SUNGGUH menggugah hati mendengar kabar bahwa pemerintah akan membangun Koperasi Desa Merah Putih di hampir seluruh desa di Indonesia. Bukan sekadar satu-dua, melainkan 70.000 koperasi sekaligus! Jika ada Guinness World Records untuk rekor pembangunan koperasi tercepat di dunia, mungkin kita bisa menjadi kandidat utama.
Namun, sebelum kita bergegas memesan baliho besar dengan slogan “Indonesia Bangkit Lewat Koperasi!”, mari kita luangkan waktu untuk memahami apa itu koperasi. Apakah koperasi itu semacam proyek yang bisa dijatuhkan dari langit seperti bansos menjelang pemilu? Jawabannya: tentu tidak.
Apakah koperasi itu cabang baru dari bank plat merah? Ataukah ini hanya nostalgia terhadap Koperasi Unit Desa (KUD) era Orde Baru, yang akhirnya lebih banyak menyisakan papan nama berdebu di depan balai desa? Jawabannya, lagi-lagi, mestinya: tidak. Bank-bank sudah punya cabang hingga tingkat desa, dan KUD sudah lama dicoret dari kamus.
Jika Bung Hatta masih hidup, mungkin beliau akan terkejut—atau lebih tepatnya kaget—dengan pemahaman pemerintah soal koperasi. Menurut beliau, koperasi adalah “otoactivitet”, sebuah gerakan otonom dari bawah, bukan inisiatif birokrasi dari atas. Koperasi adalah milik anggotanya, bukan milik negara.
Anggotalah yang menyetor modal, mengelola, dan menentukan arah. Tapi sekarang, kita punya versi baru koperasi: dibentuk oleh pemerintah, didanai dari APBN, diawasi oleh kementerian, dan—tentu saja—dikelola dengan pinjaman yang nanti harus dibayar kembali. Sepertinya kita menemukan spesies baru dalam dunia koperasi: koperasi rasa BUMN!
Pemerintah memperkirakan anggaran koperasi ini bisa mencapai Rp350 triliun. Mari kita berhitung sejenak: jika dana ini dibagi rata untuk 70.000 desa, maka setiap desa akan mendapat sekitar Rp 5 miliar. Dana ini dikatakan berasal dari berbagai sumber: APBN, APBD, Dana Desa, hingga BUMDes.
Tak aneh jika para kepala desa berdemo menolak rencana ini, sebab Dana Desa dan BUMDes akan tersedot ke sana. Lagi pula, siapa yang akan memastikan uang ini benar-benar menjadi modal koperasi dan bukan sekadar proyek “pembangunan gedung koperasi” dengan plang bertuliskan “Diresmikan oleh…”?
Di negeri ini, kita sudah punya banyak contoh kegagalan koperasi yang lahir dari skema
top-down. Koperasi Unit Desa (KUD), misalnya, dulu digadang-gadang sebagai ujung tombak ekonomi pedesaan. Tapi apa yang terjadi? Banyak yang mati suri karena hanya menjadi perpanjangan tangan birokrasi, bukan gerakan ekonomi masyarakat.
Salah satu tujuan Koperasi Desa Merah Putih adalah membebaskan masyarakat dari jeratan rentenir, tengkulak, dan pinjol. Terdengar heroik, bukan? Tapi tunggu dulu. Apakah solusi terbaik dari utang adalah… memberi utang baru?
Koperasi ini dinarasikan akan memiliki unit simpan pinjam yang “membantu masyarakat desa”. Tapi kalau model bisnisnya mirip bank dengan sistem pinjaman yang harus dikembalikan dengan bunga, apa bedanya dengan koperasi-koperasi simpan pinjam lain yang sering kita dengar justru menjadi lintah darat berlabel koperasi?
Kalau ingin mengatasi tengkulak, seharusnya bukan sekadar memberi pinjaman. Yang lebih penting adalah memperkuat koperasi produksi dan koperasi pemasaran. Daripada memberi pinjaman untuk membeli pupuk dari distributor besar (yang harganya sudah ditentukan oligarki), mengapa tidak membantu petani membentuk koperasi pupuk sendiri?
Dari berbagai pernyataan pejabat, koperasi ini lebih banyak disebut dalam konteks “simpan pinjam”, bukan produksi atau pemasaran. Artinya, koperasi ini lebih mirip bank desa dibanding koperasi sejati. Apakah ini bukan hanya cara baru untuk menyalurkan kredit mikro dengan merek yang lebih nasionalis?
Padahal, dalam ekonomi koperasi, simpan pinjam hanyalah bagian kecil dari usaha dan kegiatan koperasi. Yang lebih penting adalah koperasi produksi yang benar-benar bisa meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Tapi sayangnya, semangat koperasi produksi ini tidak terlihat dalam program pemerintah.
Kalau pemerintah benar-benar ingin membangkitkan koperasi, mereka seharusnya tidak memulainya dengan membangun koperasi secara massal, tetapi dengan menciptakan ekosistem yang sehat bagi koperasi yang memang lahir dari inisiatif masyarakat. Hal ini memang tak mudah, apalagi mengelola koperasi, yang jauh lebih sulit lagi.
Mungkin yang lebih baik adalah mengkaji kegagalan KUD dahulu agar kesalahan yang sama tidak terulang. Juga, memberi insentif bagi koperasi yang sudah ada, daripada memaksakan model baru yang belum tentu cocok. Serta memastikan koperasi yang dibentuk bukan hanya unit simpan pinjam, tapi juga koperasi produksi dan pemasaran.
Terakhir, mendorong pendidikan koperasi bagi masyarakat desa, bukan sekadar program instan yang bisa berubah haluan setiap pergantian menteri. Jika tidak, Koperasi Desa Merah Putih ini hanya akan menjadi proyek mercusuar: megah di awal, tapi redup di kemudian hari. Atau lebih buruk lagi, menjadi skema baru bagi segelintir orang untuk meraup keuntungan dari nama koperasi.
Koperasi sejati bukanlah proyek, tetapi gerakan. Bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. “Otoactivitet” alias mandiri. Kalau tidak paham prinsip ini, lebih baik jangan bawa-bawa nama koperasi. Atau Bung Hatta bisa bangkit dari kubur dan bertanya, “Lho, ini koperasi atau BUMN jilid baru?”
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an