ESTIMASI jumlah penduduk di Indonesia sebanyak 281,6 juta jiwa pada tahun 2024 (BPS, 2024). Kemudian estimasi jumlah penduduk di Provinsi Papua Barat sebanyak 0,58 juta jiwa pada tahun yang sama.
Di Provinsi Papua Barat Daya sebanyak 0,63 juta jiwa. Di Provinsi Papua sebanyak 1,06 juta jiwa. Di Provinsi Papua Selatan sebanyak 0,54 juta jiwa. Di Provinsi Papua Tengah sebanyak 1,47 juta jiwa. Terakhir di Provinsi Papua Pegunungan sebanyak 1,47 juta jiwa.
Berdasarkan informasi dari data estimasi jumlah penduduk di atas, maka jumlah penduduk di Pulau Papua sebanyak 5.748,4 juta jiwa tahun 2024, atau 2,04 persen dari populasi jumlah penduduk di Indonesia. Kemudian berdasarkan estimasi jumlah penduduk Provinsi Papua Barat sebanyak 1,13 juta jiwa dan Provinsi Papua sebanyak 4,3 juta jiwa tahun 2020, dengan jumlah keseluruhan sebanyak 5.437,8 juta jiwa tahun 2020.
Implikasi dari keberadaan data empiris tersebut, maka isu penduduk Pulau Papua dimusnahkan oleh Indonesia sama sekali tidak didukung oleh data empiris di lapangan dunia nyata. Utopia.
Yang terjadi bukanlah jumlah penduduk Pulau Papua yang punah atau dipunahkan, melainkan jumlah penduduk setelah pemekaran wilayah justru bertambah. Pertambahannya dari 5,44 juta jiwa tahun 2020 menjadi 5,75 juta jiwa tahun 2024, sekalipun tanpa membedakan atas orang asli Papua dibandingkan bukan orang asli Papua (pendatang).
Pengungkapan aspek perkembangan demografis tersebut penting sehubungan dengan pengembangan aspirasi Papua menolak transmigrasi, dengan menyatakan bahwa penduduk asli Papua mengalami pemunahan disebabkan oleh penduduk pendatang.
Istilah mereka adalah pemunahan creeping genosida dari penduduk transmigran kepada orang asli Papua. Akan tetapi data empiris sama sekali tidak membuktikan urusan kepunahan penduduk asli Papua, melainkan jumlah penduduk di Pulau Papua justru mengalami peningkatan. Berkembang dan tumbuh, namun bukan kepunahan atau dipunahkan.
Di samping itu dengan proporsi jumlah penduduk di Pulau Papua yang sebanyak 2,04 persen dipandang sebagai keberadaan kontribusi jumlah penduduk yang penting dari sudut pandang kepentingan nasional, sehingga berbagai usaha dalam membangun di Pulau Papua dipraktekkan tanpa kenal lelah, sekalipun kegiatan rasisme lokal terkesan secara sangat agresif ditumbuhkembangkan.
Nuansa rasisme tersebut antara lain dalam mempraktikkan klasifikasi orang asli Papua diperbandingkan dengan bukan orang asli Papua.
Demikian pula ketika membedakan klasifikasi menggunakan pendekatan nuansa rasisme lainnya pula, seperti etnis Melanesia dibandingkan bukan etnis Melanesia atas dasar perbedaan warna kulit, keriting rambut, dan keberagaman kemajuan peradaban budaya.
Etnis Melanesia ditafsirkan lebih dekat dengan penduduk Afrika, dibandingkan karakteristik bentuk fisik penduduk Indonesia (baca etnis Jawa dan Melayu) pada umumnya.
Sebenarnya dalam perkembangan peradaban umat manusia yang telah tumbuh selama berabad-abad, baik sebelum Masehi hingga periode Masehi abad ke 21, maka sungguh amat sulit untuk memperoleh ras yang asli. Ras yang murni.
Keaslian seperti suku bangsa Arya dalam sudut pandang kebanggaan Adolf Hitler, yang tercatat mengembangkan politik superioritas etnis dan ras di dunia untuk kepentingan pengembangan organisasi Nazi dan fasisme.
Persoalannya antara lain adalah ketika Presiden Prabowo Subianto melakukan perjalanan dinas kenegaraan berkunjung kepada Perdana Menteri Inggris dan Pangeran Charles sebagai raja Inggris, kemudian seorang warga Papua dan tiga orang wanita melakukan demonstrasi dengan meneriakkan aspirasi kata-kata Freedom West Papua, Freedom Aceh, Freedom Maluku, dan seterusnya.
Akan tetapi rekaman video dari Manuscript Papua tersebut tidak menjadi liputan media arus utama di Indonesia baru-baru ini. Aspirasi minta kemerdekaan dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maupun dalam merespons kunjungan kenegaraan tersebut masih kerap terjadi secara insidental selama bertahun-tahun.
Papua secara resmi melepaskan diri dari kendali pemerintahan Belanda dan kembali ke NKRI pada tanggal 1 Mei 1963. Penyerahan kedaulatan disaksikan oleh UNTEA, sebagai organisasi PBB. Sekalipun integrasi telah berlangsung selama 61 tahun, namun senantiasa ada saja aspirasi untuk mengharapkan kemerdekaan Papua dari NKRI.
Terlebih terkesan senantiasa berkembang pemberian harapan palsu (PHP) untuk merdeka dan kegiatan secara aktif untuk mencari negara-negara sponsor yang diyakini akan memberikan pengakuan secara de jure atau pun nantinya secara de facto atas potensi dalam mewujudkan kemerdekaan tanah Papua.
Contoh sederhana dari teriakan 4 orang di atas. Bukan hanya mempunyai aspirasi untuk memerdekakan Papua, melainkan menggunakan Aceh dan Maluku yang sudah sangat lama tidak pernah menggelorakan permintaan kemerdekaan (disintegrasi) dari NKRI. Benny Wenda antara lain tercatat menggelorakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari luar negeri dalam forum PBB.
Dalam sebuah podcast, 2 orang Papua bernama Brother John dan Marthen menyampaikan aspirasi untuk perencanaan kemerdekaan Papua dan mengevaluasi tentang mengapa tidak berhasil mempraktekkan disintegrasi dari NKRI. Jadi perjalanan sejarah integrasi Papua ke NKRI selama 61 tahun masih memberlanjutkan aspirasi bermaksud merdeka.
Merdeka dengan motif permintaan keadilan dalam eksploitasi sumberdaya alam, seperti bagi hasil pertambangan Freeport. Menganggap skema otonomi daerah dan otonomi khusus, maupun pemekaran wilayah provinsi di Papua yang menjadi 6 provinsi, serta pembangunan poleksosbud hankamrata di Pulau Papua dinilai secara tidak berkeseimbangan.
Sebaliknya, jumlah anggota OPM di daerah kabupaten-kabupaten konflik justru naik menjadi 8 hingga 9 kabupaten yang sering berkonflik, yang diidentifikasi naik menjadi lebih dari 1200 orang pegiat OPM.
Jadi pendekatan keamanan, maupun terutama pendekatan kesejahteraan juga sama sekali tidak membukakan hidayah pintu mata hati untuk menilai kinerja integrasi selama 61 tahun. Bukan sebagai realitas dunia nyata tentang permintaan membangun Papua menggunakan panggilan pendekatan pembangunan nasional dan pembangunan daerah.
Walaupun sudah beranak pinak dan berketurunan selama 61 tahun berlalu, tetap saja masih mempersoalkan persoalan penerimaan referendum Papua dan penyerahan UNTEA dari pendudukan pemerintahan Belanda ke NKRI.
Sering terucapkan aspirasi masih ingin mengulangi metodologi referendum, hendak seperti referendum Timor Leste. Menolak program transmigrasi. Terkesan menolak program swasembada pangan dan bioenergi secara lokal pada warga non pemerintahan daerah berdasarkan pernyataan dari para pemangku kepentingan.
Masih mempersoalkan klasifikasi orang asli Papua dan bukan orang asli Papua. Masih tidak percaya pada keterpilihan penduduk asli Papua dalam seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN), maupun dalam pemerintahan daerah tingkat provinsi, kabupaten/kota sebagai urusan keadilan dan pemerataan kesejahteraan, maupun perimbangan politik pribumi dibandingkan penduduk pendatang, sekalipun sama-sama WNI. Terkesan menolak kompetensi dan perimbangan.
Banyaknya dialog-dialog juga terkesan tidak kunjung sepenuhnya memperbaiki sikap kepada NKRI, baik dalam forum internasional di PBB, diaspora pro kemerdekaan, para pemangku kepentingan lokal, maupun terutama pada OPM di daerah kabupaten-kabupaten konflik. Kabupaten konflik yang ditengarai terdapat pengelolaan sumberdaya alam mineral pertambangan.
OPM terpublikasikan masih juga membunuhi petugas TNI Polri, penduduk bukan asli Papua, bahkan melebar kepada penduduk asli Papua. Sekali serangan membuat penduduk daerah korban mengungsi ke kota-kota terdekat selama berbulan-bulan, bahkan mengungsi lebih dari setahun dua tahun. Kabupaten-kabupaten yang dibangun oleh pemerintah pusat dan Pemda justru dihambat dengan teror-teror dan insiden pembunuhan.
Dengan tindakan gangguan keamanan dan teror yang seperti ini, simpati masyarakat kepada OPM secara umum justru terkesan semakin punah.
Pada kenyataannya, walaupun NKRI sudah merdeka, namun tantangan pembangunan nasional dan pembangunan daerah masih berkembang secara dinamis, sekalipun telah ada perbaikan keadilan dan kesejahteraan sosial. Misalkan, kemiskinan diturunkan dari 11 persen tahun 2014 menjadi 9,03 persen tahun 2024.
Ketimpangan turun dari 0,406 menjadi 0,379 pada periode waktu yang sama. Pengangguran turun dari 5,7 persen menjadi 4,82. Pembangunan jalan tol menjadi 2.050 kilometer tahun 2023. Jalan nasional terbangun sepanjang 5.823 kilometer. Jumlah bendungan irigasi bertambah dari 15 bendungan menjadi 27 bendungan.
Walaupun sebagai NKRI yang sudah merdeka, namun masih banyak pekerjaan yang mesti dikerjakan. Tidak mengherankan jika Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri senantiasa meneriakkan kata Merdeka, Merdeka, Merdeka.
Demikian pula dengan Ketua DPR RI Puan Maharani yang juga kerap kali meneriakkan kata Merdeka.
Oleh karena itu aspirasi Papua untuk merdeka tidak menghapuskan kebutuhan untuk mensejahterakan kepentingan umum, sekalipun pada kenyataannya Papua sudah merdeka dari Belanda tahun 1963 dan sama sekali bukan dijajah oleh Indonesia.
Sebaliknya OPM justru sibuk minta merdeka dan sibuk membunuh dan meneror penduduk di kabupaten-kabupaten konflik di Pulau Papua, yang menambah semakin jauh dari maksud dari pencapaian keadilan, kesejahteraan, dan seterusnya sebagai bangsa yang sudah merdeka sekalipun.
Bahkan sebagai negara-negara maju pun senantiasa masih harus berjuang sangat sibuk luar biasa untuk menaikkan kesejahteraan umum. Jadi, aspirasi kemerdekaan dari hutan-hutan oleh OPM kiranya bukanlah solusi untuk membangun kesejahteraan sosial dan bukanlah sebagai aspirasi dari 5,75 juta jiwa penduduk di Pulau Papua.
Penulis tergabung sebagai Associate Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana