Ilustrasi ibadah haji/Net
Partisipasi publik wajib diberi ruang dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang kini ada di meja Komisi VIII DPR.
Koordinator Forum Haji dan Umrah Berkeadilan, Daffa Batubara mengatakan, RUU Haji dan Umrah masih menyisakan sejumlah persoalan krusial. Mulai dari adanya celah hukum hingga tata kelola yang belum mencerminkan prinsip keadilan.
"Kami sebagai wadah yang menghimpun peneliti dan praktisi menyampaikan sejumlah catatan kritis terkait tata kelola haji dan umrah sebagaimana hasil pemantauan beberapa tahun terakhir," kata Daffa dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6 Maret 2025.
Pertama soal tata kelola lembaga pengelola haji yang dipegang tiga lembaga, yakni Kementerian Agama (Kemenag), Badan Penyelenggara (BP) Haji, dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
"Keberadaan tiga lembaga ini berpotensi memunculkan perebutan kewenangan (
power struggle) dalam pengelolaan haji, yang pada akhirnya merugikan calon jemaah dan jemaah haji," jelas Daffa.
Pengawasan terhadap pengelolaan haji menjadi semakin kompleks dan sulit dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Berulangnya permasalahan setiap tahun menunjukkan belum ada kejelasan lembaga mana yang bertanggung jawab secara penuh dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Catatan kedua, yakni masalah kuota keberangkatan yang tidak adil. Masalah ini tercermin dalam penyelenggaraan haji tahun 2024. Saat itu, pemerintah memperoleh tambahan 20 ribu kuota. Kuota ini dibagi merata antara jemaah haji reguler dan khusus.
"Padahal, calon jemaah haji reguler harus menunggu antrean puluhan tahun untuk dapat berangkat, sehingga kebijakan ini tidak adil," urai Daffa.
Kuota haji juga bergantung pada kebijakan pemerintah Arab Saudi sebagai negara tujuan. Untuk tahun 2025, beredar informasi bahwa Arab Saudi akan membatasi usia jemaah haji. Data Kemenag tahun 2022 mencatat bahwa calon jemaah haji berusia 80 tahun ke atas yang masih mengantri mencapai 44.489 orang.
Catatan ketiga adalah masalah manajemen keuangan. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) reguler tahun 2025 memang turun, namun sayangnya tidak dibarengi dengan pengelolaan keuangan haji yang baik.
Saat ini, dana yang digunakan untuk pemberangkatan haji bersumber dari setoran jemaah baru, bukan dari hasil investasi yang optimal. Dengan skema seperti ini, jemaah baru berisiko tidak dapat berangkat di kemudian hari jika terjadi ketidakseimbangan antara setoran dan pengeluaran.
Keempat, pengadaan akomodasi, transportasi, konsumsi, serta SDM. Setiap tahun masalah ini berulang tanpa perbaikan signifikan.
"Masalah yang berulang di antaranya kelebihan kapasitas tenda dan sanitasi yang tidak layak dan keterlambatan layanan transportasi dan distribusi konsumsi," kritiknya.
Dengan permasalahan yang terus berulang ini, Forum Haji dan Umrah Berkeadilan menegaskan RUU Haji dan Umrah harus disusun dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keadilan bagi seluruh calon jemaah haji.
"Kami mendesak DPR, khususnya Komisi VIII membuka ruang partisipasi publik agar masyarakat dapat berkontribusi dalam penyusunan regulasi yang adil dan berpihak pada jemaah," tegasnya.
DPR dan pemerintah juga wajib menyusun RUU Haji dan Umrah dengan orientasi utama pada penyelesaian antrean panjang keberangkatan. Jemaah haji lanjut usia harus diprioritaskan.
RUU Haji dan Umrah harus menghapus praktik rente bisnis yang menyebabkan biaya haji mahal, memastikan transparansi dalam pengadaan kontraktor layanan ibadah haji, serta menetapkan mekanisme sanksi tegas bagi pihak yang melakukan penyimpangan.
"RUU Haji dan Umrah harus mengedepankan konsep satu pintu dalam penyelenggaraan ibadah haji, di mana BP Haji menjadi penyelenggara tunggal dengan pengawasan dari dewan independen," pungkasnya.