PRESIDEN Joko Widodo dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT Ke-79 Proklamasi Kemerdekaan RI, di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta (16/8) mengatakan bahwa Indonesia tidak ingin kehilangan momentum transisi energi. karena Indonesia memiliki potensi besar di sektor energi hijau, yaitu sekitar kurang lebih dari 3.600 GW, baik dari energi air, angin, matahari, panas bumi, gelombang laut, dan bio energi (Setkab.go.id,16/08/2024). Sektor energi hijau yang dimaksud Presiden Joko Widodo, menawarkan banyak peluang bagi Indonesia. Namun, seperti halnya inisiatif besar lainnya, pengembangan energi hijau di Indonesia juga menghadapi tantangan yang tidak sedikit.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan populasi lebih dari 281 juta jiwa (BPS, 2024), memiliki kebutuhan energi yang sangat besar. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM, 2024), konsumsi energi final Indonesia pada 2023 setara 1,2 miliar barel minyak (barrel of oil equivalent/BOE), dimana angka tersebut melonjak 60 persen dibanding konsumsi sedekade sebelumnya, yakni sejak periode 2014-2023.
Pemerintah Indonesia telah menekankan pentingnya pengembangan energi hijau atau energi terbarukan. Sebab, selama bertahun-tahun, sumber energi utama Indonesia adalah bersumber dari bahan bakar fosil, terutama batu bara, minyak, dan gas alam. Namun, dengan meningkatnya perhatian terhadap perubahan iklim global dan komitmen internasional terhadap pengurangan emisi karbon menjadi kunci dalam transisi energi Indonesia.
Peluang Pengembangan
Indonesia memiliki potensi yang luar biasa untuk pengembangan energi hijau. Sebagai contoh, negara ini berada di kawasan ekuator yang kaya akan sinar matahari sepanjang tahun. Menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT, 2019), potensi energi surya di Indonesia mencapai 207,8 GWp. Selain itu, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk energi panas bumi karena letaknya di cincin api Pasifik. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM, 2024) menunjukkan bahwa potensi panas bumi Indonesia mencapai sekitar 23.000 MW, menjadikannya salah satu yang terbesar di dunia. Kondisi ini mendukung ketahanan energi nasional dan pencapaian target bauran EBT nasional.
Peluang lainnya bahwa pemerintah Indonesia juga telah menunjukkan komitmen terhadap pengembangan energi hijau melalui berbagai kebijakan dan regulasi. Salah satu kebijakan penting adalah Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang menargetkan penggunaan energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 (Kementerian ESDM, 2017). Selain itu, pemerintah juga telah memberikan berbagai insentif untuk mendorong investasi di sektor energi terbarukan, termasuk keringanan pajak dan subsidi.
Kementerian ESDM (2024) menyatakan bahwa dalam mitigasi perubahan iklim, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement dan berkomitmen menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89 persen hingga 43,2 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Salah satu upaya mengurangi emisi GRK yakni melalui transisi energi dimana sistem energi yang ada sekarang ditransformasi untuk mengakomodasi penetrasi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tinggi, sehingga secara berangsur-angsur akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil. Adanya dukungan dari komunitas internasional dalam upaya Indonesia untuk pengembangan energi hijau, melalui berbagai organisasi internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia telah memberikan pembiayaan dan bantuan teknis untuk proyek energi terbarukan di Indonesia.
Selain itu, kemajuan teknologi juga membuka peluang bagi pengembangan energi hijau di Indonesia. Teknologi yang lebih efisien dan biaya yang semakin menurun membuat energi terbarukan menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Misalnya, biaya pembangkitan listrik dari tenaga surya telah menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, membuatnya lebih layak secara ekonomi.
Tantangan Pengembangan
Salah satu tantangan terbesar dalam transisi menuju energi hijau di Indonesia adalah ketergantungan yang mendalam pada bahan bakar fosil. Indonesia adalah salah satu produsen batu bara terbesar di dunia, dan bahan bakar ini masih memainkan peran penting dalam pembangkit listrik nasional.
Menurut data dari Kementerian ESDM (2020), sekitar 60 persen listrik di Indonesia masih dihasilkan dari batu bara. Transisi menuju energi hijau berarti mengurangi ketergantungan ini, yang bisa berdampak pada ekonomi nasional, terutama bagi daerah yang bergantung pada industri batu bara. Selain itu, identifikasi Kementerian ESDM (2024) menyatakan bahwa tantangan pengembangan panas bumi yakni area prospek pada Kawasan Konservasi dan Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS), risiko eksplorasi dan akses pendanaan, efisiensi biaya untuk harga listrik panas bumi yang lebih kompetitif, dinamika sosial dan demand kelistrikan setempat.
Pengembangan energi terbarukan membutuhkan infrastruktur yang memadai, mulai dari jaringan listrik hingga fasilitas penyimpanan energi. Namun, banyak wilayah di Indonesia, terutama di luar Jawa, yang masih menghadapi masalah infrastruktur energi yang belum memadai. Misalnya, penyebaran jaringan listrik yang belum merata di wilayah timur Indonesia menyulitkan distribusi energi dari sumber terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Keterbatasan ini menambah biaya dan kompleksitas dalam mengembangkan proyek energi terbarukan di negara ini (Jones & Priyadi, 2019).
Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mendukung energi terbarukan, implementasi di lapangan sering kali menghadapi berbagai tantangan. Menurut SolarKita (2023) bahwa tantangan pengembangan proyek EBT membutuhkan investasi yang besar, seperti masalah utamanya terkait infrastruktur dan teknologi. Selain itu, kurangnya akses terhadap pembiayaan, birokrasi yang kompleks, dan ketidakpastian kebijakan investasi seringkali menghambat minat investor dalam mendukung proyek EBT di Indonesia.
Kendati demikian, adanya dukungan internasional untuk proyek-proyek energi hijau tidaklah cukup, pembiayaan tetap menjadi tantangan utama. Proyek energi terbarukan sering kali membutuhkan investasi awal yang besar, yang sulit dipenuhi oleh perusahaan lokal. Selain itu, risiko finansial yang terkait dengan teknologi baru dan ketidakpastian pasar membuat perbankan dan lembaga keuangan ragu untuk memberikan pinjaman bagi proyek-proyek ini. Studi oleh PwC (2020) mencatat bahwa kurangnya akses ke pembiayaan adalah salah satu kendala utama bagi pengembangan energi hijau di Indonesia. Selain itu, dukungan publik juga masih rendah, misalnya adanya proyek-proyek pengembangan energi terbarukan masih terdapat penolakan masyarakat di lapangan, hal ini tentunya diperlukan upaya dan pendekatan sosialisasi yang lebih masif kepada masyarakat.
Salah satu tantangan sosial dalam pengembangan energi hijau adalah penerimaan masyarakat. Banyak proyek energi terbarukan, terutama proyek energi angin dan panas bumi, menghadapi penolakan dari masyarakat lokal karena kekhawatiran terhadap dampak lingkungan dan sosial. Misalnya, proyek panas bumi di Gunung Slamet sempat menghadapi penolakan dari masyarakat lokal karena kekhawatiran terhadap kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian (Tambunan, 2018).
Begitu juga proyek panas Bumi yang dikerjakan Geo Dipa Energi di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah yang memiliki potensi sekitar 72 MW (Kementerian ESDM, 2024), dimana tidak jarang kedudukan potensi sumber daya alam tersebut berada di tengah-tengah lingkungan penduduk. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pengembangan proyek energi terbarukan untuk memastikan bahwa manfaatnya dapat dirasakan secara merata.
Strategi Mengatasi Tantangan
Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, Indonesia harus melakukan diversifikasi sumber energi. Ini berarti meningkatkan investasi dalam berbagai jenis energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, bioenergi, dan panas bumi. Diversifikasi ini tidak hanya akan mengurangi risiko ketergantungan pada satu sumber energi, tetapi juga meningkatkan keamanan energi nasional.
Pemerintah harus meningkatkan investasi dalam infrastruktur energi, terutama di daerah-daerah yang masih kekurangan akses listrik dan mahalnya harga bahan bakar minyak di daerah yang aksesnya sulit dijangkau. Pembangunan infrastruktur dan jaringan listrik yang andal dan fasilitas penyimpanan energi akan sangat penting untuk mendukung pengembangan energi terbarukan. Selain itu, peningkatan infrastruktur transportasi juga akan memudahkan distribusi teknologi dan peralatan yang diperlukan untuk proyek-proyek energi hijau.
Pada realitas yang ada, pemerintah dituntut melakukan reformasi regulasi untuk membuat lingkungan investasi lebih menarik bagi investor. Proses perizinan yang lebih sederhana dan transparan akan mendorong lebih banyak proyek energi terbarukan. Selain itu, penetapan tarif yang adil dan transparan akan memberikan kepastian kepada investor dan mendorong pertumbuhan sektor ini. Hal tersebut dapat dilakukan dengan dilakukan percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Optimisme tersebut hadir, dengan angin segar dari komitmen Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang baru saja dilantik (19/8) dengan meminta jajarannya agar melakukan percepatan penyelesaian pembahasan RUU EBET sebagaimana dilansir Antara (20/8).
Untuk mengatasi keterbatasan pendanaan, diperlukan pendekatan yang inovatif dalam pembiayaan proyek energi hijau. Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menyediakan lebih banyak skema pembiayaan hijau yang memungkinkan akses ke modal bagi proyek-proyek energi terbarukan. Selain itu, kemitraan publik-swasta dapat menjadi solusi yang efektif untuk menggabungkan sumber daya dan risiko antara pemerintah dan sektor swasta.
Dengan demikian, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang manfaat energi terbarukan dan mengurangi kekhawatiran mereka tentang dampak negatifnya. Ini bisa dilakukan melalui kampanye edukasi yang komprehensif dan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait proyek-proyek energi hijau. Dengan melibatkan masyarakat lokal, pengembangan energi terbarukan bisa lebih berkelanjutan dan dapat diterima oleh semua pihak.
*Penulis adalah Pakar Geografi Politik Universitas Islam 45 (UNISMA) dan Direktur Eksekutif Human Studies Institute (HSI).