Berita

Ilutrasi/RMOL

Publika

Bubarkan Ditjen Anggaran Kemenkeu

Oleh: Defiyan Cori*
RABU, 19 MARET 2025 | 14:36 WIB

INDEKS Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam pembukaan pasar Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Hari Selasa 18 Maret 2025 anjlok dan perbincangan hangat publik. Berbagai ragam tanggapan muncul, ada pihak yang menyampaikan ini terkait rumor akan mundurnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sampai yang menyimpulkan sebagai akibat sudah munculnya ketidakpercayaan publik (distrust) kepada pemerintahan Presiden Republik Indonesia (Presiden RI) Prabowo Subianto. 

Benarkah demikian adanya, sepertinya terlalu naif dan mengada-ada seorang Sri Mulyani mengguncang BEI apalagi adanya ketidakpercayaan kepada Presiden RI Prabowo Subianto yang baru 4 (empat) bulan memerintah. Gejala penurunan IHSG adalah soal biasa dan tak perlu dibuat panik atau dirisaukan, memang seperti itulah pasar bursa apabila dikuasai oleh para "bandar" pemilik modal.

Namun begitu, inilah mungkin pertanda akan runtuhnya bangunan menara sistem kapitalisme-liberalisme global (dunia) yang selama lebih dari satu abad mempengaruhi negara-negara lain. Indonesia dan utamanya rakyat Indonesia sebagian besar tidak terpengaruh oleh gonjang-ganjing atas keterpurukan saham-saham korporasi besar (blue chip) di BEI tersebut. 


Salah satu tanda mengindikasikan kokohnya fundamental perekonomian nasional setelah Presiden RI mengambil langkah dan kebijakan mendasar diantaranya, komitmen pemberantasan korupsi, efisiensi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan peresmian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Langkah taktis sekaligus strategis mengubah konstruksi APBN dan pengelolaan BUMN yang selama ini sesuai kebiasaan (business as usual). 

Momentum yang telah digunakan dengan cepat dan tepat oleh Presiden RI Prabowo dalam menata kelola perekonomian nasional dari pangkal ini haruslah segera ditindaklanjuti dengan membatasi kewenangan besar (super body) yang saat ini berada pada Kementerian Keuangan. Kewenangan besar itu, adalah terkait peran dan fungsi penganggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran yang dulu diera Orde Baru berada dalam kewenangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) atau menyatu dengan peran dan fungsi perencanaan pembangunan. 

Pasca reformasi terjadi perubahan kewenangan perencanaan dan penganggaran pembangunan nasional yang selama lebih dari 32 (tiga puluh dua tahun) berada dalam kewenangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pendekatan perencanaan pembangunan selain diatur dalam UU 25/2004 SPPN juga terdapat pada Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini menetapkan alur dan proses perencanaan pembangunan yang tidak lagi melalui pendekatan teknokratis dan atas-bawah (top down) seperti diterapkan oleh Orde Baru (Orba). Namun, juga melakukan pendekatan partisipatif dan bawah-atas (bottom up) serta politis.

Selain itu, mengacu pada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional pendekatan tersebut harus mempertimbangkan prinsip tematik, holistik, integratif, dan spasial (penjabaran program satu kesatuan dan terkait). Artinya, kebijakan pembangunan nasional juga harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari hulu hingga hilir dimana rangkaian kegiatan dilaksanakan dalam keterpaduan pemangku kepentingan dan pendanaan, serta dalam satu kesatuan wilayah dan keterkaitan wilayah (kepala daerah). Demikian pula halnya dengan langkah-langkah perencanaan pembangunan ekonomi harus dimulai dengan menentukan tujuan pembangunan ekonomi, kemudian menyusun sasaran (target) pembangunan, melaksanakan pembangunan, dan pengawasan pembangunan.

Terpisahnya otoritas perencanaan dan anggaran ini telah menimbulkan tidak saja inefisiensi keuangan negara, melainkan juga semakin tergantungnya sumber pembiayaan pembangunan nasional dari utang dan defisit APBN yang tak berkesudahan. Oleh karena itu, Presiden RI Prabowo harus secepat mungkin mengkonsolidasikan kembali kewenangan perencanaan dan anggaran pada satu otoritas saja. 

Termasuk dalam hal ini, menyerahkan kembali kewenangan pengelolaan harta kekayaan negara (aset) dan utang kepada Bappenas agar visi-misi Asta Cita berhasil dan berdaya guna dimasa 5 (lima) tahun mendatang. Artinya, Kementerian Keuangan hanya diberikan kewenangan menerima dan  mengeluarkan dana atau bendahara negara saja sehingga Presiden RI Prabowo tidak perlu membentuk Kementerian baru yang mengurusi penerimaan negara yang justru menambah inefisiensi kementerian/lembaga.

*Penulis adalah Ekonom Konstitusi

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya