Berita

Ilustrasi tambang/Setkab

Suara Mahasiswa

NU-Muhammadiyah Kelola Tambang

Liberasi SDA dan Validitas Kekuasaan

OLEH: DIAN FITRIANI*
SELASA, 30 JULI 2024 | 15:41 WIB

BEBERAPA waktu terakhir pasca disahkannya kebijakan pemerintah mengenai izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan melalui revisi PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, telah banyak menuai pro kontra dari masyarakat.

Kebijakan ini dinilai kontroversi karena sarat kepentingan segelintir kelompok, bahkan disinyalir sebagai ‘hadiah’ kekuasaan kepada ormas terpilih yang akan berimplikasi pada idealisme ormas dan keberpihakan pemerintah semakin besar.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebutkan, ormas keagamaan memiliki jasa dalam memerdekakan Indonesia sehingga sudah selayaknya diberikan IUP. Ia merasa bahwa izin tambang adalah bentuk “terima kasih” negara terhadap jasa ormas keagamaan menjadi garda terdepan melawan penjajahan.

Ormas keagamaan terbesar, yakni NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah diketahui telah menyambut tawaran mengelola tambang. Sebelum izin dilayangkan, pihak PBNU melalui Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa untuk menghidupi organisasinya membutuhkan usaha tambang.

Berbeda dengan Muhammadiyah, yang sempat mengalami hambatan dan pergolakan dalam perjalanannya menuju kesepakatan penerimaan izin kelola tambang. Gelombang penolakan dari sejumlah badan otonom turut dilayangkan, salah satunya dari Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (MHH) PP Muhammadiyah.

Ketua MHH PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo mengatakan, aktivitas pengelolaan tambang tidak hanya berisiko merusak lingkungan, tapi juga menimbulkan konflik sosial.

Hal ini dapat merugikan Muhammadiyah sehingga seharusnya berhati-hati dalam mengambil keputusan ini. Namun peringatan tersebut tidak diindahkan. Setelah melalui perbincangan dua bulan terakhir, Muhammadiyah resmi menyatakan siap menerima izin kelola tambang.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir menyatakan, keputusan ini telah ditinjau demi kemaslahatan umat, bukan atas paksaan dan dorongan siapa pun.

Bahaya Privatisasi Barang Tambang

Barang tambang termasuk di dalamnya batubara dan mineral merupakan barang yang bersifat inelastis sempurna atau dengan kata lain, perubahan harga tidak memengaruhi jumlah permintaan.

Bila diartikan dalam konsep lebih ekstrem, “berapapun harganya, barang tersebut akan tetap laku dan besarnya penawaran tidak berubah”.

Bayangkan jika barang tambang berupa batubara dan mineral yang terkandung di dalam bumi hanya dikuasai segelintir orang di antaranya para investor asing, penguasa korporasi dan swasta, termasuk ormas keagamaan, keuntungan hanya dinikmati segelintir orang saja yang tidak terbagi secara merata dan adil untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
 
Kelompok swasta yang menguasai batubara dan mineral ini diproyeksikan akan menciptakan pasar monopoli yang tentu saja hanya berorientasi pada laba, bukan kemaslahatan rakyat semata. Hal ini akan menimbulkan konflik kepentingan antara kelas atas dan konflik sosial di kalangan menengah bawah semakin menjadi.

Kelas atas ribut soal siapa yang paling berhak menguasai barang tambang, sedangkan kelas bawah mengantre membeli hasil kelola barang tambang seperti listrik, gas, minyak dan barang logam hasil mineral dengan harga mahal demi menghidupi kehidupannya yang semakin melarat.

Belum lagi kerusakan alam yang terjadi akibat dari izin kelola tambang ugal-ugalan sehingga semua tangan tidak peduli ahli atau bukan, harus ikut campur dalam tata kelola kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi.

