Presiden Amerika Serikat Donald Trump/Net
Kelompok-kelompok yang mewakili minoritas kulit putih Afrikaner di Afrika Selatan menolak rencana Presiden, Donald Trump, untuk memberikan status pengungsi dan pemukiman kembali bagi mereka di Amerika Serikat.
Mereka menegaskan bahwa mereka akan tetap bertahan di tanah kelahiran mereka.
“Anggota kami bekerja di sini, dan ingin tinggal di sini, dan mereka akan tinggal di sini,” kata kepala eksekutif serikat pekerja Afrikaner, Solidarity, Dirk Hermann yang mengklaim mewakili sekitar dua juta orang.
“Kami berkomitmen untuk membangun masa depan di sini. Kami tidak akan ke mana-mana," tegasnya lagi, seperti dimuat
Associated Press pada Minggu, 9 Februari 2025.
CEO kelompok lobi Afrikaner AfriForum, Kallie Kriel menegaskan hal serupa.
“Kami harus menyatakan dengan tegas: Kami tidak ingin pindah ke tempat lain,” ujarnya dalam konferensi pers.
Rencana relokasi warga afrikaner tertuang dalam perintah eksekutif yang ditandatangani Trump pada Jumat lalu, 7 Februari 2026.
Perintah itu juga menghentikan seluruh bantuan keuangan ke Afrika Selatan sebagai bentuk sanksi atas apa yang disebut pemerintahan Trump sebagai "pelanggaran hak" terhadap warga kulit putih di negara tersebut.
Pemerintah Trump menuduh pemerintah Afrika Selatan membiarkan kekerasan terhadap petani Afrikaner kulit putih serta memperkenalkan undang-undang perampasan tanah yang memungkinkan perampasan lahan tanpa kompensasi.
Namun, pemerintah Afrika Selatan membantah tuduhan tersebut, dengan menyatakan bahwa deskripsi Trump mengenai situasi di negara mereka sarat dengan misinformasi.
Kementerian Luar Negeri Afrika Selatan menilai bahwa langkah ini didasarkan pada informasi yang tidak akurat.
“Sungguh ironis bahwa perintah eksekutif tersebut memberikan status pengungsi kepada kelompok yang masih merupakan salah satu komunitas paling beruntung secara ekonomi di Afrika Selatan,” ujar Kemlu Afrika Selatan dalam sebuah pernyataan.
Pemerintah Afrika Selatan juga menuding adanya “kampanye misinformasi dan propaganda” yang ditujukan terhadap negara mereka.
“Afrika Selatan adalah negara demokrasi konstitusional. Kami menghargai semua warga Afrika Selatan, baik kulit hitam maupun putih. Pernyataan bahwa orang Afrikaner menghadapi perampasan sewenang-wenang dan perlu melarikan diri adalah tidak benar,” kata juru bicara Presiden Cyril Ramaphosa.
Lebih dari 30 tahun setelah berakhirnya apartheid pada 1994, warga kulit putih, termasuk Afrikaner, masih memiliki standar hidup yang lebih baik dibandingkan warga kulit hitam.
Meskipun mereka hanya sekitar tujuh persen dari populasi Afrika Selatan yang mencapai 62 juta jiwa, mereka masih menguasai sekitar 70 persen lahan pertanian pribadi.
Beberapa kelompok Afrikaner menganggap kebijakan pemerintah Afrika Selatan, seperti undang-undang perampasan tanah dan kebijakan tindakan afirmatif, sebagai bentuk diskriminasi terhadap mereka.
Namun, pemerintah Afrika Selatan menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk memperbaiki ketidakadilan sejarah akibat kolonialisme dan apartheid, ketika warga kulit hitam kehilangan tanah dan hak-hak mereka.
Sithabile Ngidi, seorang pedagang di Johannesburg, menanggapi kontroversi ini dengan skeptis.
“Trump seharusnya datang sendiri ke Afrika Selatan untuk melihat kenyataan di lapangan, bukan hanya mendengar dari Elon Musk, yang sudah lama meninggalkan negara ini dan bahkan tidak berhubungan dengan orang Afrika Selatan,” ujarnya.
Sementara itu, Kriel dari AfriForum mengapresiasi Trump karena mengangkat isu Afrikaner di dunia internasional, tetapi tetap menegaskan bahwa mereka akan tetap tinggal di Afrika Selatan.
“Pemerintah ini membiarkan bagian tertentu dari populasi menjadi sasaran. Namun, kami tetap berkomitmen pada negara ini," kata Kriel.