Berita

Denny JA/Ist

Nusantara

Berikut Perspektif Denny JA soal Agama di Era AI

MINGGU, 16 FEBRUARI 2025 | 01:15 WIB | LAPORAN: ADITYO NUGROHO

Mulai semester genap tahun 2025, pemikiran Denny JA mengenai agama dan spiritualitas di era Artificial Intelligence (AI) akan menjadi bagian dari kurikulum di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. 

Materi ini bakal disampaikan baik sebagai mata kuliah mandiri maupun sebagai bagian dari mata kuliah yang sudah ada.

Ketua Pelaksana Program Esoterika Fellowship Program (EFP), Ahmad Gaus AF menyatakan bahwa pengintegrasian pemikiran ini bertujuan untuk memberikan perspektif baru kepada mahasiswa tentang peran agama dan spiritualitas di tengah kemajuan teknologi.

Denny JA, menurut Gaus, menyoroti bahwa di era AI, informasi mengenai agama dapat diakses dengan mudah dan cepat oleh setiap individu. 

Hal ini berpotensi menggeser peran tradisional ulama, pendeta, dan biksu sebagai sumber utama pengetahuan agama. 

Menurutnya, AI memungkinkan siapa pun untuk mengakses sejarah agama, berbagai tafsir alternatif, hingga kritik terhadap doktrin tanpa perlu perantara otoritas keagamaan. 

“Situasi ini mendemokratisasi pengetahuan sekaligus menantang peran pemuka agama untuk lebih reflektif daripada dogmatis,” ucap Gaus dalam keterangannya, Sabtu, 15 Februari 2025.

Dalam teorinya, Denny JA mengemukakan tujuh prinsip utama mengenai agama dan spiritualitas di era AI.

Pertama, keyakinan agama tidak berkorelasi dengan kualitas kehidupan bernegara. 

“Negara yang religius tidak otomatis lebih bahagia atau bebas korupsi. Contohnya, negara-negara Skandinavia yang cenderung sekuler, mayoritas warganya tak menganggap agama penting,” jelas Gaus. 

Namun, justru negara-negara tersebut memiliki indeks kebahagiaan dan bebas korupsi yang paling tinggi.

“Denmark, misalnya, meraih skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023 dengan 90 poin. Negara-negara Nordik juga kuat dalam indikator kebahagiaan seperti PDB per kapita, dukungan sosial, dan harapan hidup sehat,” ungkapnya.  

Kedua, agama bertahan bukan karena kebenaran faktual, tetapi makna simbolis. 

Narasi agama tak jarang bertentangan secara historis, namun tetap bertahan karena menawarkan makna mendalam yang memberikan harapan dan identitas sosial. 

Contohnya, Islam dan Kristen berbeda pandangan mengenai apakah Yesus mati disalib atau tidak. Atau siapa yang akan dikurbankan oleh Nabi Ibrahim, Ishak atau Ismail. 

Meskipun dua fakta tersebut bertentangan, keduanya tetap dipercaya oleh masing-masing penganutnya. 

Perspektif yang berbeda dalam sejarah agama tetap bertahan, meskipun secara faktual tidak mungkin keduanya benar.

“Tapi fakta yang salah bisa diyakini oleh lebih dari satu miliar manusia, selama lebih dari seribu tahun,” ujar dia.

Ketiga, agama bukan lagi satu-satunya panduan hidup bahagia dan bermakna. 

Ilmu pengetahuan modern, seperti psikologi positif, menawarkan jalan lain menuju kebahagiaan berdasarkan riset. 

Denny JA merumuskannya dalam formula 3P + 2S (Personal Relationship, Positivity, Passion, Small Winning, dan Spirituality). 

Hidup yang bermakna bisa diperoleh dengan memiliki hubungan personal yang hangat, berpikir positif, memiliki passion atas hidupnya, memiliki sense of purpose, hingga mendalami spiritualitas.

Keempat, era AI mengubah peran otoritas agama. Dengan akses informasi yang luas, individu menjadi lebih mandiri dalam menafsirkan iman mereka, mengurangi ketergantungan pada otoritas keagamaan tradisional.

Kelima, agama semakin menjadi warisan kultural milik bersama. Perayaan hari raya agama kini dirayakan secara sosial oleh semua orang, bukan hanya penganutnya, menunjukkan bahwa agama berkembang menjadi tradisi kultural.

Ada kecenderungan universalisasi pesan agama sehingga pesan agama itu juga bisa dinikmati oleh mereka yang bukan penganut agama itu.

Meditasi yang awalnya dari tradisi Hindu dan Budha kini bisa dinikmati oleh mereka yang tak beriman kepada Hindu  dan Budha.

Keenam, tafsir agama yang bertahan adalah yang selaras dengan Hak Asasi Manusia (HAM). 

Tafsir agama yang mendukung kesetaraan dan hak asasi manusia cenderung lebih diterima dan bertahan dalam masyarakat modern.

Dulu perbudakan, ketidaksetaraan lelaki dan perempuan pernah didukung oleh tafsir agama di zamannya. Tapi tafsir itu layu karena zaman lebih memilih tafsir yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia.

Ketujuh, komunitas adalah kunci sosialisasi gagasan spiritual baru. 

Gagasan spiritual hanya bertahan jika didukung oleh komunitas yang menghidupkannya, dengan merayakan nilai-nilai universal dan inklusif.

“Tentu akan ada kritik atas teori Denny JA ini. Pandangan Denny JA dianggap terlalu menekankan rasionalitas dan perubahan sosial tanpa cukup mempertimbangkan dimensi transendental agama,” tuturnya. 

“Tidak semua komunitas menerima AI sebagai otoritas baru dalam spiritualitas. Tafsir agama juga tidak selalu berubah karena tekanan sosial, tetapi sering kali karena dinamika internal keimanan dan tradisi,” beber dia.

Tapi, lanjut Gaus, Denny JA tidak bermaksud menggantikan agama dengan AI. Ia hanya menyoroti bagaimana akses informasi mengubah pola keimanan. 

Di biara sunyi Tibet, AI membantu biksu menemukan makna tersembunyi dalam teks kuno.

Kuil Kodaiji di Kyoto, Jepang, memperkenalkan Mindar, robot pendeta berbasis AI, untuk menyampaikan khotbah Buddha. Inisiatif ini bertujuan menarik minat generasi muda terhadap ajaran Buddha.

Tapi teknologi tidak menggantikan doa, tetapi menjadi lentera baru bagi pencarian batin. AI bukan ancaman bagi spiritualitas, melainkan jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam dan universal.

Ahmad Gaus AF menambahkan bahwa dengan memahami prinsip-prinsip ini, diharapkan mahasiswa dapat mengembangkan pemahaman yang lebih luas dan inklusif tentang peran agama dan spiritualitas di era digital.

Ini sesuai dengan kutipan bahasa Denny JA sendiri: “Agama Warisan Kultural Milik Kita Bersama”.

“Kami berharap materi ini dapat memfasilitasi dialog yang konstruktif dan reflektif di kalangan akademisi dan masyarakat luas,” imbuh Gaus. 

“Sekaligus juga materi kuliah ini mengajak kita merenung. Di era AI, apakah agama akan kehilangan sakralitasnya atau justru menemukan makna baru?” pungkasnya.

Populer

Fenomena Seragam Militer di Ormas

Minggu, 16 Februari 2025 | 04:50

Asian Paints Hengkang dari Indonesia dengan Kerugian Rp158 Miliar

Sabtu, 15 Februari 2025 | 09:54

Bos Sinarmas Indra Widjaja Mangkir

Kamis, 13 Februari 2025 | 07:44

Temuan Gemah: Pengembang PIK 2 Beli Tanah Warga Jauh di Atas NJOP

Jumat, 14 Februari 2025 | 21:40

PT Lumbung Kencana Sakti Diduga Tunggangi Demo Warga Kapuk Muara

Selasa, 18 Februari 2025 | 03:39

Pengiriman 13 Tabung Raksasa dari Semarang ke Banjarnegara Bikin Heboh Pengendara

Senin, 17 Februari 2025 | 06:32

Dugaan Tunggangi Aksi Warga Kapuk Muara, Mabes Polri Diminta Periksa PT Lumbung Kencana Sakti

Selasa, 18 Februari 2025 | 17:59

UPDATE

PDIP Minta Seluruh Kader Banteng Tenang

Kamis, 20 Februari 2025 | 23:23

Megawati Instruksikan Kepala Daerah dari PDIP Tunda Retret ke Magelang

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:43

Wujudkan Pertanian Berkelanjutan dan Ketahanan Pangan, Pemerintah Luncurkan FAST Programme

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:27

Trump Gak Ada Obat, IHSG Terseret Merah

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:26

Uchok: Erick Thohir Akali Prabowo soal Danantara

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:24

Hasto Ditahan, Megawati Tidak Menunjuk Plt Sekjen PDIP

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:21

Resmi Pimpin Banten, Andra Soni-Dimyati Diingatkan Jangan Korupsi

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:18

KPK Tahan Hasto, PDIP: Operasi Politik Mengawut-awut Partai

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:17

Hasto Ditahan, PDIP: KPK Dikendalikan dari Luar Melalui AKBP Rossa

Kamis, 20 Februari 2025 | 22:16

Adityawarman Adil Apresiasi BSF CGM 2025: Gambaran Kekayaan Budaya Kota Bogor

Kamis, 20 Februari 2025 | 21:56

Selengkapnya