Menteri Investasi Indonesia/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Rosan Roeslani dalam ISF 2024/tangkapan layar
Pemerintah Indonesia terus mendorong terciptanya iklim investasi yang lebih kondusif untuk mendukung percepatan pengembangan energi terbarukan. Salah satunya melalui peningkatan kepastian hukum.
Hal itu Diungkapkan Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani saat berbicara di Indonesia International Sustainability Forum 2024.
Rosan mengatakan, Pemerintah telah menerapkan struktur tarif baru yang lebih kompetitif untuk mendorong pertumbuhan investasi energi terbarukan.
Dengan adanya tarif baru yang dinegosiasikan langsung antara perusahaan listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dan perusahaan listrik milik negara, PLN, diharapkan dapat menarik lebih banyak investor untuk berpartisipasi dalam pengembangan proyek-proyek energi bersih di Indonesia.
"Fleksibilitas tarif yang disesuaikan dengan teknologi dan lokasi proyek juga akan mendorong efisiensi dan inovasi dalam sektor energi terbarukan," papar Rosan, dikutip Jumat (6/9).
Indonesia merupakan rumah bagi berbagai sumber daya terbarukan dengan potensi kapasitas 3.700 gigawatt, tetapi sejauh ini baru kurang dari 1 persen yang telah dimanfaatkan.
Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan potensi energi terbarukan di Asia Tenggara sangat besar. IEA memperkirakan bahwa pada 2040, pangsa energi terbarukan dalam pembangkitan listrik di kawasan ini akan meningkat hampir tiga kali lipat dari tingkat saat ini, dengan energi surya dan angin sebagai sumber dominan, yakni mencapai 70 persen dari total pembangkitan listrik di kawasan tersebut.
Namun, Rosan mengatakan bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia kerap menghadapi tantangan ketika beralih ke energi terbarukan.
Berbagai kendala tersebut meliputi infrastruktur yang tidak memadai, beberapa persyaratan investasi awal yang besar, dan hambatan untuk memperoleh pembiayaan.
"Pada 2022, biaya investasi awal untuk proyek energi terbarukan di negara-negara berpenghasilan rendah adalah 6,5 persen ,lebih tinggi daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi," ucap Rosan.