Berita

Penasihat Hukum Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto, Todung Mulya Lubis/RMOL

Hukum

Penasihat Hukum Sekjen PDIP Bongkar Kesewenang-wenangan Penyidik KPK

MINGGU, 09 FEBRUARI 2025 | 05:53 WIB | LAPORAN: FAISAL ARISTAMA

Penasihat Hukum Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto memberikan tanggapan resmi atas substansi jawaban pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang praperadilan di PN Jakarta Selatan. 

Di mana, ditemukan sejumlah poin yang menunjukkan kesewenang-wenangan penyidik KPK dalam proses penersangkaan Hasto Kristiyanto. 

Adapun, kuasa hukum Hasto yang mengungkap hal itu adalah Todung Mulya Lubis, Maqdir Ismail, Ronny Talapessy, dan Alvon Kurnia Palma.


“Jawaban KPK dan fakta persidangan mengkonfirmasi terjadinya sejumlah pelanggaran hukum dalam pada proses penyidikan KPK,” ungkap Todung Mulya Lubis dalam keterangannya, Sabtu, 8 Februari 2025. 

Todung menyebutkan, KPK telah menyampaikan jawaban atas permohonan praperadilan yang diajukan oleh Hasto. Dan pihaknya menemukan sejumlah ketidakkonsistenan sekaligus mempertegas adanya pelanggaran hukum yang dilakukan KPK dalam melaksanakan penyidikan dan penetapan kliennya sebagai tersangka.

Contohnya, lanjut Todung, saat KPK memberikan uraian pokok perkara berisi tuduhan yang dibangun dengan cerita imajinatif tanpa dasar bukti yang kuat. Di halaman 12 sampai dengan 17, KPK menguraikan sejumlah tuduhan tentang peran dan keterlibatan Hasto. 

Di mana KPK menyebutkan Hasto memerintahkan Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah di kantor DPP PDIP dan mengatakan "tolong kawal surat DPP PDI Perjuangan yang keluar berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI, amankan keputusan partai". 

“Hal ini jelas bukanlah perbuatan melawan hukum, justru posisi Hasto Kristiyanto sebagai Sekjen PDIP memiliki tugas untuk memastikan surat DPP PDIP yang dibuat berdasarkan Putusan Mahkamah Agung agar ditindaklanjuti sesuai dengan hukum yang berlaku,” papar Todung. 

Dengan demikian, kata Todung, KPK seolah-olah mem-framing bahwa perintah ini adalah bagian dari rangkaian suap yang dilakukan untuk meloloskan Harun Masiku.

“Padahal justru sesungguhnya klien kami sebagai petugas partai sedang memperjuangkan hak dan kewenangan partai yang dijamin oleh Putusan Mahkamah Agung dan bahkan ditegaskan oleh Fatwa MA,” katanya.

Selain itu, KPK juga terkesan membangun tuduhan berdasarkan imajinasi dan bukan berdasarkan bukti bahwa seolah-olah Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah melaporkan pada Hasto terkait kesepakatan dengan Harun Masiku tentang dana operasional ke KPU, dan hal tersebut dipersilakan oleh Hasto. 

KPK juga disebut meneruskan cerita dengan menguraikan seolah-olah Hasto mempersilakan dan menyanggupi untuk menalangi dana operasional ke KPU, dan rangkaian cerita lainnya sebagaimana tertuang pada poin 6 di halaman 13-16.

Todung pun mengupas bahwa uraian cerita KPK di atas diduga sebagai upaya menyudutkan Hasto. Padahal KPK mestinya menyadari, cerita tersebut adalah konstruksi perkara yang dibangun oleh KPK pada tahap Penyelidikan dan Penyidikan awal perkara ini. 

Hal tersebut terlihat dari bukti-bukti yang digunakan sebagai dasar, yaitu BAP 8 orang saksi yang dilakukan pada 8 Januari 2020, dan bukti-bukti lain yang didapatkan pada sekitar Januari 2020 tersebut. 

Sementara itu, cerita dan konstruksi perkara versi KPK tersebut telah diuji di persidangan pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan hasilnya telah dituangkan pada Putusan dengan terdakwa Wahyu Setiawan, Agustiani Tio dan Saeful Bahri. 

Pada pokoknya, masih kata Todung, ternyata hasil pengujian tersebut menegaskan bahwa konstruksi perkara KPK terkait tuduhan terhadap Hasto Kristiyanto tersebut mentah dan tidak terbukti. Berdasarkan hasil eksaminasi sejumlah ahli hukum yang telah dilakukan justru pada putusan tersebut tidak pernah disebutkan Hasto sebagai pelaku yang bersama-sama dalam perkara ini.

“Menjadi pertanyaan, apa maksud KPK kembali menguraikan cerita lama yang sudah tidak terbukti di pengadilan dalam proses praperadilan ini? Bukti yang digunakan pun adalah bukti-bukti lama di bulan Januari 2020,” ujarnya.

“Seharusnya KPK mematuhi putusan pengadilan dan tidak bersikeras memaksakan cerita yang ternyata tidak didukung bukti yang kuat tersebut. Oleh karena itulah, Kami menyebut konstruksi perkara KPK tersebut sebagai cerita yang disusun berdasarkan imajinasi yang gagal Penyidik KPK,” demikian Todung.

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya