ADA pepatah lama, "Belum sebulan madu, sudah bikin gaduh." Nah, tampaknya pepatah ini cocok buat kisah politikus Yandri Susanto yang baru sehari dilantik sebagai Menteri Desa dan Daerah Tertinggal tapi langsung bikin geger jagat maya.
Bukannya fokus kerja untuk rakyat, Yandri malah sibuk undang perangkat desa dan siapa pun untuk... acara haul ibunya? Pakai kop surat resmi kementerian pula! Ya, jika mau, Anda pun bisa mengingatnya sebagai Menteri Kop Surat.
Pangkal gegeran: baru sehari jadi menteri, itu tadi, Yandri mengirim undangan resmi dengan kop kementerian, mengundang siapa pun yang ia suka untuk menghadiri acara haul sang ibunda di Serang. Haul, maksudnya, acara doa tahunan wafatnya seseorang.
Wajar dong, kan anak yang berbakti. Pikir Andri, sudah seharusnya saya sebagai anak mendoakan ibu yang telah membesarkan saya menjadi orang sukses hingga jadi menteri. Betul, banyak orang berhasil karena birrul walidain.
Tapi tunggu dulu! Ini bukan soal acara haul, yang memang bagus dirutinkan, melainkan soal kop surat kementerian yang dipakainya. Ibarat undangan nikahan yang dicetak di buku paspor --gak salah, tapi kan aneh? Bahkan sang bunda, jika masih hidup, tentu tak sudi si anak menyalah-gunakan jabatan demi berbakti pada dirinya.
Di acara yang konon juga bersamaan dengan peringatan Hari Santri itu, di Pondok Pesantren Bai Mahdi Sholeh Ma'mun, Serang, Banten, hadir berbagai tokoh, termasuk kepala desa, ketua RT, dan para tokoh masyarakat, bahkan, menurut laporan, tak sedikit politisi dan rektor perguruan tinggi. Sontak, masyarakat bertanya-tanya, bagaimana mungkin acara haul berubah menjadi panggung penuh politisi?
Mahfud MD, melalui akun Twitternya, langsung angkat bicara. Dengan elegan beliau menegur, "Acara keluarga seperti ini sangat keliru." Lugas tapi cukup halus untuk ukuran teguran. Mahfud mengingatkan bahwa acara haul keluarga tidak boleh disamakan dengan acara negara. Logikanya sederhana: yang punya hajatan siapa, yang diundang siapa, pakai fasilitas negara kenapa?
Netizen langsung meradang, seperti semut yang tersiram air gula panas. Ada yang bercanda mau melaporkan Yandri ke KPK atas dugaan korupsi. Korupsi kop surat? Korupsi jabatan? Tentu, ini bukan soal nominal duit yang dipakai, tapi simbolisme kekuasaan yang disalahgunakan. Lagi pula, bukankah korupsi kecil dimulai dari korupsi kecil-kecilan? Hari ini kop surat, besok entah apa lagi yang bisa dipakai untuk kepentingan pribadi.
Mus Gaber, Ketua Padepokan Hukum Indonesia (Padhi), bahkan langsung mengeluarkan seruan "pecat aja!" Katanya, tindakan Yandri ini adalah "penamparan wajah pemerintahan Prabowo." Tapi, jangan-jangan sang Presiden tak merasa ditampar. Well, kalau ini sebuah tamparan, mungkin Yandri mesti belajar tamparan yang lebih lembut, biar gak bikin heboh.
Namun di sisi lain, kita mesti memberikan Yandri sedikit simpati (sedikit ya, jangan kebanyakan!). Mungkin dia sekadar terlalu semangat jadi menteri baru, pengin bikin gebrakan. Atau tadi, demi birrul walidain. Tapi alih-alih bikin gebrakan dengan kebijakan inovatif, yang digebrak malah kop surat kementerian buat acara haul. Ibarat pemain bola baru, begitu masuk lapangan, yang ditendang malah bola sendiri.
Meskipun Yandri dengan tegas membantah tuduhan bahwa ada unsur politis dalam acara tersebut, publik tetap sulit membedakan mana bagian dari syukuran pribadi dan mana panggung bagi karir politik. Apalagi istrinya, Ratu Rachmatuzakiyah, maju jadi cabup di Pilkada Serang.
Syukurlah, Yandri pun akhirnya menyadari tindakannya salah, dan berjanji tidak akan mengulanginua. "Terima kasih ke Pak Mahfud yang mengkritik itu. Insya Allah tidak akan kita ulangi lagi," katanya dengan nada penuh penyesalan. Tapi bisakah ucapan politisi dipercaya.
Kita tentu tak bisa menutup mata bahwa fenomena "barisan menteri ceroboh" ini bukan hal baru di Indonesia. Mungkin mereka tidak sepenuhnya mau memahami bahwa kekuasaan publik itu punya batas. Atau pura-pura bodoh? Sehingga tak heran, netizen perlu terus mengingatkan kembali tentang pentingnya akuntabilitas pejabat publik.
Tindakan Yandri, si menteri baru sehari, yang ceroboh, membuat kita bertanya-tanya: berapa banyak lagi "kesalahan kecil" yang akan terjadi kalau hal sesederhana ini saja dia anggap remeh? Batas antara urusan pribadi dan tugas negara itu seperti benang tipis, sekali dilewati, bisa bikin karir politik jadi tambal-sulam.
Jadi, pelajaran pentingnya: jangan bosan kita mengingatkan, jabatan publik adalah soal melayani rakyat, bukan melayani urusan pribadi. Atau, seperti Mahfud bilang, "Ke depan harus hati-hati." Tepat sekali, Pak Mahfud, karena kalau enggak hati-hati, besok-besok yang dipakai mungkin bukan cuma kop surat kementerian, tapi juga anggaran yang lebih besar.
Dan untuk para menteri lainnya yang baru dilantik, mari kita berharap, jangan sampai kop surat jadi tamparan politik lagi. Rakyat bosan, tahu!
[***]*Penulis adalah pemerhati kebangsaan, pengasuh Pesantren Tadabbur al-Qur'an Bogor.*