SEJAK dilahirkan sampai dirumuskan sebagai dasar negara Indonesia, bahkan sampai dengan saat ini, cara pembacaan Pancasila belum pernah dibakukan.
Akibatnya muncul ketidakutuhan bahkan banyak menimbulkan kesesatan pemahaman dari maksud yang terkandung dari Pancasila itu sendiri.
Terlihat dari berbagai diskusi-diskusi public bagaimana ketidakutuhan pemahaman tentang Pancasila menyebabkan kesesatan cara pandang dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Salah satu contohnya adalah argumentasi yang menolak sistem pemilihan presiden secara langsung yang dituding tidak sesuai dengan sila ke-4, dengan menekankan jika demokrasi yang dikehendaki oleh Pancasila berada dalam koridor: "...permusyawaratan perwakilan." Sehingga pemilihan presiden yang dikehendaki Pancasila adalah melalui sistem perwakilan semata.
Argumentasi model ini marak didengung-dengungkan di telinga rakyat di setiap kali hajatan pilpres.
Alasannya sederhana, karena pihak yang mengobarkan argumentasi ini biasanya mendukung paslon yang kalah dalam pilpres. Dan setelah pilpres selesai sama sekali tidak pernah terdengar lagi.
Pancasila sebagai dasar negara seharusnya tidak ditempatkan sebagai alat politik sesaat, karena sama saja dengan mengerdilkan keagungan Pancasila.
Pancasila dirumuskan oleh Tim Sembilan dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tokoh-tokoh yang merumuskan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dikenal sebagai Panitia Sembilan, antara lain Ir. Soekarno, Mr. Mohammad Yamin dan Mr. Soepomo.
Presiden pertama Indonesia, Soekarno, berperan penting dalam membangun ideologi Pancasila. Soekarno juga lah yang pertama kali menyampaikan gagasan terkait Pancasila pada 1 Juni 1945 dalam sidang pertama BPUPKI.
Mr. Mohammad Yamin mengusulkan lima asas dasar negara Indonesia secara lisan pada 29 Mei 1945, yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
Kemudian, Mr. Soepomo mengusulkan pokok pikirannya sebagai dasar negara Indonesia merdeka dalam sidang BPUPKI pertama.
Selain ketiga tokoh tersebut, beberapa tokoh lain yang juga berperan dalam perumusan Pancasila adalah K.H.A. Wahid Hasyim, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, Mr. Alexander Andries Maramis, Raden Mas Abikusno Tjokrosujoso, Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, H. Agus Salim.
Pancasila disepakati sebagai dasar negara Indonesia oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945. Beliau-beliau yang menjadi Tim Sembilan BPUPKI, bukanlah sembarang beliau.
Sengaja penulis menuliskan nama lengkap beserta gelar pendidikan dan gelar kehormatannya, untuk memberikan pemahaman secara utuh tentang siapa-siapa yang merumuskan Pancasila, sehingga kita semua dapat memahami tingkat kematangan dan keagungan cara berpikir para beliau tersebut.
Dalam perumusan Pancasila, pilihan kata pada masing-masing frasa dalam setiap sila dirumuskan secara seksama, pun demikian dengan penempatan tanda baca, baik "." titik maupun "/" garis miring.
Para perumus Pancasila yang sebagaian dari para beliau itu memiliki gelar Mr. (didepan namanya) singkatan dari Meester in de Rechten adalah sebuah gelar yang diperoleh seseorang setelah menyelesaikan studinya dalam ilmu hukum pada sebuah universitas yang mengikuti sistem yang berlaku di Belanda, sangat memahami akibat hukum dari penempatan tanda "/" (garis miring) pada dasar negara.
Fungsi dari tanda baca berperan untuk menunjukkan struktur dan organisasi suatu tulisan. Para pendiri NKRI sekaligus perumus dari Pancasila, secara sengaja menempatkan tanda "/" diantara dua kata yaitu permusyawaratan dan perwakilan, dengan tujuan untuk menunjukkan jika kata "permusyawaratan"yang berada di depan "/" (garis miring) dan kata perwakilan yang berada di belakang "/" (garis miring), meskipun memiliki fungsi operasional yang berbeda, tetapi memiliki derajat dan kedudukan yang setara.
Tanda "/" bisa memiliki banyak arti kata tergantung pada konteksnya. Contohnya jika merujuk pada konteks AD/ART, maka "/" bisa memiliki arti kata "dan", sehingga dibaca AD dan ART.
Jika merujuk pada konteks Rp. 5/lembar maka tanda "/" bisa memiliki arti kata "setiap", artinya lima rupiah untuk setiap lembarnya.
Jika merujuk pada konteks "...permusyawaratan/perwakilan.", bisa memiliki arti kata "atau" sehingga idealnya pada akhiran sila ke-4 dari Pancasila dibaca dengan: "...permusyawaratan atau perwakilan.", atau jika ada pihak-pihak yang merasa lebih pas jika dibaca sebagai: "...permusyawaratan dan perwakilan.", silahkan dibuka forum dialog untuk mencari format yang paling pas dengan mengacu pada suasana kebatinan pada saat Pancasila itu dirumuskan.
Kembali pada soal pemilihan presiden secara langsung itupun masih sesuai dengan rumusan "permusyawaratan", karena seluruh rakyat Indonesia diberi kesempatan untuk bermusyawarah dalam pilpres untuk memilih siapa yang akan menjadi Presiden RI selanjutnya, namun demikian tidak semua warga negara diberi hak untuk memilih, yang memiliki hak untuk memilih hanyalah mereka yang telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.
Semoga dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mendatang, cara membaca Pancasila bisa dibakukan untuk diajarkan di sekolah-sekolah dari tingkat terendah sampai yang tertinggi di seluruh Indonesia.
Sebagai dasar negara Indonesia Pancasila adalah hal sakral sehinga cara membacanya pun haruslah dibakukan.[***]
*Penulis adalah Ketua Gerakan Masyarakat Pembacaan Baku Pancasila.