Pengamat politik Citra Institute, Efriza/Dok Pribadi
Penetapan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) definitif pascapemecatan Hasyim Asyari, seharusnya tidak diutamakan oleh lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Mengembalikan kepercayaan publik justru lebih penting bagi KPU saat ini.
Dalam pandangan pengamat politik Citra Institute, Efriza, KPU saat ini tengah dicap tidak mandiri, independen, maupun profesional, karena memiliki kedekatan dengan peserta pemilihan, dalam hal ini elite politik.
"Mereka dianggap publik lebih dari sekadar mitra kerja, maka asumsi keterpilihan Mochammad Afifuddin (sebagai Ketua KPU definitif) ada pengaruh dari luar meski dijelaskan prosesnya kepada publik," ucap Efriza, kepada
RMOL, Selasa (30/7).
Oleh karena itu, Efriza memandang seharusnya KPU saat ini tidak mengutamakan penetapan sosok Ketua KPU definitif, tetapi menjaga kepercayaan publik.
"KPU bukan sekadar mengisi kekosongan jabatan ketua KPU yang utama, tapi yang terpenting adalah membangun kepercayaan kembali publik terhadap KPU," tegasnya.
"Langkah awalnya memang harus dimulai dari memilih ketua KPU dengan menunjukkan prosesnya tidak memunculkan kecurigaan dan kekhawatiran publik, bahwa KPU masih terus berhubungan gelap dengan pemerintah," sambungnya.
Untuk itu, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Pamulang (Unpam) tersebut menyebut KPU sepatutnya melakukan proses pemilihan Ketua KPU definitif untuk sisa jabatan 2022-2027 secara terbuka.
"Proses ini semestinya dilakukan transparan. Sebab kinerja dari KPU saat ini, semuanya disorot oleh publik," kata Efriza
Efriza tak memungkiri, terdapat dua cara untuk menetapkan Ketua KPU definitif. Yaitu, menunggu terpilihnya komisioner baru atau melalui mekanisme pemilihan langsung dari anggota-anggota tersisa.
"Hanya saja, jika proses pemilihannya dan dinamika yang terjadi tak disampaikan transparan kepada publik, maka wajar jika publik akan terus mencurigai atas terpilihnya Ketua KPU yang baru," tutupnya.