PERAN pemerintah terkesan sangat besar dalam menjamin ketersediaan jumlah mahasiswa yang dapat ditampung untuk kuliah dalam jumlah besar pada perguruan tinggi negeri di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Misalnya, jumlah perguruan tinggi negeri di provinsi Jambi, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Tengah (Kalteng), Sulawesi Tengah (Sulteng), Gorontalo, Sulawesi Barat (Sulbar), dan Maluku Utara (Malut) yang masing-masing memiliki satu saja perguruan tinggi negeri pada tahun 2022.
Perguruan tinggi negeri tersebut mempunyai jumlah mahasiswa masing-masing sebanyak 36.330 orang, 36.895 orang, 21.175 orang, 48.484 orang, 28.850 orang, 15.109 orang, dan 18.038 orang.
Persoalan persaingan yang sangat keras dalam memperoleh jumlah mahasiswa pada provinsi-provinsi tersebut terlihat dijumpai pada perguruan tinggi swasta. Misalnya rata-rata mahasiswa di perguruan tinggi swasta memiliki mahasiswa masing-masing sebanyak 870 orang di Provinsi Jambi, 1.406 orang di NTB, 698 orang di Kalteng, 1.176 orang di Sulteng, 1.980 orang di Gorontalo, 818 orang di Sulbar, dan 1.258 orang di Malut pada tahun 2022.
Dari sini terlihat bahwa sungguh tidak mudah untuk perguruan tinggi swasta dalam mengelola manajemen pendidikan dalam universitas berskala kecil dibandingkan dengan kondisi di perguruan tinggi negeri tersebut di atas, yang mempunyai daya tampung yang sangat besar.
Tersirat di sini yang muncul adalah persoalan dalam membina efisiensi manajemen universitas. Kesenjangannya bagaikan perguruan tinggi skala besar dibandingkan skala jauh lebih kecil. Misalnya, proporsi jumlah mahasiswa di perguruan tinggi negeri Provinsi Jambi sebanyak 41,76 kali lipat dibandingkan rata-rata mahasiswa perguruan tinggi swasta di provinsi Jambi.
Implikasinya adalah apabila jumlah mahasiswa berkurang, misalnya karena faktor perubahan kesanggupan orang tua wali menguliahkan anak, atau mahasiswa mengalir ke perguruan tinggi swasta yang lain, maupun terutama dapat ditampung dalam jumlah yang lebih banyak di perguruan tinggi negeri, maka kelangsungan kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi swasta setempat sungguh sangat terpengaruh.
Akibatnya adalah tidak mengherankan, apabila muncul gagasan untuk mengubah status perguruan tinggi swasta menjadi perguruan tinggi negeri. Hal ini, supaya masalah pengelolaan mahasiswa menjadi lebih leluasa dan daya tampung mahasiswa dapat lebih banyak sebagaimana daya tampung mahasiswa di perguruan tinggi negeri.
Juga, agar jumlah mahasiswa per kelas yang diampu oleh dosen pengajar di kelas perguruan tinggi swasta senantiasa dapat memenuhi kapasitas. Potensi penutupan kelas, yang disebabkan oleh dinamika jumlah minimal mahasiswa per kelas dapat berkurang pada perguruan tinggi swasta.
Potensi penutupan kelas sebenarnya juga terjadi sekalipun pada perguruan tinggi negeri sebagaimana pemberlakuan jumlah mahasiswa minimal per kelas atas pertimbangan efisiensi manajemen universitas.
Sebaliknya kondisi perkuliahan di perguruan tinggi negeri dalam menghadapi jumlah mahasiswa yang banyak dengan kondisi ruang kuliah yang diharapkan berkapasitas besar-besar. Ini terkesan bagaikan ruangan kelas seperti kuliah umum stadium general.
Ketika jumlah perguruan tinggi negeri bukan satu saja per provinsi, yakni bagaikan bukan berstruktur pasar monopoli, melainkan berjumlah meningkat bagaikan struktur pasar oligopoli, maka yang ditemukan adalah sebagai berikut.
Misalnya jumlah perguruan tinggi negeri di Daerah Khusus Jakarta sebanyak 4 perguruan tinggi negeri. Berjumlah sebanyak 12 perguruan tinggi negeri di Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan 17 perguruan tinggi negeri di Provinsi Jawa Timur (Jatim).
Dengan jumlah perguruan tinggi negeri yang lebih banyak, maka rata-rata jumlah mahasiswa di perguruan tinggi negeri tersebut menjadi lebih sedikit dibandingkan posisi pada perguruan tinggi negeri berjumlah tunggal tersebut di atas, yaitu masing-masing sebanyak 26.063 orang di Daerah Khusus Jakarta, 16.391 orang di Jabar dan 19.755 orang di Jatim pada tahun 2022.
Dari sini diketahui bahwa peningkatan jumlah perguruan tinggi negeri di suatu wilayah provinsi mampu menurunkan tingkat tekanan dari banyaknya jumlah mahasiswa yang dikelola oleh perguruan tinggi negeri.
Kemudian persoalan rata-rata jumlah mahasiswa di perguruan tinggi swasta sebanyak 1.588 orang di Provinsi Daerah Khusus Jakarta. Sebanyak 1.764 orang di Jabar dan 1.710 orang di Jatim. Hampir sama dan sebangun persoalan kapasitas jumlah mahasiswa di perguruan tinggi swasta, sedangkan tidak demikian halnya dengan pengaruh jumlah mahasiswa di perguruan tinggi negeri.
Tekanan jumlah mahasiswa di perguruan tinggi negeri yang berjumlah tunggal di tingkat provinsi, dibandingkan jumlah perguruan tinggi negeri yang jumlahnya meningkat.
Dinamika persaingan memperoleh jumlah mahasiswa di antara perguruan tinggi swasta terkesan sangat tinggi, terutama antara perguruan tinggi swasta dibandingkan perguruan tinggi negeri. Perguruan tinggi swasta dihadapkan pada skala ekonomi yang sangat terpengaruh oleh keberadaan kemampuan dalam memperoleh jumlah mahasiswa.
Persaingan meningkat, ketika perguruan tinggi negeri dapat menyesuaikan jadwal dan potensi frekuensi penerimaan mahasiswa. Dalam hal ini perguruan tinggi swasta terkesan merupakan sisa dari daya tampung perguruan tinggi negeri.
Untuk memperoleh jumlah mahasiswa yang optimal dan terjamin keberlanjutannya, kondisi persaingan di atas menghendaki aspirasi kuliah tepat jadwal, lulus tepat jadwal, dan kualitas belajar mengajar senantiasa terjaga.
Juga pelayanan ketatausahaan kampus yang prima, efisien dan tidak bertele-tele, penggunaan teknologi yang semakin memudahkan dalam bekerja, maupun soliditas dalam mencerdaskan kehidupan bangsa demikian terjaga.
Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana