Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya saat jumpa pers, usai melaporkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Jalan MH Thamrin, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (2/10)/RMOL
KPU kembali dilaporkan ke Bawaslu, karena diduga melanggar administrasi pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur (cagub-cawagub) di Papua Barat Daya.
Pelaporan dilakukan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat Daya, ke Kantor Bawaslu RI, Jalan MH Thamrin, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (2/10).
Ketua MRP Papua Barat Daya Alfons Kambu didampingi Wakil Ketua I Susance Saflesa, Wakil Ketua II Vincentius Paulinus Baru, serta satu pengacara Muhammad Syukur Mandar melapor ke Bawaslu RI.
Alfons menjelaskan, pihaknya melaporkan KPU karena mengeluarkan Surat Dinas Nomor 1718/PL.02.2-SD/05/2024, yang isinya mengecualikan kewenangan MRP dalam menyeleksi cagub-cawagub di seluruh wilayah Papua, yang diamanatkan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua.
"Pada kesempatan ini saya menyampaikan laporan. Kami dengan tegas meminta Bawaslu segera menindaklanjuti laporan kami, memanggil ketua KPU RI bersama anggota yang sudah kami laporkan untuk dimintai keterangan dan pertanggungjawaban. Sebab, surat tersebut telah mencederai, telah mengganjal kewenangan kami dalam Perintah Undang-Undang Otus Pasal 20 ayat 1 huruf A dan pasal 12," ujar Alfons.
Dia merinci, UU Otsus memerintahkan MRP untuk ikut serta dalam pelaksanaan pemilihan, khususnya memastikan calon kepala daerah yang lolos merupakan orang asli Papua.
Akan tetapi, dia mendapati KPU Papua Barat Daya saat pengumuman cagub-cawagub pada 22 September 2024 lalu, meloloskan satu pasangan calon yang dinyatakan MRP bukan orang asli Papua, yaitu Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiuw.
"KPU melakukan keputusan (meloloskan Abdul-Petrus). Itu sudah banyak hal yang terjadi, dimana orang Papua merindukan bagaimana jati diri mereka, harga diri mereka, kewenangan mereka, hal-hal yang sudah diatur dalam Undang-Undang Otus bisa dianulir oleh KPU," sambungnya menjelaskan.
Lebih dari itu, Alfons memandang KPU telah melampaui UU Otsus bagi Provinsi Papua, karena mengeluarkan Surat Dinas yang mengecualikan kewenangan MRP Papua Barat Daya menyeleksi cagub-cawagub orang asli Papua, dan Surat Dinas itu juga tidak punya cantolan hukum dalam tingkat perundang-undangan di atasnya.
"KPU RI kami minta ditinjau kembali putusan itu (meloloskan Abdul-Petrus) apakah sudah dimasukkan (merujuk) dalam PKPU nomor 8 atau tidak," demikian Alfons menambahkan.
Dalam Surat Dinas Nomor 1718/PL.02.2-SD/05/2024, MRP Papua Barat Daya menyoal poin nomor 10 yang berbunyi; "Dalam hal pertimbangan Majelis Rakyat Papua menyatakan Calon tidak memenuhi persyaratan Orang Asli Papua, KPU Provinsi menyatakan persyaratan Orang Asli Papua memenuhi syarat apabila terdapat pertimbangan dan/atau pengakuan suku asli di Papua yang menyatakan penerimaan dan pengakuan atas nama Calon dengan memedomani Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-IX/2011".
"Karena surat 1718 itulah yang digunakan KPU Papua Barat Daya, dan mengeluarkan surat 78 tentang penetapan peserta pemilihan kepala daerah. Jadi KPU tetap memutuskan 5 (pasangan calon), padahal MRP sudah memutuskan 4 (pasangan calon). Jadi satu ini dinyatakan tidak lolos tapi KPU loloskan dia," tambah pengacara MRP Papua Barat Daya, Muhammad Syukur Mandar.