Ilustrasi: Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG. (Foto: Suara.com)
Petaka serius sedang menghantam pasar global. Setelah indeks Wall Street longsor curam kini giliran bursa saham Asia terseret merah. Sikap panik yang sebelumnya hinggap di Bursa Wall Street, dengan mudah menjalar hingga sesi perdagangan di Asia dalam menutup pekan ini, Jumat 2 Agustus 2024.
Sebagaimana dimuat dalam ulasan sebelumnya, pelaku pasar di Wall Street yang mulai mencurigai terlalu lambatnya The Fed dalam menurunkan suku bunga hingga mulai menumbuhkan ketakutan terjadinya resesi.
Terutama terlihat dari rilis data indeks PMI manufaktur AS untuk bulan Juli yang sebesar 46,6 yang sekaligus mencerminkan terjadinya kontraksi pada sektor manufaktur AS. Kontraksi aktivitas manufaktur yang berkepanjangan dicurigai sebagai imbas dari tingginya suku bunga selama ini, di mana pada akhirnya akan menghantarkan resesi. Kekhawatiran ini kemudian memantik pesimisme secara masif di Wall Street hingga meruntuhkan Indeks secara ekstrim.
Situasi panik dengan mudah merembet ke sesi perdagangan di Asia, di mana Bursa Saham Jepang semakin mendapatkan suntikan suram dari melonjaknya nilai tukar Yen. Meroketnya Yen, terlebih dalam kisaran tajam, secara otomatis akan menghambat daya saing produk Jepang yang sangat bergantung pada kinerja ekspor. Catatan tim riset RMOL menunjukkan, nilai tukar Yen terhadap dollar AS yang telah menguat ekstrim hingga 8 persen dari titik terlemahnya pada 11 Juli lalu.
Bursa Saham Jepang akhirnya menjadi yang paling sengsara di sesi penutupan pekan alias Jumat Keramat ini. Indeks Nikkei rebah dengan brutal hingga 5,81 persen setelah menutup sesi di 35.909,7. Keruntuhan tajam juga mendera indeks KOSPI (Korea Selatan) yang rontok 3,65 persen di 2.676,19. Sedangkan indeks ASX 200 (Australia) terpangkas tajam 2,11 persen di 7.943,2.
Keruntuhan seluruh indeks di Asia dalam rentang ekstrim terlihat gagal menembus Bursa Saham Indonesia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Jakarta terkesan kebal dari kepanikan global. Gerak IHSG memang terlihat cenderung konsisten menapak zona pelemahan. Namun pelemahan yang terjadi hanya dalam rentang terbatas. IHSG bahkan terpantau sempat mencoba naik ke zona penguatan tipis meski dalam waktu singkat.
IHSG kemudian menutup sesi perdagangan akhir pekan dengan melemah moderat 0,24 persen di 7.308,12. Pantauan lebih lanjut menunjukkan, gerak naik saham saham bervaluasi murah dan berkinerja baik yang tergabung dalam IDXV30 membuat IHSG tertahan dari penurunan tajam. Hal Ini lebih terlihat dengan kenaikan IDXV30 yang menguat 0,1 persen setelah menutup sesi di 132,18. Sementara sebaliknya, saham-saham dengan kinerja pertumbuhan terbaik yang tergabung dalam IDXG30 berkontribusi signifikan dalam penurunan IHSG. IDXG30 tercatat menutup sesi di 150,4 atau merosot 0,73 persen.
Sementara gerak Saham unggulan yang masuk dalam jajaran teraktif ditransaksikan terlihat bervariasi, dengan saham BBRI, BBCA, TLKM, ASII, dan ISAT jatuh dalam kemerosotan. Sedangkan saham UNTR, ADRO, BMRI, ICBP dan BBNI mampu bertahan di zona hijau.
Pola gerak saham unggulan yang bervariasi tersebut memperlihatkan keraguan pelaku pasar di Jakarta untuk mengikuti irama kesuraman yang sedang hinggap di pasar global. IHSG akhirnya terkesan kebal dari hantaman sentimen suram.
Secara keseluruhan, pelaku pasar kini menantikan rilis data NFP ( non-farm payroll) dan tingkat pengangguran Amerika Serikat yang akan dirilis malam nanti waktu Indonesia Barat. Rilis data tersebut akan dijadikan pijakan lebih lanjut investor global dalam menilai potensi resesi ekonomi.
Laporan seiring juga datang dari pasar uang, di mana nilai tukar Rupiah mampu beralih menguat setelah sempat terseret di zona pelemahan dalam mengawali sesi perdagangan pagi. Gerak menguat Rupiah juga seiring dengan kecenderungan di pasar Asia. Pantauan menunjukkan, nyaris seluruh mata uang Asia yang kompak menginjak zona penguatan dalam rentang bervariasi.
Mata uang Ringgit Malaysia, lagi lagi menjadi jawara Asia setelah terpantau sempat melonjak ekstrim hingga lebih dari 1,2 persen. Terkhusus pada Rupiah, hingga sesi perdagangan sore ini berlangsung tercatat diperdagangkan di kisaran Rp 16.195 per Dolar AS atau menguat moderat 0,21 persen.
Menguatnya Rupiah dalam sesi akhir pekan akan menjadi bekal berharga dalam menjalani sesi perdagangan awal pekan depan, terutama untuk mengantisipasi rilis data NFP (non-farm payroll) Amerika Serikat malam nanti. Sebagai catatan, sesi perdagangan pekan depan terlihat lebih sepi agenda rilis data perekonomian penting secara global.