan, dan masyarakat sipil didorong untuk membuka kembali lembaran-lembaran sejarah yang telah lama tersembunyi. Pemugaran situs, penulisan ulang sejarah berbasis manuskrip lokal, hingga pengusulan gelar Pahlawan Nasional harus segera menjadi agenda strategis kebudayaan bangsa.

Bukan hanya untuk kebanggaan Palembang, tapi untuk seluruh Indonesia. Sebab di balik kejayaan Panembahan Palembang, tersembunyi benih perlawanan, kekuatan diplomasi, dan kebangkitan kedaulatan lokal yang menjadi fondasi kokoh bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia hari ini.

Panembahan Palembang bukan hanya nama. Ia adalah jiwa maritim yang tak lekang oleh zaman. Dan kini, ia menunggu untuk dibangkitkan kembali—bukan dari makam, tapi dari ingatan kolektif bangsa.

*Penulis adalah Purnawirawan TNI AL, pemerhati masalah kebangsaan

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya