SEORANG ekonom bernama N. Gregory Mankiw yang menulis buku Ilmu Ekonomi Makro menjelaskan tentang barang produk antara dan nilai tambah. Barang produk antara adalah bahan baku yang diproses sebagai barang produk antara oleh suatu Perusahaan dan dijual kepada perusahaan lainnya untuk diproses menjadi barang produk akhir.
Misalkan peternakan sapi potong menjual seperempat pound daging ke Mc Donald seharga 0,5 Dolar AS. Kemudian Mc Donald menjual hamburger ke konsumen seharga 1,5 Dolar AS. Dalam hal ini secara sederhana Produk Domestik Bruto (PDB) adalah nilai dari barang produk akhir, yaitu sebesar 1,5 Dolar AS.
Selanjutnya nilai tambah adalah sebuah perusahaan adalah sama dengan
output perusahaan dikurangi dengan nilai produk barang antara dari perusahaan yang membelinya.
Jadi, pada kasus hamburger, nilai tambah dari perusahaan peternakan sapi potong adalah sebesar 0,5 Dolar AS. Nilai tambah dari Mc Donald adalah sebesar 1,5 Dolar AS dikurangi 0,5 Dolar AS, yaitu sebesar 1 Dolar AS. Jadi jumlah nilai tambah total adalah sebesar 0,5 Dolar AS ditambah 1,5 Dolar AS, yakni sebesar 1,5 Dolar AS.
Dalam hal ini jumlah nilai tambah musti sama dengan nilai akhir dari produk barang dan jasa, sehingga PDB sama dengan jumlah nilai tambah semua perusahaan dalam perekonomian.
Persoalannya kemudian Said Didu dari kelompok Petisi 100 menganalisis nilai tambah pada proyek strategis nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) sama sekali berbeda dengan tatacara N. Gregory Mankiw.
Mankiw menghitung daging dijual seharga 0,5 Dolar AS dari peternak sapi potong kepada Mc Donald. Kemudian Mc Donald menambahkan nutrisi kepada daging tadi dan diproses untuk menjadi hamburger, sehingga Mc Donald menjual hamburger kepada konsumen akhir dengan harga 1,5 Dolar AS.
Jadi, Mc Donald bukan menjual daging sapi mentah kepada konsumen akhir dan menjualnya dengan harga 1,5 Dolar AS, melainkan sudah melakukan proses pengolahan dan menambahkan berbagai nutrisi, sehingga daging mentah dari peternak telah diproses menjadi hamburger, barulah terjadi produk akhir yang sama sekali telah berubah dibandingkan produk barang antara berupa daging mentah.
Di situlah terjadi konsep nilai tambah atas manfaat jasa dari Mc Donald memproses daging sapi mentah untuk diubah menjadi hamburger.
Said Didu menyampaikan informasi bahwa harga tanah di PIK 2 semula beragam-ragam tergantung posisi tanah di PIK 2. Implikasinya nilai jual objek pajak tanah (NJOP) pun beragam. Harga NJOP tanah bisa Rp250 ribu per meter persegi, maupun ada yang Rp 50 ribu per meter persegi.
Persoalannya kemudian dilakukan penjualan harga rata-rata NJOP menjadi Rp 50 ribu per meter persegi. Penataan harga rata-rata ini kemudian ditafsirkan sebagai kegiatan eksploitasi NJOP harga jual tanah. Diyakini sebagai kegiatan pemiskinan. Mereka yang tidak sepakat diframing diintimidasi, sehingga setuju menjual harga tanah dengan NJOP seharga harga rata-rata Rp50 ribu per meter persegi.
Persoalannya kemudian, tanah yang menjadi produk bahan baku, yang seyogyanya dilakukan proses pengolahan dan seterusnya, sehingga dikatakan harga tanah kemudian dapat dijual seharga Rp10 juta per meter persegi hingga Rp30 juta per meter persegi. Di sinilah pangkal persoalan tentang aplikasi konsep nilai tambah dan perhitungan PDB, karena diframming bahwa harga NJOP Rp250 ribu per meter persegi diturunkan menjadi maksimal Rp50 ribu per meter persegi.
Kemudian diframming bahwa harga NJOP tanah sebesar Rp50 ribu per meter persegi dengan dikesankan tanpa proses pengolahan tanah, kemudian secara mendadak seketika dapat dijual oleh perusahaan pengembang oligarki konglomerasi seharga Rp10 juta hingga Rp30 juta ke pasar obligasi internasional.
Akibatnya dikesankan pengembang mendapat keuntungan usaha sebesar Rp20 ribu triliun. Terkesankan sebagai keuntungan yang bombastis tanpa proses pengolahan tanah apa pun, untuk menjadi produk kegunaan yang lainnya atas pengembangan usaha dari proyek-proyek properti.
Informasi yang dihilangkan adalah tentang konsep nilai waktu dari uang. Kemudian informasi yang hilang adalah pemahaman yang sama sekali berbeda tentang perubahan produk dari bahan baku menjadi barang produk antara, maupun terutama ketika menjadi barang produk akhir.
Terjadi loncatan analisis luar biasa mengenai aplikasi nilai tambah dan PDB, sehingga proyek strategis nasional PIK 2 dikesankan sebagai kegiatan penjajahan modern. Kegiatan kolonisasi. Kegiatan pengusiran penduduk asli. Kegiatan pemiskinan. Kegiatan yang pro oligarki konglomerasi.
Terbangkitkanlah penyebutan nama-nama pahlawan, seperti Sultan Ageng Tirtayasa, dan lain-lain pada periode kolonisasi perusahaan dagang swasta Hindia Belanda bernama VOC.
Advokasi yang seperti itu terkesan telah menimbulkan kemarahan bagaikan api dalam sekam pada penduduk lokal PIK 2, karena harga tanah dijual dengan NJOP Rp50 ribu per meter persegi, namun seolah seketika berhasil dijual menjadi Rp10 juta hingga Rp30 juta per meter persegi tanpa proses pengolahan tanah menjadi produk akhir yang lain begitu saja, dimana pengembang dihitung meraih keuntungan Rp 20ribu triliun dibandingkan harga tanah semula Rp50 ribu per meter persegi pada penduduk lokal.
Implikasinya adalah informasi yang seperti itu kemudian ditambahkan informasi insiden kecelakaan pada truk pengangkut tanah, maka dengan sangat mudah menimbulkan kemarahan luar biasa.
Truk-truk tanah kemudian ada yang dibakar oleh massa. Truk-truk tanah dimutilasi secara masif. Juga terjadi pelemparan batu bagaikan perjuangan intifada di Gaza, terhadap petugas keamanan setempat.
Jadi, persoalan yang berawal dari aplikasi yang menyimpang dari perhitungan konsep nilai tambah, PDB, dan nilai waktu dari uang, ternyata menimbulkan gejolak sosial kerusuhan pada sebagian masyarakat pada kasus pembangunan PSN PIK 2.
Bukan hanya itu, terkesan juga terjadi pada kasus PSN Rempang, PSN lumbung pangan dan lumbung bioenergi di Papua bagian Selatan. Hilanglah posisi kepemilikan tanah atau penguasaan tanah dari penduduk lokal dalam desain pembangunan wilayah.
Bahkan, terkesan berkembanglah urusan transmigrasi, urgensi dan peran otonomi khusus (otsus), maupun pembangunan swasembada pangan dan bioenergi di Papua bagian Selatan telah diframing menjadi persoalan persatuan dan kesatuan NKRI.
Menjadi urusan permintaan kemerdekaan, urusan penduduk asli dan pendatang, urusan distribusi warga pribumi asli dibandingkan pendatang pada pemerintahan daerah maupun pemanfaatan penikmat proyek-proyek pemerintah terkait dengan otsus.
Menjadi urusan manfaat eksploitasi sumber daya alam, urusan konflik tanah dengan pemangku kepentingan hak ulayat dan adat setempat. Menjadi urusan distribusi alokasi bagi hasil pembangunan, transfer pemerintah pusat dibandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan otsus.
Maupun framing naturalisasi penduduk asli Papua menggunakan pendatang. Juga isu horror framing pengusiran dan pemunahan penduduk lokal, dan seterusnya yang membangkitkan instabilitas keamanan dan politik lokal.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari provinsi Papua, maupun provinsi lainnya yang ada di Papua telah terkesan menolak program transmigrasi dalam sidang paripurna DPD.
Jadi, urusan-urusan yang bermula dari penyalahgunaan aplikasi ilmu Makroekonomi, kemudian dikaitkan dengan PSN, maka menimbulkan persoalan ekonomi politik di daerah seperti pada kasus PIK2, Rempang, dan Papua bagian Selatan.
Penulis tergabung sebagai Associate Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dan Pengajar Universitas Mercu Buana