Berita

Ilustrasi penandatanganan Perjanjian Aigun antara Kekisaran Rusia dan pejabat Dinasti Qing, Jingxuan, tahun 1858.

Dunia

Taiwan Sarankan Tiongkok Merebut Kembali Wilayah Manchuria yang Diambil Rusia

KAMIS, 05 SEPTEMBER 2024 | 07:00 WIB | LAPORAN: JONRIS PURBA

Presiden Taiwan Lai Ching-te meyakini bahwa upaya Tiongkok mencaplok Taiwan tidak didorong oleh keinginan mempertahankan integritas teritorial, tetapi lebih merupakan keinginan negeri panda mengubah "tatanan dunia berbasis aturan" untuk menghegemoni kawasan dan dunia. 

Seperti dilaporkan Taiwan News, dalam wawancara baru-baru ini dengan saluran berita lokal, Presiden Lai berpendapat bahwa jika motif Tiongkok untuk menyerang Taiwan benar-benar tentang integritas teritorial, maka hal itu harus difokuskan pada reklamasi tanah yang diserahkan kepada Rusia pada abad ke-19.

Lai menegaskan kembali prinsip-prinsip "Empat Komitmen" dan "Rencana Empat Pilar" untuk perdamaian, menekankan dukungan internasional untuk Taiwan dan membingkai masalah Selat Taiwan sebagai "bukan hanya masalah antara Taiwan dan Tiongkok tetapi juga masalah bagi Indo-Pasifik dan bahkan seluruh dunia."


"Jika tidak, mengapa tidak merebut kembali tanah yang diserahkan kepada Rusia dalam Perjanjian Aigun selama Dinasti Qing?" ujar Presiden Lai. 

Perjanjian Aigun ditandatangani tahun 1858 antara Kekaisaran Rusia dan Jingxuan atau Yishan, pejabat Dinasti Qing di Tiongkok. Perjanjian ini menetapkan sebagian besar perbatasan modern antara Timur Jauh Rusia dan Tiongkok dengan menyerahkan sebagian besar Manchuria yang sekarang dikenal sebagai Tiongkok Timur Laut.

Negosiasi dimulai setelah Tiongkok diancam akan diserang oleh Rusia. Ancaman itu disampaikan Gubernur Jenderal Timur Jauh Nikolay Muraviev. Di saat yang sama Tiongkok sedang berhadapan dengan Pemberontakan Taiping yang berlangsung sejak 1850. Rusia menerima lebih dari 600 ribu kilometer persegi dari wilayah yang kemudian dikenal sebagai Manchuria Luar.

Pemerintah Qing di Beijing sebenarnya tidak menyetujui dan tidak mengakui keabsahan perjanjian tersebut. Namun Rusia mendapatkan keuntungan dan Perjanjian Aigun ditegaskan sebagai bagian dari Konvensi Tiongkok-Rusia di Peking tahun 1860.

Presiden Lai mengatakan, Rusia yang saat ini sedang berperang menghadapi Ukraina dan negara-negara NATO pendukungnya sedang berada dalam situasi yang tidak menguntungkan. Bila benar-benar hendak memperjuangkan kepentingan berdasarkan sejarah, sekaranglah saat yang tepat bagi Komunis Tiongkok untuk merebut kembali tanah Tiongkok yang diambil Rusia berdasarkan Perjanjian Aigun itu. 

“Tetapi mereka belum melakukannya. Ini jelas menunjukkan bahwa niat Tiongkok untuk menyerang Taiwan bukan tentang masalah teritorial,” ujar Presiden Lai.

Lebih lanjut, Lai menekankan bahwa persatuan adalah hal terpenting bagi Taiwan saat ini dan menegaskan bahwa hanya dengan bersatu melawan agresi Tiongkok, Taiwan dapat mengamankan masa depannya, menurut Taiwan News.

Ia menekankan bahwa tidak ada partai politik yang dapat menghentikan agresi Tiongkok hanya dengan apa yang mereka katakan atau lakukan.

Menurut Taiwan News, Lai menyoroti bahwa Taiwan yang demokratis telah menyebarkan nilai-nilainya secara global.

Ia berpendapat bahwa rakyat Taiwan menginginkan cara hidup yang demokratis dan bebas, yang seharusnya tidak dilihat oleh Tiongkok sebagai tantangan.

Lai menegaskan bahwa jika Tiongkok hanya ingin merebut Taiwan, tidak perlu memperluas kehadiran militernya di Laut Cina Timur dan Selatan atau melakukan latihan militer gabungan dengan Rusia. Ia berharap partai-partai oposisi “dapat melihat ini dengan jelas.”

Lai menekankan bahwa Taiwan mengharapkan pembangunan lintas selat yang damai dan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan. Namun, ia menekankan bahwa metode yang digunakan harus tepat dan dilakukan dengan bermartabat.

Ia merinci pernyataan dukungan terkini untuk Taiwan dari komunitas internasional, termasuk Perdana Menteri Jepang Kishida Fumio, Presiden AS Joe Biden, Menteri Luar Negeri Antony Blinken, negara-negara Uni Eropa, dan KTT G7 yang baru saja berakhir.

Ia mencatat bahwa semua entitas ini telah menyatakan pandangan bahwa “menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan sangat diperlukan untuk keamanan dan kemakmuran internasional.”

Populer

Bobby dan Raja Juli Paling Bertanggung Jawab terhadap Bencana di Sumut

Senin, 01 Desember 2025 | 02:29

NU dan Muhammadiyah Dikutuk Tambang

Minggu, 30 November 2025 | 02:12

Padang Diterjang Banjir Bandang

Jumat, 28 November 2025 | 00:32

Sergap Kapal Nikel

Kamis, 27 November 2025 | 05:59

Peluncuran Tiga Pusat Studi Baru

Jumat, 28 November 2025 | 02:08

Bersihkan Sisa Bencana

Jumat, 28 November 2025 | 04:14

Evakuasi Banjir Tapsel

Kamis, 27 November 2025 | 03:45

UPDATE

Tragedi Nasional dari Sumatra dan Suara yang Terlambat Kita Dengarkan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:44

Produktivitas Masih di Bawah ASEAN, Pemerintah Susun Langkah Percepatan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:41

Lewat Pantun Cak Imin Serukan Perbaiki Alam Bukan Cari Keributan

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:38

Bank Mandiri Sabet 5 Penghargaan BI

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:27

Liga Muslim Dunia Siap Lobi MBS untuk Permudah Pembangunan Kampung Haji Indonesia

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:18

Banjir Rob di Pesisir Jakarta Berangsur Surut

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:13

RI–Timor Leste Sepakat Majukan Koperasi

Jumat, 05 Desember 2025 | 15:08

Revisi UU Cipta Kerja Mendesak di Tengah Kerusakan Hutan Sumatera

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:57

Bahlil Telusuri Dugaan Keterkaitan Tambang Martabe dengan Banjir Sumut

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:48

BI: Cadangan Devisa RI Rp2.499 Triliun per Akhir November 2025

Jumat, 05 Desember 2025 | 14:39

Selengkapnya