JALAN panjang menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia sangat sulit, bahkan belakangan ini sejumlah kabupaten/kota tampak kuwalahan.
Tiada hari tanpa persoalan sampah yang memusingkan kepala. Sampah jadi ornamen kota yang memuakkan. Misalnya, kasus sampah di Yogyakarta, Bandung Raya, Jabodetabek, bahkan kota-kota kecil dilanda persoalan sampah karena tempat pembuangan akhir (TPA) sudah overload.
Dua puluh lima atau tiga puluh tahun yang lalu masalah persampahan itu disebabkan karena tidak punya payung hukum atau undang-undang tentang pengelolaan sampah. Kita tidak punya regulasi dan panduan nasional pengelolaan sampah.
Sejumlah para ahli, birokrat, aktivis, dll melakukan dialog, diskusi, seminar, simposium, workshop, dll guna mencari akar masalah dan memberi solusi komprehensif dan berkelanjutan.
Lalu muncul pemikiran-pemikiran baru, bahwa pengelolaan sampah tersebut meliputi beberapa dimensi: yaitu, dimensi kebijakan/hukum, dimensi kelembagaan, dimensi anggaran, dimensi partisipasi Masyarakat, dan dimensi teknologi. Semua dimensi tersebut harus di-breakdown agar lebih jelas.
Pada 4 Juni 2005 diselenggarakan Dialog Nasional Mencari Solusi di Indonesia di Jakarta Convention Centre. Dialog itu diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI, Ikatan Ahli Teknik Penyehatan Lingkungan Indonesia dan Indonesia Solid Waste Association (InSWA).
Menteri, mantan Menteri, DPR RI, sejumlah pakar, aktivis persampahan diundang dalam dialog tersebut jadi narasumber dan penanggap guna mencari solusi permasalahan sampah di Tanah Air.
Saya menjadi salah satu narasumber, menyampaikan makalah berjudul “Malapetaka Sampah: Kebijakan Persampahan Dalam Persimpangan Jalan”.
Dalam forum itu saya menyatakan, bahwa pengelolaan sampah kota perlu suatu institusi atau badan yang permanen yang memiliki otoritas permanen dan penuh secara nasional dan bertanggungjawab pada Presiden.
“Pihak-pihak yang menjalankan program daur ulang hendaknya mendapat dukungan keuangan, kemudahan memperoleh kredit, dan akses pasar.” (Kompas, 4 Juni 2005). Berikut ini pernyataan saya yang dikutip Harian Umum
Kompas. Saya menilai kelemahan mendasar dari perencanaan pengelolaan sampah yang terjadi di kota-kota besar adalah pemahaman terhadap pengelolaan sampah yang masih setengah-setengah, dipahami sebatas proyek dan dijadikan komoditi politik.
Pengelolaan sampah bukan semata-mata mengandalkan teknologi canggih, tetapi juga harus melihat kondisi lingkungan alam, sosial dan budaya. Pelibatan masyarakat dan pihak yang berkepentingan lainnya bukan hanya pada tahap perencanaan, melainkan juga dalam implementasi dan evaluasi agar keberadaan tempat pembuangan akhir diterima oleh masyarakat sekitar.
Ketiadaan payung hukum secara nasional juga memicu penyelesaian konflik kepentingan pengelolaan sampah antara dua daerah atau lebih secara serampangan atau meminta pentunjuk pada instansi atasnya. “Tidak ada payung hukum membuat hampir tiap orang membuang sampah sembarangan karena tidak ada sanksi tegas. Dalam forum dialog tersebut Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, memaparkan pengelolaan sampah perlu ada pendekatan menyeluruh. Salah satunya, dengan menyusun payung hukum, yakni undang-undang yang mengatur persampahan.
Ketika itu banyak pihak, termasuk saya, bahwa terjadinya kekacauan pengelolaan sampah di Indonesia disebabkan ketidaaan payung hukum. Akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan, yakni menyusun draft akademi RUU tentang Pengelolaan Sampah. Kemudian pada 7 April 2008 pemerintah bersama DPR RI mengesahkan menjadi UU, yang kini dikenal UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Setelah empat tahun, lahir peraturan pelaksanaannya, yaitu PP No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, selanjutnya Keppres No. 97/2017 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, dan aturan turunannya. Bahkan, sekarang hampir setiap provinsi dan kabupaten/kota sudah mempunya Perda tentang Pengelolaan Sampah.
