Tingkat pengangguran di Turki terus mengalami peningkatan hingga mencapai 8,6 persen pada September 2024, dengan sekitar 3,1 juta orang masih mencari pekerjaan.
Delapan belas bulan setelah Presiden Tayyip Erdogan tiba-tiba berubah haluan ke arah ortodoksi ekonomi, kenaikan suku bunga yang agresif dan berbagai langkah pengetatan lainnya untuk mengendalikan inflasi yang melonjak semakin merusak prospek para pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan.
Jumlah orang yang kehilangan harapan untuk mencari pekerjaan dan berhenti mencari pekerjaan secara aktif melonjak sekitar 30 persen sejak program ekonomi baru diluncurkan pada Juni 2023, menurut data lembaga statistik TUIK, dikutip dari
CGTN, Rabu 27 November 2024.
Produksi industri Turki juga turun selama empat bulan berturut-turut dan pertumbuhan PDB melambat menjadi 2,5 persen pada kuartal kedua. Prospek permintaan yang memburuk, bersama dengan biaya pinjaman yang tinggi, telah memicu PHK perusahaan, terutama di bidang manufaktur, seperti garmen dan tekstil.
Tingkat pengangguran di Turki mencapai 8,6 persen pada bulan September, dengan sekitar 3,1 juta orang mencari pekerjaan. Para ekonom mengatakan bahwa angka ini tidak mencerminkan gambaran sebenarnya di pasar tenaga kerja dan meramalkan prospek untuk tahun depan jauh lebih buruk.
Perubahan kebijakan Turki, dengan membuang kebijakan suku bunga rendah yang sebelumnya dipelopori Presiden Erdogan sebenarnya bertujuan meningkatkan ekspor, menurunkan inflasi, dan menyeimbangkan kembali ekonomi yang terlalu panas.
Namun, kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh krisis biaya hidup yang kronis membuat tujuan itu sulit dicapai.
Menteri Keuangan Turki Mehmet Simsek mengatakan pemerintah saat ini sedang mengambil langkah-langkah untuk membatasi dampak negatif sementara dari program ekonomi, dan bahwa meningkatnya kepercayaan dan kondisi global yang lebih baik akan mendukung lapangan kerja dan ekspor.
Sementara para analis mengatakan data pengangguran tradisional tidak menggambarkan skala masalah dan Aylin Ingenc Eker, seorang peneliti di Pusat Penelitian Kebijakan Sosial di Universitas Ekonomi dan Teknologi TOBB di Ankara, menghitung indeks tambahan untuk mendapatkan gambaran yang lebih benar.
Menurut perhitungannya, dengan mempertimbangkan kualitas pekerjaan dan dampak inflasi, indeks yang menganalisis kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat telah meningkat mendekati tingkat pandemi sejak dimulainya program ekonomi baru.
Para analis mengatakan Ankara menghadapi ujian besar atas komitmennya untuk mengekang inflasi pada akhir tahun 2024, saat negara itu diperkirakan akan kembali menaikkan upah minimum.
Kenaikan besar akan membantu pekerja mengatasi kerugian pendapatan riil, tetapi dapat memicu biaya tenaga kerja bagi bisnis yang sudah kesulitan, kata mereka.
Ekonom Can Fuat Gurlesel mengatakan kemungkinan kenaikan upah minimum sebesar 25-30 persen dapat menyebabkan perusahaan memberhentikan staf, tetapi kurang dari itu tidak akan cukup bagi karyawan.
Bank sentral Turki memperkirakan inflasi tahunan akhir tahun sebesar 44 persen.
"Kenaikan 25 persen masih bisa dikelola, tetapi 30 persen adalah batas maksimal, batas merah. Saya tidak yakin apakah semua perusahaan bisa mengatasinya tanpa melakukan PHK, terutama di sektor manufaktur," kata Gurlesel.
"Tidak ada sektor yang mampu menanggung kenaikan upah minimum lebih dari 30 persen dalam perekonomian ini," ujarnya.