Dalam Indeks Aturan Hukum World Justice Project (WJP) 2024, Pakistan dicatat di peringkat ke-140 dari 142 negara. Ini membuat Pakistan menjadi negara terburuk ketiga dalam hal hukum dan ketertiban secara global.
Peringkat ini menyoroti tantangan kritis dalam sistem peradilan negara, praktik hak asasi manusia, dan kerangka akuntabilitas.
Indeks Aturan Hukum menilai negara-negara berdasarkan beberapa dimensi seperti kendala pada kekuasaan pemerintah, tidak adanya korupsi, hak-hak fundamental, ketertiban dan keamanan, penegakan peraturan, keadilan sipil, dan peradilan pidana.
Al Arabiya Post melaporkan, kinerja Pakistan di seluruh bidang ini menawarkan pandangan mendalam tentang masalah sistemik yang merusak hukum dan ketertiban di negara tersebut.
World Justice Project mengevaluasi 142 negara menggunakan delapan faktor inti untuk menentukan peringkat kepatuhan mereka terhadap aturan hukum. Pertama, mengukur sejauh mana mereka yang berkuasa dimintai pertanggungjawaban di bawah hukum. Kedua, mengevaluasi kurangnya praktik korupsi di berbagai sektor seperti peradilan, kepolisian, cabang eksekutif, dan sebagainya.
Ketiga, mengukur transparansi operasi pemerintah dan aksesibilitas informasi publik. Keempat, mempertimbangkan tingkat perlindungan hak asasi manusia yang fundamental.
Lalu kelima mengukur sejauh mana orang merasakan keamanan dari kejahatan dan kekerasan politik. Keenam, mengevaluasi keadilan dan efektivitas peraturan. Ketujuh dan kedelapan, menilai aksesibilitas dan keadilan sistem peradilan perdata, serta mempertimbangkan keadilan, independensi, dan efektivitas sistem peradilan pidana.
“Peringkat Pakistan yang ke-140 menunjukkan kurangnya hukum dan ketertiban, korupsi yang meluas, sistem peradilan yang tidak efisien, dan hak asasi yang dikompromikan,” tulis Al Arabiya Post.
Juga disebutkan dalam artikel yang ditulis Nadia Abdel dan diterbitkan pada 1 November 2024 bahwa di Pakistan, kekuasaan sering kali terpusat, dengan pengawasan atau akuntabilitas yang terbatas. Sementara lembaga seperti peradilan dan parlemen secara teoritis berfungsi sebagai pengawas dan penyeimbang, campur tangan politik marak, sehingga membuat mereka kurang efektif.
Pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan peradilan sering kali kabur, yang mengarah pada peradilan selektif berdasarkan pengaruh politik.
Contoh-contoh tindakan eksekutif yang melampaui batas dan penggunaan aparatur negara untuk menargetkan lawan politik sering terjadi di Pakistan.
Kasus-kasus yang mendapat perhatian besar, seperti pencopotan perdana menteri atau penganiayaan terhadap pemimpin oposisi, menunjukkan kurangnya independensi dalam peradilan.
Realitas ini menghasilkan sistem peradilan yang berat sebelah dan bermuatan politis.
Sementara itu, praktik korupsi yang meluas di lembaga-lembaga publik. Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Transparency International juga memberi peringkat buruk bagi Pakistan dalam hal pengendalian korupsi. Baik di kepolisian, kehakiman, maupun administrasi sipil, korupsi masih merajalela, menciptakan rintangan bagi warga biasa yang mencari perlakuan yang adil.
Korupsi peradilan di Pakistan sering kali menyebabkan hasil yang tidak adil bagi mereka yang tidak memiliki sarana keuangan atau koneksi untuk memengaruhi proses pengadilan. Korupsi kepolisian, termasuk penyuapan dan penyalahgunaan kekuasaan, juga memicu sistem penegakan hukum secara selektif, yang memperburuk ketidakpercayaan antara warga dan penegak hukum.
Nadia juga mencatat kurangnya transparansi dalam operasi pemerintah merupakan masalah yang sudah berlangsung lama di Pakistan. Aksesibilitas informasi terbatas, dan warga sering kali menghadapi tantangan dalam memperoleh layanan dasar.
Undang-Undang Hak atas Informasi masih kurang dilaksanakan, dan upaya pemerintah untuk mengendalikan narasi melalui pelaporan media selektif dan penyensoran hanya memperdalam kekhawatiran tentang akuntabilitas.
Nadia Abdel mengatakan, tanpa reformasi yang komprehensif dan komitmen sejati dari para pemimpin politik, aturan hukum di Pakistan kemungkinan akan tetap lemah, dengan konsekuensi yang parah bagi warga negaranya, ekonomi, dan hubungan internasional.
Mengatasi masalah ini membutuhkan lebih dari sekadar retorika; hal itu menuntut upaya bersama, transparan, dan inklusif untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan lebih setara.