Hadirnya UU No. 18/2008 dan aturan turunannya merupakan paradigma baru, bahwa sampah harus di-PILAH-KUMPUL-OLAH atau KUMPUL-PILAH-OLAH dari sumber sampah. Pengelolaan sampah didukung multiteknologi ramah lingkungan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Berbeda dengan paradigma lama: KUMPUL-ANGKUT-BUANG atau end-of-pipe solution dengan mengandalkan TPA sampah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI sudah meninggalkan paradigma lama. “Paradigma end of pipe solution sudah kita tinggalkan, kita giring ke paradigma 3R dan sekarang kita tambah paradigma ekonomi sirkular," kata Sayid Muhadhar Sekretaris Ditjen PSLB3.(Antara,26/2/2021)
Menurutnya, pengalihan ke paradigma mengurangi (reduce), menggunakan kembali (reuse) dan mendaur-ulang (recycle) atau 3R serta ekonomi sirkular sangat penting untuk bisa mencapai target pemerintah, yaitu 70 persen penanganan sampah dan 30 persen pengurangan sampah pada 2025. Sebagaimana amanat Keppres No. 97/2017. Khusus untuk sampah plastik ditargetkan akan turun sampai 70 persen yang berakhir ke laut pada 2025.
Memang, target yang tertuang dalam kebijakan nasional sangat jelas dan terang benderang. Namun, implementasi teknis di kabupaten/kota yang tampak kedodoran, kuwalahan dan seakan
deadlock. Kita melihat di pusat sudah menganut paradigma baru, sementara di kabupaten/kota masih bertahan pada paradigma lama. Sebenarnya, apa akar masalahnya?
Ketika ditelusuri pada ranah kabupaten/kota permasalahan sampah tersebut berkaitan dengan alokasi anggaran yang relatif kecil dibandingkan dengan cakupan wilayah yang ditangani. Kedua, banyak kepentingan yang ingin dan ikut mengelola anggaran pengelolaan sampah. Di sini terjadi politik anggaran. Pihak-pihak yang bermain di sini ada kalangan parpai politik melalui DPRD, legislatif, dunia usaha, sejumlah tokoh, ormas, LSM, dll.
Selanjutnya, anggaran kecil ditambah otoritas dan kelembagaan yang kecil sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah. Sekarang ini pengelolaan sampah sebagai bidang atau sub-bidang yang menangani sampah seluruh wilayah satu provinsi atau kabupaten/kota. Berbeda dengan dulu sebagai dinas, yang popular dengan Dinas Kebersihan.
Secara kebijakan, kelembagaan berbentuk dinas memiliki otoritas dan kewenangan yang besar, dengan span of control atau rentang kendali pendek.
Span of control adalah jumlah bawahan langsung yang dapat dipimpin dan dikendalikan secara efektif oleh seorang atasan.
Span of control sangat diperlukan dalam lingkungan organisasi yang terstruktur.
Kelambagaan pengelolaan sampah yang ada sekarang otoritas dan kewenangannnya sangat kecil, anggaran relatif kecil, sehingga wajarlah jika kedodoran menghadapi persoalan sampah yang semakin kompleks dan ruwet. Maka perlu dilakukan review atau evaluasi tentang kelembagaan pengelolaan sampah di provinsi dan kabupaten/kota. Dan, sebaiknya dikembalikan lagi menjadi Dinas, bisa saja menjadi Dinas Pengelolaan Sampah.
Jika tidak ada evaluasi secara menyeluruh terhadap kebijakan di daerah, kelembagaan, anggaran, partisipasi masyarakat, dan pilihan-pilihan teknologi tepat dan handal serta mampu mereduksi sampah hingga 80-90 persen maka permasalahan sampah akan berkelanjutan di Indonesia dalam waktu cukup lama, bisa belasan tahun, bisa seabad.
Persoalan teknis ini harus diselesaikan secara teknis, meskipun kita telah memiliki kebijakan dan peraturan perundangan yang cukup banyak.
Penulis adalah Ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI)