KEMARAHAN yang timbul dimulai dari kondisi kekalutan dan pesimisme, serta prejudisme terhadap kinerja perekonomian sangat tidak terasa adil, jika dibebankan pada seorang Joko Widodo sebagai seorang personal, sekalipun sebagai kepala negeri dan kepala pemerintahan itu Joko Widodo berada pada posisi sebagai pemimpin nasional.
Hal itu, karena pembangunan nasional yang berhasil, termasuk jika terdapat kegagalan atau terdapat kekurangan sesungguhnya merupakan hasil kinerja akumulasi interaksi semua pemimpin nasional bersama rakyat semesta, termasuk melibatkan kolega negara-negara sahabat.
Tidak mudahnya untuk mengulangi pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi di masa yang lalu sebesar 11 persen per tahun, 7 persen, atau 8 persen pertahun bukan berarti sebagai suatu cita-cita serba mempraktikkan kebohongan untuk memenangkan kontestasi Pilpres di masa lalu.
Demikian pula pencapaian target inflasi 2 hingga 3 persen, juga bukanlah atas isu sebagai akibat dari kongkalikong antara oknum pejabat dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengarang-ngarang pencapaian; guna mengakali angka laju inflasi rendah sesuai sasaran inflasi.
Nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS juga bukanlah sepenuhnya hasil intervensi pemerintah bersama Bank Indonesia, melainkan memang merupakan interaksi mata uang rupiah dengan negara-negara sahabat.
Suku bunga surat utang negara sebagai yield yang sangat tinggi obligasi 10 tahun adalah suatu kenyataan sebagai risiko atas besarnya pembayaran utang jatuh tempo setahun atau kurang, maupun terutama didorong oleh besarnya pembayaran utang jatuh tempo untuk masa pembayaran lebih dari setahun yang semakin membesar dan tidak tercermin terlihat nyata berupa nilai waktu dari uang pada nota keuangan dan APBN secara lebih transparan.
Harga minyak mentah Indonesia dalam posisi sebagai importir netto adalah sebagai penerima harga internasional. Demikian pula dengan lifting minyak dan gas, yang masih senantiasa gagal untuk ditingkatkan eksploitasinya menggunakan kinerja eksploitasi migas.
Persoalan-persoalan pencapaian kinerja perekonomian di atas tidak dapat dipersepsikan sebagai kinerja tunggal untuk tuduhan suatu rangkaian kejahatan kebohongan, yang diframing telah dipraktikkan oleh Joko Widodo. Hal itu, melainkan merupakan representasi dari sejarah panjang kinerja perekonomian di Indonesia pemerintahan, BUMN, perusahaan swasta, dan masyarakat madaniah.
Demikian pula dengan pencapaian rasio pajak, yang menurun. Persoalan di atas mendorong bagaikan candu untuk memperbesar defisit APBN dan mempunyai konsekuensi persoalan timbunan utang jatuh tempo yang semakin terasa membebani ekspansi perekonomian.
Akan tetapi masalah tersebut bukan untuk maksud dihujat-hujat dan dijadikan sebagai gagasan untuk memenjarakan seorang Joko Widodo dan keluarga, melainkan sebagai masalah dampak manajemen keuangan pemerintahan yang memerlukan solusi secara lebih mendasar.
Implikasinya adalah diperlukan kerja yang menantang dan penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru untuk memecahkan masalah keuangan negara dan pemerintahan secara lebih jitu dalam memperbaiki urusan pembiayaan APBN.
Juga bukan untuk dijadikan sebagai momentum untuk saling berpecah belah, intrik, menambah-nambah persoalan kebencian, atau sebagai ikhtiar untuk mendapat posisi dalam pemerintahan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih.
Kebijakan suku bunga yang lebih tepat sasaran untuk melakukan pengendalian laju inflasi sungguh sangat diperlukan untuk menjaga perekonomian secara lebih kondusif.
Persoalan pertumbuhan ekonomi yang membandel sulit dinaikkan menjadi tantangan untuk diperbaiki, namun bukan menggunakan angan-angan pertumbuhan ekonomi tinggi, melainkan dicarikan solusi dan turunan untuk memperbaiki pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesenjangan ekonomi, serta membangkitkan pemerataan dengan menurunkan kemiskinan dan pengangguran terbuka.
Persoalan ekonomi biaya tinggi dan reformasi strukturalisme sangat mendesak untuk diperbaiki.
Sebenarnya kurang tepat, jika menjadikan Joko Widodo dalam posisi sebagai “dalang segala bencana” dan dalang atas perusakan dampak negatif yang terjadi. Hal itu, karena antara lain tingkat kemiskinan terbukti menurun. Tingkat kemiskinan ekstrem menurun. Rasio Gini membaik.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) membaik. Tingkat pengangguran terbuka menurun, atau terkendali. Nilai tukar petani mempunyai indeks yang meningkat sebagai indikator kesejahteraan yang meningkat, namun memang ada masalah dalam kesejahteraan nelayan dimana indeks nilai tukar nelayan mengalami penurunan.
Tidak ada gading yang tak retak, sehingga sesungguhnya bukanlah kinerja Joko Widodo senantiasa dikondisikan untuk dinilai secara kurang adil, melainkan sebagai kinerja bertendensi menuju relatif baik dan bersungguh-sungguh menyejahterakan penduduk Indonesia sesuai kemampuan kapasitasnya.
Kurang adil dan terkesan tidak menghargai, maupun bertindak secara semena-mena sebagai orang yang musti diadili dan dipenjarakan atas keberadaan Gibran Rakabuming Raka sebagai wapres terpilih.
Juga atas menantu yang terpilih sebagai walikota dan sedang ikut Pilkada sebagai calon gubernur Sumatera Utara. Penolakan terhadap Gibran atas potensi kasus fufufafa adalah kondisi spekulatif tanpa proses peradilan sama sekali dan terkesan menilai secara serampangan terhadap kompetensi kinerja tim kesehatan fisik dan mental kedokteran kepresidenan pada waktu memeriksa kesehatan sebagai tindak lanjut pendaftaran Bacawapres.
Atas dasar spekulasi dan kewenangan, sudah semestinya tidak dapat diberlakukan kegiatan provokasi pembatalan pelantikan wapres terpilih atas pertimbangan desas-desus dan tendensi sebagai sebuah tindakan paranoid.
Tanpa pemeriksaan medis secara langsung, melainkan atas dasar spekulasi dugaan-dugaan secara sepihak. Bukan berarti kinerja perekonomian di atas, kemudian diperlakukan bagaikan panas sepanjang tahun dihapuskan oleh hujan sehari, karena urusan keterpilihan Gibran Rakabuming Raka yang merupakan akibat dari usulan gabungan parpol, maupun keterpilihan menantu menjadi Walikota Medan.
Sungguh hal ini bagaikan penilaian yang tidak adil dan meletakkan persoalan demokrasi yang meruntuhkan semua kinerja perekonomian.
Sekelompok kepentingan yang berbeda aspirasi sedang berusaha melakukan pengadilan rakyat kepada Joko Widodo hendaklah dikembalikan rasionalitas keterukurannya. Maksud membangkitkan pengadilan rakyat menggunakan kegiatan seminar dan demonstrasi mahasiswa bukanlah sebagai solusi untuk memecahkan persoalan perekonomian di atas, maupun untuk melakukan perbaikan pada sistem demokrasi di Indonesia.
Maksud membatalkan pelantikan Wapres terpilih dan memenjarakan Joko Widodo sesungguhnya merupakan rasa frustasi melebihi kenormalan dalam melakukan evaluasi hasil-hasil pembangunan nasional di segala bidang.
Rasa frustasi dan semacam dendam kesumat kemarahan, bukanlah solusi yang adil. Hal itu, jika seseorang pernah merasakan bagaimana bekerja sama dalam tim besar pembangunan nasional, maka sungguh sangat terasa tidak mudah untuk mencapai kinerja perekonomian dalam situasi yang serba tidak mudah.
Untuk setiap persoalan pembangunan, solusinya bukan dengan saling bertengkar dan hujat-menghujat, melainkan melakukan kerjasama co-operations memperbaiki kinerja yang terjadi.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana