Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa pada Kamis 13 Maret 2025/RMOL
Rilis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kinerja dan Fakta (APBN KiTa) akhirnya muncul lagi setelah tertunda sekitar satu bulan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan apa yang menyebabkan rilis tersebut absen dilakukan pada Januari 2025.
Padahal, biasanya pelaporan APBN dilakukan secara rutin oleh bendahara negara itu setiap bulan. Namun, di awal tahun, Sri Mulyani memilih menggabungkan APBN Januari dan Februari.
"Banyak pertanyaan dari teman-teman media kenapa waktu itu, Februari, tidak dilakukan untuk (laporan) bulan Januari. Untuk menjelaskan beberapa hal terkait pelaksanaan APBN di awal tahun kita melihat datanya masih sangat belum stabil karena berbagai faktor,"kata Sri Mulyani di kantornya pada Kamis 13 Maret 2025.
Meski demikian, ia tidak merinci faktor-faktor tersebut, dan hanya menyebut pemerintah masih menunggu kondisi lebih stabil sebelum menyajikan laporan yang lebih akurat.
"Kita menunggu sampai stabil untuk kita bisa memberikan suatu laporan mengenai pelaksanaan APBN KiTa 2025 dengan dasar yang jauh lebih bisa stabil dan diperbandingkan," kata Sri Mulyani.
"Mungkin kalau istilahnya mangga dengan mangga, sehingga tidak terjadi kemungkinan terjadinya salah interpretasi," sambungnya.
Beberapa pihak mempertanyakan transparansi Sri Mulyani, yang terkesan menutup-nutupi laporan APBN tersebut.
Pakar ekonomi dan kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengatakan belum dirilisnya laporan APBN KiTa menimbulkan banyak spekulasi di tengah masyarakat terkait kondisi keuangan negara, efektivitas kebijakan fiskal, serta dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dan pasar keuangan.
"Pernyataan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir, laporan APBNKita hampir selalu dirilis tepat waktu sebagai bentuk keterbukaan pemerintah dalam mengelola keuangan negara," kata Achmad beberapa waktu lalu.
Berdasarkan laporan hingga Februari 2025, APBN di awal tahun telah mencatat defisit sebesar Rp31,2 triliun atau setara dengan 0,13 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka ini melebar dibandingkan defisit pada Januari 2025 sebesar Rp23,5 triliun atau 0,10 persen terhadap PDB.