BAHLIL Lahadalia, Ketua Umum Golkar, mengingatkan orang-orang, khususnya dalam lingkungan Golkar, umumnya rakyat yang membaca pidatonya, bahwa dia didukung Raja Jawa untuk merebut Golkar.
Dia juga mengingatkan jangan coba-coba melawan Raja Jawa. Tentu saja semua ingin tahu tentang Raja Jawa.
Mayoritas orang berprasangka bahwa pelindung Bahlil adalah Jokowi dan Jokowilah sang Raja Jawa. Sebab, julukan itu merujuk pada suatu kekuatan besar dan hanya dia yang mungkin mengambil Golkar dari Airlangga Hartarto, yang mana selama ini diapresiasi para senior Golkar setelah memenangkan partainya pada angka tinggi, 14 persen suara.
Golkar sendiri, sebelumnya akan Munas pada bulan Desember. Penggeseran Airlangga dan percepatan Munas serta mengganti dengan Bahlil, yang
record-nya di Golkar sangat minim, menjadi anomali.
Prasangka ini ditambah lagi karena selama ini Jokowi memang terlalu Jawa untuk seorang pemimpin Indonesia. Soekarno misalnya mengalami kehidupan heterogen, bahkan sebelum masuk dalam kancah politik perjuangan bangsa.
Suharto juga demikian, karena Suharto mengemban tugas ketentaraan yang bersifat nasional. Demikian pula mantan presiden lainnya, atau juga presiden terpilih Prabowo Subianto.
Sebaliknya, Jokowi, dengan pengalaman hidup tukang mebel di Solo dan kuliah di Jogja, tidak punya pengalaman kenasionalan, apalagi sosial dan politik. Pada saat Jokowi masuk ke Jakarta, dia membawa atribut-atribut kejawaan seperti pakaian maupun plat mobil. Meski akhirnya Jokowi memiliki menantu orang Batak, namun secara total kejawaan Jokowi memang dominan dalam hidupnya.
Apakah benar Raja Jawa begitu sakti?Ancaman Bahlil bahwa Raja Jawa yang mengerikan di belakang dia tentu saja ditakuti, khususnya oleh koruptor. Sebab, politik Raja Jawa di era kolonial, memang selalu menjebak orang-orang dalam jejaring kekuasaannya untuk bergantung, baik dengan harta, wanita maupun berbagi kekuasaan.
Selain itu, Raja Jawa dulu betul-betul menjilat pantat Belanda, sehingga kekuasaannya dilindungi. Dengan demikian, Raja Jawa sejatinya menjadi instrumen Belanda untuk membuat Indonesia tunduk dan dijajah selama 350 tahun.
Namun, tidak semua Raja Jawa jahat. Sri Sultan Hamengkubuwono secara konsisten menggerakkan kesadaran keislaman, khususnya sejak Kerajaan Sultan Agung. Dengan terciptanya kekuatan ideologi Islam, Raja Jawa yang baik ini membentengi dirinya dari Belanda yang anti Islam.
Di luar itu, Raja Jawa yang jahat dilawan oleh kekuatan rakyat, yang diorganisir kaum perjuangan. Di era kolonial Belanda, kaum intelektual, pemuda dan mahasiswa bersatu melawan kolonial Belanda dan raja-raja Jawa yang pro Belanda.
Kaum priyayi yang terkait dengan Raja Jawa di era kolonial, pada akhirnya masuk pada agenda nasionalisme, berkat Bung Karno, Bung Hatta, Natsir dan Hasyim Asy'ari serta lainnya.
Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, banyak kerajaan-kerajaan Jawa dan Nusantara dibakar kaum pemberontak. Sejarah mencatat, hanya Raja Mataram Yogyakarta yang menjadi bagian dari perjuangan nasional.
Jadi, kesaktian Raja Jawa yang dimaksud Bahlil mungkin tidaklah benar-benar sakti, kecuali dia hanya menjadi antek kolonial atau di era kini antek Oligarki saja.
Soekarno dan Raja JawaSoekarno berkali-kali menunjukkan sikapnya yang tidak kompromi dengan Raja Jawa, kecuali Raja Jawa Ngayogyakarta. Pikiran Soekarno yang diilhami Haji Omar Said Tjokroaminoto, mertuanya, Snelvit, kekuatan sosialis di Indonesia, membentuk dirinya menjadi sosok sosialisme Islam atau sosialis islamisme.
Mazhab ini bertentangan secara diametral dengan kerajaan dan Raja Jawa yang merupakan Imperialisme era itu. Selain Soekarno, tentu Bung Hatta dan tokoh pergerakan lainnya juga tidak menerima Raja Jawa sebagai bagian sah perjuangan republik.
Untuk klaim historis ini, maka sesungguhnya siapapun Raja Jawa tidak punya hak politik dinasti di Indonesia, kecuali Sultan Hamengkubuwono. Apalagi diagungkan oleh Bahlil dan kawan kawannya. Kecuali Bahlil kurang memahami sejarah perjuangan nasional kita.
Perjuangan Kita dan Raja JawaJokowi, jika itu yang dimaksud Bahlil, memang sulit untuk dikalahkan selama ini. Sebab, Jokowi memang khas menindas lawan-lawan politiknya, membangun kartel dengan intimidasi dan atau suap lawan dan kawan.
Namun, tentu saja kekuatan Jokowi hanya berlaku selama dia menyandang status formal Presiden. Jika status itu hilang, maka pastinya Jokowi akan kehilangan semua infrastruktur politik, sebab dia bukanlah tokoh yang membangun infrastruktur politik itu.
Dalam masa pendek kekuasaan Jokowi, tentu dia ingin menunjukkan bahwa dia masih kuat. Namun, tentu saja semua orang tahu bahwa kekuasaan Jokowi akan hilang dan Prabowo akan menggantinya.
Prabowo yang pernah hampir ditangkap rezim Jokowi atas kasus Makar tahun 2019, meski kemudian bersekutu, tentu tidak mungkin menjadikan Jokowi sebagai pelindung dirinya. Inilah situasi politik terkini.
Perjuangan mahasiswa dan rakyat saat ini, dalam konteks menolak DPR yang ingin meloloskan Kaesang jadi gubernur atau wakil gubernur, makanya sulit dibendung. Sebab, kesaktian Raja Jawa yang dimaksud Bahlil mulai meredup.
Prabowo sendiri harus menghitung apakah dia akan terjebak dalam kebencian rakyat atau dia terbang bagai Rajawali peliputan rakyat nantinya.
Ke depan kita harus tetap melihat bahwa Raja Jawa harus dilawan dan rakyat harus menang. Serta kita meminta Prabowo untuk menjadi pejuang rakyat, bukan kroni Raja Jawa itu.
Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle