SEKALIPUN Presiden Partai Buruh terkesan bahagia atas putusan uji materi UU Cipta Kerja 6/2023, namun sesungguhnya putusan MK tidak menjawab harapan aspirasi buruh yang sesungguhnya dan bersifat mendasar, selain sebatas sedikit perubahan redaksional. Putusan lainnya justru menolak permohonan petitum dari para pemohon.
Bahkan orasi buruh yang menghendaki tuntutan maksimum UU Cipta Kerja 6/2023 dibatalkan, justru tidak terwujudkan. Ini terjadi, walaupun orator buruh juga berharap, agar ketenagakerjaan saja dalam UU Cipta Kerja 6/2023 yang dibatalkan.
Juga terkesan buruh mempunyai aspirasi, agar pemerintah dan DPR selanjutnya kembali menyusun UU Ketenagakerjaan yang baru sama sekali dan terpisah dari UU Cipta Kerja 6/2023, namun dengan lebih mendengarkan aspirasi dari para buruh. Akan tetapi tidak ada putusan amar tertulis yang mengamanatkan penyusunan UU Ketenagakerjaan yang baru.
Sebenarnya ketika serikat buruh bermaksud membatalkan UU Cipta Kerja 6/2023, sekalipun hanya difokuskan untuk membatalkan ketenagakerjaan, hal ini justru sebenarnya semakin merugikan kepentingan buruh. Penyebabnya adalah pembatalan ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja 6/2023 justru akan menghapus semua perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kepada kaum buruh.
Misalnya terhapusnya UU 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Juga terhapusnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam UU 40/2004. Terhapusnya BPJS dalam UU 24/2011, juga hapusnya BPJS Ketenagakerjaan. Terhapusnya perlindungan pekerja migran Indonesia dalam UU 18/2017.
Semula Mahkamah Konstitusi (MK) terkesan diharapkan memberikan putusan yang berbeda setelah pemerintahan Joko Widodo berakhir dan terjadi perubahan Ketua MK dari Anwar Usman menjadi Suhartoyo dengan perubahan anggota hakim MK yang baru.
Akan tetapi ternyata MK adalah tetap MK, yang mengambil putusan setelah mendengarkan petitum para pemohon. MK mengujinya melalui dialog dan pengujian bukti-bukti selama persidangan.
Sungguh terkesan sama sekali tidak ada perbedaan antara putusan MK periode pemerintahan Joko Widodo dibandingkan pemerintahan Prabowo Subianto. Juga terkesan tidak ada hubungannya mengenai orientasi keberlanjutan pemerintahan ditinjau dalam praktek mekanisme persidangan MK.
Jadi, semula putusan MKMK untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat kepada MK dengan memberikan sanksi kepada Anwar Usman dan membuat pergantian Ketua MK kepada hakim MK Suhartoyo, maupun ketika terjadi perubahan komposisi hakim MK dengan masuknya hakim MK yang baru sekalipun. Akan tetapi hal ini tetap menghasilkan putusan-putusan dengan konsistensi kualitas persidangan yang bersifat standar prosedural.
Hal itu, antara lain telah membantah kritikan tentang Gibran Rakabuming Raka ditolong oleh paman Anwar Usman. Namun kritikan tersebut dengan adanya amar putusan ketiga buah putusan tentang uji materi UU Cipta Kerja 6/2023 tentang ketenagakerjaan juga terkesan bahwa fakta persidangannya sesungguhnya tidaklah sepenuh hati terdesain sejak awal soal kritik terhadap Anwar Usman sebagai paman dari Gibran Rakabuming Raka, yang seperti itu.
Kembali ke urusan uji materi UU Cipta Kerja 6/2023 untuk Putusan nomor 40/PUU-XXI/2023 dengan amar putusan menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima.
Juga menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian pula Putusan nomor 61/PUU-XXI/2023 dengan amar putusan mengadili yang menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.
Meskipun demikian, Putusan nomor 168/PUU-XXI/2023 dengan amar putusan mengadili mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Kedua, frasa Pemerintah Pusat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri tenaga kerja.
Ketiga, tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ….. dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
Keempat, jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja, dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai … dibuat tidak melebihi paling lama 5 tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan.
Kelima, perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf latin, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai … harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia dan huruf latin.
Keenam, pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai … Menteri …sesuai jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.
Ketujuh, istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai … atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu.
Putusan MK masih banyak lagi, hingga putusan ke 25, yaitu menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya.
Singkat kata, bukan hanya tidak ada amar putusan yang membatalkan semua ketentuan ketenagakerjaan sebagaimana bunyi orasi-orasi buruh di atas mobil komando. Juga tidak ada amar putusan mengenai perhitungan pengupahan secara terperinci sebagaimana senantiasa terjadi perselisihan dan demonstrasi setiap menjelang akhir tahun tentang permintaan naik upah. Hal ini seperti aspirasi naik upah 8 persen hingga 10 persen, misalnya untuk kenaikan pengupahan tahun 2025.
Artinya, ke masa depan sekalipun senantiasa akan ada demonstrasi dan ketidakcocokan pengupahan. Artinya, amar MK mengenai aspirasi pengupahan masih akan menjadi perjalanan panjang dinamika antara aspirasi serikat buruh, pengusaha, dan pemerintah yang akan senantiasa berulang-ulang. Persoalan perburuhan masih akan panjang.
Di samping itu, MK tidak menyatakan secara tertulis tentang pemerintah musti menyusun UU Ketenagakerjaan yang baru dalam ambang batas waktu tertentu. Amar putusan MK tidak menuliskannya secara tertulis, namun wacana membicarakan adanya kebutuhan penyusunan UU Ketenagakerjaan yang baru.
Di sinilah terjadi perbedaan pendapat mengenai tindak lanjut tentang UU Ketenagakerjaan. Dengan adanya putusan nomor 168/PUU-XXI/2023, maka putusan MK yang seperti ini yang diberlakukan.
Implikasi dari perubahan redaksional dari putusan MK tersebut, terkesan sungguh tidak ada perubahan desain UU Ketenagakerjaan yang bersifat frontal dan fundamental, serta signifikan, selain terbatas pada aksesoris redaksional saja.
Redaksional yang berfungsi sebagai pemerinci, bersifat lebih menjelaskan sebagaimana mekanisme diskusi dalam menyusun UU berupa perdebatan antara pemerintah bersama DPR, namun terkesan tidak ada sesuatu yang baru untuk mengubah posisi kesejahteraan buruh secara mendasar. Buruh terkesan adalah tetap sebagai buruh dengan modifikasi aksesoris.
Penulis tergabung dalam Asosiasi Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pengajar Universitas Mercu Buana