Sumber daya alam termasuk batubara yang dapat digunakan sebagai konstruksi dan pemenuhan tersier adalah barang melimpah, sehingga seharusnya dinilai sebagai harta milik umum atau dalam islam disebut sebagai milkiyah ‘ammah.

Sehingga baik batubara maupun mineral wajib dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta seperti ormas keagamaan, apalagi pihak asing.

Negara seharusnya menjadi pengatur pengelolaan SDA yang terkandung, bukan malah menjadikan SDA sebagai komoditas jual beli yang menguntungkan segelintir pihak. Hakikatnya SDA yang terkandung di bumi negeri ini adalah hak seluruh lapisan rakyat yang harus dikelola dengan baik.

Sejalan dengan amanat UU Pasal 33 Ayat 2 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” seharusnya dijalankan dengan baik oleh pemerintah dengan tidak membiarkan pihak swasta dan asing menyentuh SDA demi meraup keuntungan sendiri.

Karena jika hal ini terjadi, akibatnya dapat terjadi konflik sosial, ketimpangan, kemiskinan, bahkan eksploitasi dan kerusakan ekologi.

Tipu Daya di Balik Bagi-Bagi Tambang

Sudah banyak kasus longsor akibat pengelolaan tambang ilegal ataupun kerusakan ekologi akibat korupsi proyek tambang yang akhirnya bermuara pada kesimpulan bahwa negara tidak mampu mengelola sendiri sehingga harus dibantu banyak pihak. Alih-alih menjadi ringan dan permasalahan kelola tambang ini selesai, justru bertambah semakin runyam dan pelik.

Kekayaan alam berupa barang tambang seperti minyak, gas, batubara, nikel, emas dan mineral lainnya yang terkandung di bumi pertiwi ini tidaklah sedikit nilainya. Dengan pengelolaan yang baik, seharusnya Indonesia dapat menjadi negara maju, berdaulat, dan sejahtera.

Namun, pada realitanya kemiskinan di Tanah Air justru semakin merajalela, yang bila diuraikan bagaimana peranan kekayaan alam dalam mengatasi kemiskinan itu sangatlah berkaitan.
 
Namun pemerintah saat ini seolah tidak berdaya menjaga keseimbangan kekayaan alam dengan kemaslahatan masyarakat. Belum lagi pengangguran yang semakin tinggi.

Hingga saat ini, 7,2 juta pengangguran yang diproyeksikan akan terus bertambah sepanjang tahun menjadi bukti kekayaan alam Indonesia tidak berdampak pada peningkatan sektor lapangan kerja, peningkatan mutu SDM, serta pengembangan sektor perdagangan. Indonesia masih berada jauh dari negara-negara yang notabenenya miskin SDA, seperti negara-negara eropa bahkan Singapura.
 
Hal ini terjadi akibat ketidakseriusan pemerintah dalam mengelola SDA, belum lagi pengelolaan oleh swasta dan asing yang tidak mustahil kerugian yang dituai akan lebih banyak. Padahal, pemberian izin pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan bukanlah semata-mata sebagai bentuk kepercayaan pemerintah terhadap ormas agar dikelola dengan amanah, apalagi dalih membalas jasa para ulama, melainkan sebagai koalisi pragmatis sarat kepentingan jangka panjang.

Koalisi pragmatis bukan untuk melahirkan semangat gotong-royong pengelolaan tambang oleh ormas yang bertujuan untuk membantu meringankan urusan negara ke depannya, meskipun jika benar begitu tetap saja salah dan fatal. Akan tetapi lebih buruk lagi koalisi ini akan melahirkan kebijakan kolusif dan transaksional.

Barang tambang berupa batubara dan mineral dianggap sebagai kekayaan milik penguasa sehingga dijadikan sebagai barang transaksi untuk membeli suara ulama yang tergabung di ormas keagamaan.

Sekali sudah sepakat, maka nasib kebebasan berpendapat, netralitas, dan keteguhan pada prinsip amar makruf nahi mungkar akan terbeli dengan sebongkah barang tambang.

Bukan mustahil tabiat ulama yang sebelumnya gemar mengkritik penguasa zalim nan lalim justru malah gencar menjadi buzzer dan jubir penguasa yang berlindung di balik slogan “taat pada ulil amri”.

Hilangnya Peran Ulama dalam Mengontrol Penguasa

Izin kelola tambang tentu tampak sangat menggiurkan, tawaran dunia yang manis dan menguntungkan memang sulit dihindari sekalipun oleh sekelompok orang mengabdikan dirinya pada agama.

Penerimaan izin kelola hasil tambang oleh kedua ormas agama islam terbesar di Indonesia merupakan bukti jauhnya peran ulama dari keteguhan terhadap syariat itu sendiri. Padahal sudah jelas bahwa haram hukumnya mengambil manfaat dari pengelolaan tambang yang merupakan kepemilikan umum atau mengubah statusnya menjadi kepemilikan kelompok.

Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”  (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Hadis ini muncul bermula pada masa kejayaan Islam, saat Rasulullah SAW memperlihatkan prinsip keadilan dan kebijaksanaan dalam pengelolaan SDA. Hal ini tergambar melalui kisah mengenai tambang garam yang pernah diberikan kepada Abyadh bin Hamal.

Awalnya, Rasulullah SAW mengizinkan Abyadh untuk mengelola tambang garam tersebut. Namun, setelah mengetahui itu SDA penting dan termasuk harta milik umum, Rasulullah SAW mencabut izin tersebut.

Beliau menegaskan bahwa SDA seperti tambang garam tidak boleh dimiliki individu karena berdampak besar pada masyarakat luas dan kesejahteraan umum.
 
Maka berdasarkan hal ini, status barang tambang batubara dan mineral merupakan kepemilikan umum sehingga segala bentuk pemberian izin pengelolaan termasuk kepada ormas keagamaan, kesepakatan investasi baik oleh investor asing maupun dalam negeri, termasuk klausul perjanjian dengan PT Freeport ataupun HGU atas tanah di IKN oleh investor haram hukumnya.

Hal ini pun berlaku pada penguasaan kekayaan alam oleh individu maupun perusahaan. Pengelolaan barang tambang oleh swasta sama saja seperti mencuri atau menggunakan barang bukan haknya.

Ulama yang menderita “cinta dunia dan takut mati” atau dikenal dengan penyakit wahn tentu sangat rentan dengan tawaran-tawaran dunia, terutama jika dihadapkan penguasa manis lisannya sehingga tidak ada yang menghalanginya untuk tidak menerima sanjungan meski harus melawan idealismenya, bahkan syariat dipertaruhkan.

Kecintaan terhadap dunia membuat ulama takut mengambil risiko untuk menolak tawaran penguasa apalagi melawan kezaliman. Hal inilah yang akhirnya berujung pada ketakutan ulama untuk mengoreksi penguasa.

Selanjutnya, ulama yang tergabung pada ormas besar sudah tidak lagi berpegang teguh pada syariat. Mereka sudah dengan mudahnya menyepakati aturan yang liberal dan jauh dari Islam.

Pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan merupakan bukti diterapkannya sistem kapitalisme melalui praktik liberalisasi dan privatisasi SDA. Hal ini tidak lain semakin membuat ulama tidak berdaya menjaga identitas dan marwah keislamannya sehingga keputusannya akan melenceng dari syariat dan tidak merepresentasikan keagungan syariat Islam.

Dan terakhir, kejadian ini membuktikan bahwa ulama saat ini tidak mampu menjadi dokter umat yang seharusnya mencari akar masalah dan obat agar umat dapat pulih dan sembuh dari penyakit sosial dan ekonomi yang menimpa.

Persoalan umat yang kompleks diakibatkan dari jauhnya penerapan syariat dalam kehidupan sosial ekonomi dan politik sehingga umat hilang arah dan tidak mengetahui solusi yang tuntas untuk mengatasi permasalahannya.

Ulama yang seharusnya mengkaji permasalahan umat melalui diskursus ijtihad dan fatwa yang sesuai dengan koridor syariat kini tidak memiliki kekuatan hukum untuk mengatur umat sesuai aturan Islam.

Seharusnya setiap dari keputusan yang menyangkut urusan umat harus melalui ijtihad berdasarkan kemaslahatan dan kesesuaian syariat islam yang tidak hanya diyakini sebagai rahmat bagi para penganutnya, namun juga rahmat bagi seluruh alam.

Konsesi tambang kepada ormas keagamaan bukanlah fenomena aneh dalam iklim sistem kapitalisme. Telah banyak sebelumnya kebijakan kontroversial menggadaikan nasib rakyat dan akan sangat mungkin pemerintah terus memproduksi kebijakan yang merugikan rakyat.

Ini hanya soal waktu tentang keyakinan kita terhadap sistem, akhirnya mulai runtuh dan hancur akibat kegagalan demi kegagalan konsep kesejahteraan ala kapitalisme. Akhirnya, kebenaran terhadap sistem yang hakiki tidak dapat dihindarkan.

Meski begitu, tentu saja keberpihakan kita terhadap kebenaran, baik itu membela yang haq dan mengingkari kemungkaran maupun mencegah kebatilan akan menjadi hujjah di sisi-Nya. Hanya saja, kita lah yang memilih akankah kita diam saja menunggu kehancuran dari kezaliman atau ikut melawan kezaliman tersebut?

*Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Populer

Jaksa Agung Tidak Jujur, Jam Tangan Breitling Limited Edition Tidak Masuk LHKPN

Kamis, 21 November 2024 | 08:14

MUI Imbau Umat Islam Tak Pilih Pemimpin Pendukung Dinasti Politik

Jumat, 22 November 2024 | 09:27

Kejagung Periksa OC Kaligis serta Anak-Istri Zarof Ricar

Selasa, 26 November 2024 | 00:21

Rusia Siap Bombardir Ukraina dengan Rudal Hipersonik Oreshnik, Harga Minyak Langsung Naik

Sabtu, 23 November 2024 | 07:41

Ini Identitas 8 Orang yang Terjaring OTT KPK di Bengkulu

Minggu, 24 November 2024 | 16:14

Sikap Jokowi Munculkan Potensi konflik di Pilkada Jateng dan Jakarta

Senin, 25 November 2024 | 18:57

Legislator PKS Soroti Deindustrialisasi Jadi Mimpi Buruk Industri

Rabu, 20 November 2024 | 13:30

UPDATE

Sehari Usai Pencoblosan, Pj Gubernur DKI Lantik Walikota Jakpus

Kamis, 28 November 2024 | 22:00

Timses Zahir-Aslam Kena OTT Dugaan ‘Money Politik’ di Pilkada Batubara

Kamis, 28 November 2024 | 21:51

Polri Perkuat Kerja Sama Bareng Dukcapil Kemendagri

Kamis, 28 November 2024 | 21:49

KPK Tahan 3 Ketua Pokja Paket Pekerjaan Perkeretaapian DJKA

Kamis, 28 November 2024 | 21:49

Firli Bahuri Tak Hadiri Pemeriksaan Polisi karena Ada Pengajian

Kamis, 28 November 2024 | 21:25

Ini Kebijakan Baru Mendikdasmen Untuk Mudahkan Guru

Kamis, 28 November 2024 | 21:22

Rupiah Terangkat Pilkada, Dolar AS Masih di Rp15.800

Kamis, 28 November 2024 | 21:13

Prabowo Menangis di Depan Ribuan Guru Indonesia

Kamis, 28 November 2024 | 21:11

Pengamat: RK-Suswono Kalah karena Meremehkan Pramono-Doel

Kamis, 28 November 2024 | 21:04

Perbaiki Tata Ekosistem Logistik Nasional, Mendag Budi Sosialisasi Aturan Baru

Kamis, 28 November 2024 | 21:02

Selengkapnya