ADA yang menarik dari rencana Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, untuk merombak ekosistem perguruan tinggi di Indonesia.
Dengan semangat ilmuwan yang haus inovasi, Stella ingin para dosen di Indonesia tak hanya sekadar mengajar. Ia punya ide ambisius: menciptakan dosen serba bisa yang sekaligus menjadi ‘peneliti super’ dan ‘pencipta inovasi’!
Namun, apakah ini sinyal perubahan serius, atau hanya sekadar angin segar yang dilontarkannya dari podium seminar? Stella sendiri punya pengalaman menarik saat kuliah. Semula ingin menjadi ekonom, ia lalu berpindah ke area psikologi yang mendorongnya meneliti cara kerja pikiran manusia, hewan, dan kini kecerdasan buatan (AI).
Dari pengalamannya mengajar di Amerika Serikat, Stella merasa para dosen harus menghabiskan sekitar 60 hingga 70 persen waktu mereka untuk meneliti. Bayangkan, para dosen di sana hampir seperti detektif ilmu, mengurai misteri-misteri akademik yang tidak kunjung selesai!
Di Amerika, Stella menyaksikan inovasi muncul karena dosennya sibuk meneliti, bukan sekadar mengejar angka kredit publikasi, melainkan mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan mendasar.
Nah, jika rencana ini diterapkan di Indonesia, akankah para dosen kita lebih banyak berkutat dengan hipotesis-hipotesis brilian ketimbang berada di depan kelas? Bisakah para dosen kita benar-benar menjadi ilmuwan pencari jawaban?
Meneliti sendiri merupakan kegiatan yang cukup misterius bagi sebagian besar orang. Bukan sekadar menulis laporan atau menggali data di Google atau aplikasi-aplikasi AI, meneliti berarti menggali ide, bereksperimen, gagal, mengulang, dan akhirnya mungkin menemukan sekelumit jawaban. Ini lebih seperti ‘perjalanan batin akademik’ yang jarang terlihat di ruang kelas.
Namun, di tengah ambisi perubahan besar ini, muncul pula pertanyaan kritis: bagaimana nasib mahasiswa jika dosennya sibuk meneliti? Apakah mereka akan ikut dilibatkan dalam riset? Siapkah mereka? Alangkah indahnya jika calon-calon mahasiswa, sejak duduk di bangku sekolah menengah, telah disiapkan dengan pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) atau bahkan STREAM, yang menambahkan aspek Religion (R) dan Art (A).
Dalam rencana Stella, tentu ada harapan bahwa mahasiswa juga bisa terkena “percikan api” riset ini dan belajar langsung dari inovasi. Namun, mari kita hadapi kenyataan: selain soal kesiapan mahasiswa, apakah birokrasi kampus kita siap mendukung transformasi besar ini? Alih-alih terlibat penelitian, banyak mahasiswa malah lebih akrab dengan skripsi yang hanya sekadar ada—bukan inovasi. Kebanyakan malas mikir.
Jika kita berbicara tentang “ekosistem” seperti yang diimpikan Stella, artinya sistem yang mendukung baik dosen maupun mahasiswa dalam menjalani proses ilmiah tanpa halangan birokrasi yang berlebihan.
Ini berarti, tidak ada lagi waktu tersita karena urusan administrasi atau dokumen-dokumen yang “tak berhubungan langsung dengan ilmu,” kondisi yang sering dikeluhkan para dosen kita.
Stella juga mengkritik beban birokrasi di perguruan tinggi Indonesia yang, alih-alih memotivasi inovasi, justru membuat dosen sibuk dengan tugas administratif. Jadi, reformasi ini harus dimulai dari membersihkan “ruang kerja dosen” dari tugas non-akademik yang tak perlu.
Jangan sampai para dosen malah seperti pegawai administrasi dengan jadwal penuh urusan non-akademik, tapi tetap dituntut berinovasi.
Jika ekosistem akademik ideal ala Stella ini benar-benar terwujud, beberapa dampak positif mungkin bisa dirasakan oleh Indonesia.
Pertama, mungkin kita akan memiliki peneliti yang lebih tajam dan produktif. Temuan-temuan baru dalam bidang sains, teknologi, dan ilmu sosial bisa menjadi kebanggaan nasional yang bukan sekadar catatan jurnal ilmiah, tapi juga solusi praktis untuk masalah-masalah di masyarakat.
Bayangkan, dosen yang pulang membawa temuan tentang energi terbarukan yang akhirnya bisa menurunkan harga listrik, atau teknologi pangan yang bisa membuat harga sembako turun—itu baru inovasi yang nyata!
Berkat temuan baru Stella dan kawan-kawan, mungkin nanti tongkat dan batu yang didendangkan Koes Plus betul-betul jadi tanaman di tanah subur Indonesia Raya.
Kedua, dampak positif ide Stella, adalah mahasiswa akan memiliki pengalaman belajar yang lebih mendalam karena mereka diajak terlibat dalam penelitian dosen mereka.
Kata orang, belajar terbaik diperoleh dari pengalaman. Bukan tidak mungkin, dengan pola ini, muncul inovator-inovator muda dari kalangan mahasiswa yang siap mengembangkan gagasan segar yang belum terbayangkan sebelumnya.
Namun, harus kita akui, konsep ini masih mengundang pertanyaan besar. Apakah setiap dosen di Indonesia sudah memiliki “bakat” untuk menjadi peneliti hebat? Tidak semua dosen menikmati proses penelitian yang berlarut-larut.
Ada banyak dari mereka yang sesungguhnya lebih suka mengajar, menularkan ilmu langsung kepada mahasiswa di kelas. Jika dipaksa meneliti, apakah ini akan menjadi beban tambahan atau malah kesempatan baru?
Maka, konsep ekosistem akademik ideal ala Stella ini membutuhkan persiapan matang, baik dari segi dana, fasilitas riset, maupun perubahan budaya akademik yang mendukung inovasi tanpa dibebani birokrasi yang berlebihan. Tanpa persiapan matang, ekosistem ini berisiko menjadi sekadar angan-angan akademik penuh jargon, tanpa dampak nyata bagi masyarakat.
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an